Independensi.com – Di tengah kekhawatiran akibat penyebaran pandemi covid-19 yang berlangsung sejak Maret lalu, kemarin masyarakat seolah mendapat semangat dan kepercayaan baru kepada Pemerintah dengan adanya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap para terduga pelaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) yang sudah hampir terlupakan.
Semangat baru dan kepercayaan baru itu muncul dengan dilakukannya OTT terhadap Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Eddy Prabowo dalam dugaan kasus ekpor benur lobster, dan Walikota Cimahi Ajay Muhamad Priatna dengan kasus pembangunan dan pengadaan alat kesehatan rumah sakit.
OTT itu adalah hasil sadapan, dan baru dua kasus yang berbuah, sementara menurut Wakil Ketua KPK Nawawi Molango (detiknews (24/11/2020) institusinya sudah mengantongi 600 izin penyadapan dari Dewan Pengawas KPK.
Menurut UU baru KPK pimpinan Komjen Firli Bahuri ini harus atas seizin Dewas, tidak seperti sebelumnya, tinggal sadap tanpa seleksi siapapun.
Sekarang harus melalui prosedur dengan izin dari Dewas, dengan UU itu dianggap sebagian orang melemahkan KPK.
Tidak perlu dipertanyakan, mengapa dari 600 izin penyadapan baru dua yang berakhir nyata dengan OTT, selebihnya bagaimana?
Mudah-mudahan KPK tidak menjadikan agar izin penyadapan itu abadi, jangka waktunya hanya 6 (enam) bulan.
KPK baru mulai aktif melakukan OTT mungkin saja karena sudah selesai konsolidasi ke dalam, membenahi diri-personal dan struktur, apalagi banyak (lebih dari satu) pegawainya yang mengundurkan diri.
Euforia muncul di masyarakat yang menginginkan KPK pro-aktif, ternyata masih diperlukan, masalah lemah atau kuat kelihatannya tergantung pada Komisioner dan Dewas. Apakah percaya diri, transparan dan independen akan terlihat dari kinerja.
Korupsi itu ternyata merajalela, buktinya? Kebijakan kementerian soal ekspor benur lobster yang sudah sejak awal mendapat kritik keras, bukan membuat pejabat yang mengeluarkan kebijakan itu mawas diri, bahkan mengunakannya memperoleh manfaat di luar kepatutan, hukum dan peraturan perundang-undangan.
Dengan pulihnya percaya diri KPK dalam melaksanakan tugas, fungsi dan tanggungjawabnya sesuai dengan perturan perundang-undangan, masyarakat berharap tindak pidana korupsi akan menurun drastis, tidak perlu menunggu hari-hari Jumat, setiap saatpun rakyat menunggu OTT-OTT.
Akan tetapi, semua yang terungkap perlu diusut keterkaitannya dan setiap yang terbukti harus ditindak dan kerugian negara harus dikembalikan.
Mudah-mudahan tidak ada lagi kecurigaan seperti masa lalu seolah KPK itu pilih bulu, tebang pilih dan pilih tebang dalam menyelesaikan kasus.
KPK itu mungkin perlu mempertimbangkan untuk tidak mempertontonkan para tersangka serta barang-barang bukti ke publik dan pers.
Kalau jaman dahulu era pasar tradisional, ketika seorang pencopet yang lari tertangkap oleh petugas pasar atau polisi, maka orang itu di arak keliling pasar dengan barang copet-annya agar pengunjung pasar melihat apa ada barangnya yang hilang?
Di era teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini sepertinya kurang bermanfaat.
Rekan-rekan Pers itu mempunyai kemampuan mencari informasi sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik untuk diberitakan. Tidak perlu disuguhkan seperti hidangan di atas meja, para tersangka koruptor itu adalah figur publik, pers sudah tahu.
Tidak ada gunanya untuk menakut-nakuti pejabat agar tidak korupsi, penjara saja tidak peduli.
Ada saja yang membedakan apakah tugas dan tanggung jawab KPK itu antara pencegahan dan penindakan tindak pidana korupsi.
Pencegahan itu urusan internal Pemerintah, semua pejabat negara berkewajiban mencegah korupsi dan perbuatan tercela ada dalam sumpah jabatan dan sederet peraturan perundang-undangan.
Para pejabat itu bukan anak-anak PAUD, yang belum mana yang baik dan mana yang buruk.
Tugas KPK adalah untuk menindak dan untuk itu seyogyanya meningkatkan kinerjanya dengan penyadapan terhadap semua pihak yang diduga melakukan tindak pidana korupsi.
DPR, partai politik dan Pemerintah harus ikhlas anggota, kader dan aparatnya diiitindak bila melakukan dugaan tindak pidana korupsi.
Dengan peningkatan penyadapan maka OTT akan semakin efektif dan target pemberantasan korupsi terwujud. Perlu disadari bersama KPK bukan komisi pencegahan korupsi tetapi Komisi Pemberantasan Korupsi. (Bch)