PONTIANAK (Independensi.com) – Sekretaris Jenderal Dayak International Organization (DIO) Dr Yulius Yohanes, M.Si, menegaskan, masyarakat Suku Dayak di Pulau Kalimantan, menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) larangan peredaran minuman beralkohol sebagai hak inisiaf anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR-RI) dari Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra).
“Para pemrakarsa RUU larangan peredaran minuman beralkohol, adalah kelompok manusia politisi mabuk agama, memaksakan konsep penyeragaman nilai-nilai moral. Dalam sejarah ketatanegaraan di berbagai negara, belum ada negara yang porak-poranda, hancur-hancuran karena alkohol. Tapi ada kehancuran sebuah negara, karena masyarakat dan politisinya mabuk agama, sebagaimana terjadi di kawasan Benua Asia di Timur Tengah,” kata Yulius Yohanes, Minggu malam, 15 Nopember 2020.
Menurut Yulius Yohanes, RUU larangan peredaran minuman beralkohol adalah pengingkaran keberagaman dan kebhinekaan kebudayaan berbagai suku bangsa di Indonesia dalam aplikasi doktrin sistem religinya, kaya akan substansi keharmonisan, perdamaian, cinta kasih, menghargai kemanusiaan, keberagaman, keseimbangan hidup dengan alam, mengutamakan kearifan, kebijaksanaan, toleransi dan sejenisnya.
Diungkapkan Yulius Yohanes, di kalangan Suku Dayak, minuman alkohol itu bagian dari peralatan religi agama asli Suku Dayak yang lahir dari Kebudayaan Suku Dayak dengan sumber doktrin legenda suci Dayak, mitos suci Suku Dayak, adat istiadat Suku Dayak dan hukum adat Suku Dayak, sebagaimana Agama Kaharingan di Provinsi Kalimantan Tengah yang lahir dari Kebudayaan Suku Dayak Uud Danum dan Suku Dayak Ngaju.
Di kalangan Suku Dayak Bakatik dan Suku Dayak Kanayatn di Provinsi Kalimantan Barat, setiap kali syukuran selepas panen padi, dalam rangkaian religi Suku Dayak, mesti ada jenis minkuman alkohol disuguhkan kepada arwah para leluhur.
Dikatakan Yulius Yohanes, semua peralatan religi di dalam agama asli Suku Dayak yang lahir dari Kebudayaan Suku Dayak, memang ada jenis alkohol hasil permentasi dari beras ketan atau air nira/enau sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari peralatan religi Suku Dayak.
“Masyarakat Suku Dayak akan melakukan berbagai upaya untuk menolak RUU larangan peredaran minuman beralkohol. Karena bentuk pengingkaran terhadap kebhinekanaan, keberagaman berbadarkan Undang-Undang Dasar 1945 dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia atau NKRI,” ujar Yulius Yohanes.
Putusan Hakim Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK-RI) Nomor 97-PUU-XIV/2016, tanggal 7 November 2017, tentang pengakuan Aliran Kepercayaan, dimaknai pula sebagai peneguhan dan pengakuan keberadaan religi (agama) asli berbagai suku bangsa di Indonesia, dengan sumber doktrin legenda suci, mitos suci, adat istiadat dan hukum adat dari suku bangsa yang bersangkutan.
Jadi, dengan mencintai dan merawat kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, dimana ada sistem religi di dalamnya, sebagai wujud nyata pengalaman ideologi Pancasila.
Karena ideologi Pancasila dilahirkan dari kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia. Dengan demikian, dengan menghargai dan merawat kebudayaan asli berbagai suku bangsa di Indonesia, sebagai salah satu wujud nyata pengamalan ideologi Pancasila.
Dijelaskan Yulius Yohanes, RUU larangan peredaran minuman beralkohol, pelanggaran terhadap pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945, yaitu, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.”
Secara internasional pun, RUU larangan minuman beralkohol melanggar Deklarasi Hak-hak Masyarakat Adat Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Nomor 61/295, tanggal 13 September 2007, di mana di antaranya menegaskan, masyarakat adat berhak mempertahankan tanah adat dan masyarakat adat berhak mempertahankan identitas budayanya.
“Di dalam negeri, selain melanggar pasal 18B Undang-Undng Dasar 1945, RUU larangan peredaran minuman beralkohol, melanggar Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017, tentang Pemajuan Kebudayaan. Di tengah Pemerintah telah melakukan langkah untuk kembali kepada karakter dan jatidiri bangsa, ternyata masih ada kelompok politisi mabuk agama yang ingin menghambat, dengan mengusulkan sebuah produk politik yang mengancam keberagaman dan persatuan bangsa,” kata Yulius Yohanes.
Diungkapkan Yulius Yohanes, para politisi mabuk agama di DPR-RI, tidak memahami bahwa abad ke-21 dalam hubungan diplomatik antar negara mengedepankan diplomasi kebudayaan.
Indonesia di dalam diplomasi kebudayaan, Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia meluncurkan Program Indonesian Art and Cultures Scholarship (IACS) sejak tahun 2003 dan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Krearif Republik Indonesia meluncurkan Program Wonderful Indonesia sejak tahun 2011, bertujuan memperkenalkan kekayaan kebudayaan di Indonesia.
“Dayak International Organization (DIO) dan Majelis Hakim Adat Dayak Nasional (MADN) telah menginisiasi penerbitan buku: “Diplomasi Kebudayaan Dayak dalam Gepolitik dan Geostrategi di Pulau Borneo”, sebagai sikap respons positif Suku Dayak sehubungan pemindahan Ibu Kota Negara ke Provinsi Kalimantan Timur, sebagaimana pengumuman Presiden Joko Widodo di Jakarta, Senin, 26 Agustus 2019,” ujar Yulius Yohanes. (Aju)