Ketua Setara Institute, Hendardi

Segera Tangkap Teroris Pembunuh 4 Warga di Sulteng

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Direktur Setara Institute, Hendardi, mendesak Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri) menumpas tuntas aksi terorisme Mujahidin Indonesia Timur (MIT) membunuh empat warga sipil dalam satu keluarga di Desa Lemba Tongoa, Kecamatan Palolo, Kabupaten Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah, pukul 08.00 Waktu Indonesia Timur (WIT), Jumat, 17 Nopember 2020.

“Itu tindakan biadab, para pelaku harus segera ditangkap,” kata Hendardi, Sabtu, 28 Nopember 2020.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polisi Daerah Sulawesi Tengah, Komisaris Besar Polisi Didik Suparnoto, memastikan pelaku aksi teror dari jaringan teroris MIT pimpinan Ali Kalora.

Ini dasarkan, pengakuan masyarakat, dari 11 orang jaringan MIT yang masuk Daftar Pencarian Orang (DPO), ada tiga orang di antaranya dikenal saat melakukan aksinya. Ali Kalora, diketahui terlibat dalam aksi pembunuhan, didasarkan pengakuan warga yang kemudian diperlihatkan 11 foto DPO teroris MIT.

Ada dugaan aksi penyerangan sebagai balas dendam, karena sebelumnya, pukul 05.30 WIT, Selasa, 17 Nopember 2020, Detasemen Khusus Anti Teror Polisi Republik Indonesia, menembak mati 2 teroris jaringan teroris MIT di Bolano Barat, Bolano, Parigi Moutong, Provinsi Sulawesi Tengah.

Menurut Hendardi, dari penelusuran beberapa sumber dan informan Setara Institute di Provinsi Sulawesi Tengah, empat warga dalam satu keluarga dibunuh secara sadis. Selain itu, satu rumah ibadah Bala Keselamatan dan enam rumah dibakar.

Untuk mengantisipasi terjadinya serangan lanjutan, ratusan warga diungsikan ke tempat yang lebih aman di Kabupaten Sigi. Karena sumber lain, mengatakan, di samping 1 tempat ibadat, ada 6 rumah warga lainnya dibakar.

“Terkait dengan tragedi tersebut, Setara Institute menyampaikan beberapa pernyataan, sebagai berikut. Pertama, Setara Institute mengutuk tindakan biadab oleh kelompok bersenjata tersebut dan turut berduka cita atas meninggalnya warga sipil yang menjadi korban serangan kemplotan teroris di Provinsi Sulawesi Tengah,” ujar Hendardi.

Kedua, ujar Hendardi, dalam analisis Setara Institute, tindakan kekerasan bersenjata secara sadis tersebut diduga dilakukan oleh Mujahidin Indonesia Timur (MIT) Poso, sisa-sisa kelompok Santoso yang belum berhasil diringkus oleh Satuan Tugas Operasi Tinombala.

Untuk diketahui, jarak antara Poso Pesisir Utara, dimana MIT sebelumnya berbasis dan melakukan aktivitas, dengan Lemban Tongoa hanya sekitar 23 – 25 Kilometer. Kabupaten Sigi sendiri secara geografis berada di antara Kabupaten Poso dan Kabupaten Parigi Moutong yang selama ini dianggap sebagai teritori MIT Poso.

Ketiga, lanjut Hendardi, Setara Institute mendesak agar Satgas Operasi Tinombala yang masa tugasnya sudah diperpanjang sampai 31 Desember 2020 agar mengoptimalkan sisa masa tugas untuk perburuan belasan anggota MIT Poso yang masih berkeliaran di hutan dan pegunungan sekitar Poso. Komplotan teroris Poso tersebut tidak boleh diremehkan, apalagi dianggap lemah.

Dijelaskan Hendardi, pasca tewasnya Santoso dan tertangkapnya Basri pada 2016, Ali Kalora telah mengambil alih kepemimpinan MIT Poso dan hingga kini tidak tersentuh aparat.

“Satgas dan seluruh aparat keamanan harus menjamin seluruh warga negara, termasuk di pedalaman dan pegunungan Sulawesi Tengah, dari serangan kelompok manapun yang mengancam keamanan dan keselamatan _(human security)_ mereka,” ungkap Hendardi.

Keempat, tutur Hendardi, Setara Institute mendesak pemerintah, khususnya aparat keamanan, untuk tidak lengah dalam mengantisipasi konsolidasi dan bangkitnya sel-sel tidur terorisme dan ekstremisme-kekerasan.

Peningkatan kekecewaan publik belakangan ini atas kinerja pemerintahan di berbagai bidang, dalam seluruh cabang kekuasaan, dapat dimanfaatkan oleh sel-sel tidur dan jaringan terorisme dan ekstremisme kekerasan untuk mendapatkan momentum dan melakukan konsolidasi.

Kelima, ungkap Hendardi, terorisme dan ekstremisme-kekerasan tidak mengenal agama. Oleh karena itu, Setara Institute mendorong tokoh lintas agama untuk sama-sama mengutuk kekerasan yang digunakan oleh kelompok tertentu atas nama agama.

Selain itu, mereka hendaknya bersama-sama membangun kehidupan keagamaan yang teduh. Setara Institute mendorong mereka untuk mengaktualisasikan spirit Rencana Aksi Rabat Maroko 2012 dan Deklarasi Beirut Lebanon 2017, bahwa kebencian yang menghasut terjadinya diskriminasi, permusuhan, dan kekerasan, adalah ‘musuh’ bersama lintas agama.

“Terakhir, dalam konteks yang sama, Setara Institute juga menghimbau agar kasus terorisme dan ekstremisme-kekerasan seperti yang terjadi di Sulawesi Tengah tidak dimanfaatkan sebagai isu sosial-politik apapun oleh kelompok manapun untuk memantik segregasi sosial-politik atau sosial-keagamaan di tengah-tengah masyarakat,” ungkap Hendardi.

Bentuk Tim Investasi Gabungan

Pengamat keamanan, Dr Jannus TH Siahaan, mengatapan, apapun apapun alasannya, aksi terorisme terhadap rumah ibadah di Sigi, Provinsi Sulawesi Tengah sama dengan aksi terorisme terhadap Indonesia. Jadi kasus ini harus jadi perhatian serius pemerintah, Kepolisian dan TNI. Jika diperlukan, segera dibentuk tim investigasi gabungan untuk menuntaskan perkara tersebut.

“Para pelaku harus segera ditangkap dan ditindak dengan UU terorisme dan diseret ke pengadilan, agar jelas duduk perkaranya. Jika tidak, hal semacam ini hanya akan terus memunculkan ketakutan di tengah masyarakat Sulteng, terutama masyarakat Kristen bahkan masyarakat di daerah-daerah lainnya,” ungkap Jannus.

Jannus T Siahaan

Jadi tak ada alasan bagi pemerintah, TNI, dan Polri untuk menganggap remeh persoalan ini karena sejatinya tak ada tempat sejengkalpun untuk teroris di negeri ini

“Apalagi di masa jelang Pilkada serentak seperti saat ini, ketegasan dan kesigapan pemerintah sangat dibutuhkan, agar ada kepastian hukum dan agar tidak terbuka peluang bagi para oknum politik untuk melebarnya isu sensitif semacam ini ke ranah politik dan dijadikan senjata untuk menciptakan ketidakstabilan di Sulteng maupun daerah-daerah lainnya di Indonesia,” ujar Jannus. (Aju)