Ilustrasi

Prof Dr Thomas Muecke: Salafi Paling Berbahaya di Eropa

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Prof Dr Thomas Muecke, peneliti senior Jerman, a member of the Violence Prevention Network, mengakui, kelompok Islam garis keras, yaitu wahabi atau salafi paling berbahaya karena pemicu instabilitas politik dan keamanan hampir semua negara di Benua Eropa.

“Gerakan paling berbahaya adalah ekstremisme Salafi, yang mendukung gagasan bahwa hukum Tuhan adalah satu-satunya hukum yang benar-benar berlaku, menolak semua yang telah dihasilkan Islam setelah tiga generasi pertama setelah Nabi Muhammad,” kata Thomas Muecke, menjawab pertanyaan Luca Steinmann, dalam laman resertdoc.org, Selasa, 28 November 2017, berjudul: Germany: conversions to radical Salafism. How to stop them?

Wahabi lebih tepatnya Wahhabisme atau Salafi adalah sebuah aliran reformasi keagamaan dalam Islam. Aliran ini berkembang dari dakwah seorang teolog Muslim abad ke-18 yang bernama Muhammad bin Abdul Wahhab yang berasal dari Najd, Arab Saudi.

Front Pembela Islam (FPI) dengan tokoh utama Mohammad Rizieq Shibab (MRS) yang menyerahkan diri di Polisi Daerah Metropolitan Jakarta (Metro Jaya), Sabtu, 13 Desember 2020, setelah 6 pengawalnya ditembak mati Polisi di Jakarta, Senin dinihari, 7 Desember 2020, bagian dari wahabi salafi, karena bersikukuh mengganti ideologi Pancasila dengan paham khilafah.

Masalahnya kemudian, muncul lagi kemarahan meluas masyarakat, karena seorang diplomat perempuan Kantor Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, mendatangi Kantor FPI di Petamburan, Jakarta, Sabtu pagi, 19 Desember 2020.

Menurut Sekretaris Umum FPI, Munarman, dalam kesempatan itu, pihak Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, menyatakan turut berdukacita atas tewasnya 6 laskar FPI.

Thomas Muecke mengatakan, demokrasi bukanlah bagian dari visi salafi tentang dunia dan itulah mengapa mereka fokus pada revolusi masyarakat, dimulai dengan memaksakan program mereka sendiri. Salafi terbagi antara mereka yang secara terbuka melakukan kekerasan dan ingin mengubah masyarakat dengan mengobarkan perang suci dan mereka yang berpolitik.

Tujuan akhir dari kelompok wahabi salafi, menurut Thomas Muecke, untuk menciptakan masyarakat yang homogen di mana siapa pun yang tidak setuju dengan mereka didefinisikan sebagai ‘kafir’ dan karena itu kehilangan hak untuk hidup. Sama seperti ekstremis sayap kanan yang mengusulkan homogenitas berdasarkan ras, kaum Salafi mendasarkannya pada agama.

“Pada akhirnya, hal ini akan mengakibatkan penghapusan demokrasi, hak asasi manusia, dan keragaman,” kata Thomas Muecke.

Thomas Muecke, mengatakan, salagi bukanlah agama tetapi ideologi ekstremis yang menggunakan agama secara instrumental untuk mencapai tujuannya. Mereka tidak akan pernah bisa mencapai ini di Jerman tanpa reaksi kekerasan.

“Prinsip-prinsip konstitusional kita, berdasarkan demokrasi dan hak asasi manusia, tidak dapat diubah dan jika dipertanyakan, satu-satunya cara yang tersedia untuk mengubahnya adalah melalui kekerasan,” ungkap Thomas Muecke.

Rektor Universitas Jenderal Ahmad Yani, Prof Dr Hikmahanto Juwana, mendesak Pemerintah Republik Indonesia, untuk mengusir diplomat Jerman yang mengunjungi Kantor FPI di Petamburan, Jakarta Pusat, di tengah-tengah upaya Pemerintah memberantas paham radikalisme dan intolerans yang selalu berakhir dengan aksi terorisme.

“Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, agar memanggil Duta Besar Jerman di Indonesia, untuk meminta klarifikasi,” ujar Hikmahanto Juwana di Jakarta, Minggu, 20 Desember 2020.

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, Teuku Faizasyah, menegaskan, sudah memanggil pihak Kedutaan Besar di Jakarta, Sabtu petang, 19 Desember 2020. Setelah itu, menurut Teuku Faizasyah, Kedutaan Besar Jerman, langsung menyampaikan permohonan maaf. 

Dalam keterangan tertulisnya, Kedutaan Besar Jerman mengatakan demonstrasi terjadi di sekitar gedung kedutaan sehingga Kedutaan Jerman merasa perlu memastikan kondisi. Kedutaan Besar Jerman di Jakarta, menjamin tidak ada niat politis apa pun atas kehadiran tersebut.

“Kedutaan Besar Jerman menyesalkan kesan yang ditimbulkan atas insiden tersebut, baik kepada publik maupun mitra kami di Indonesia. Kami menjamin tidak ada niat politik apa pun dalam kunjungan tersebut,” demikian keterangan tertulis Kedutaan Besar Jerman, Minggu malam, 20 Desember 2020.

Upaya Pemerintah Republik Indonesia, memberangus paham radikal berbasis doktrin agama Islam garis keras, didahului penerbitan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017, tentang pembubaran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).

Di Indonesia, wahabi salafi, di mana di dalamnya ada FPI dan HTI patut diduga bermetaforfosa di dalam Partai Keadilan Sejahtera (PKS), sebagaimana diungkap di dalam buku: Ilusi Negara Islam – Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia (The Wahid Institut: Jakarta, 2009).

Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, sejak 2019 tidak lagi memperpanjang Surat Keterangan Terdaftar (SKT) atas nama organisasi massa FPI, karena tidak mau mencantumkan Pancasila sebagai satu-satunya ideologi. FPI tetap bersikukuh memperjuangkan ideologi khilafah di Indonesia.

Salafi, wahabi, HTI dan FPI, bagaikan duri dalam daging di Indonesia. Hate speech, kebencian terhadap Negara, Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Polisi Republik Indonesia (Polri), mengancam keberadaan ideologi Pancasila, berlandaskan: Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Bhineka Tunggal Ika.

Masalah FPI, mencuat ke permukaan, setelah MRS kembali Indonesia, Selasa, 10 Nopember 2020, setelah selama 3,5 tahun melarikan diri ke Arab Saudi untuk menghindari 14 laporan masyarakat (2007 – 2020) terhadap pelanggaran hukum sejak 26 April 2017. Kemarahan masyarakat meluas, karena hate speech dan ancaman dilakukan MRS semakin tidak terkendali.

Syaikh Idahram, dalam buku: Sejarah  Berdarah Sekte Salafi Wahabi, terbitan Pustaka Pesntren, Yogyakarta, 2011, mengatakan, radikalisme sesungguhnya banyak menjangkiti berbagai agama dan aliran-aliran sosial, politik, budaya dan ekonomi di dunia ini tetapi pada masa pasca perang dingin, yang menjadi fokus penggunjingan di dunia ialah apa yang diistilahkan dengan “radikalisme islam”.

Isu sentral dalam penggunjingan ini adalah munculnya berbagai gerakan “islam” yang menggunakan berbagai bentuk kekerasan dalam rangka memperjuangkan dan mendirikan “negara Islam”.

Hakikat Islam sebagai agama peradaban yang membawa rahmat bagi semesta alam, mulai meretas. Islam yang nampak kepermukaan bukanlah islam sebagai agama universal dan menginginkan adanya peramaian dunia, akan tetapi islam ekstrimis yang identik dengan kekerasan (terorisme).

Sejarah berdarah sekte salafi wahabi; mereka membunuh semuanya, termasuk para ulama` yang ditulis oleh Syaikh Idahram ini, menunjukkan bagaimana kelompok islam Wahabiyah turut andil adanya kekerasan yang akhir-akhir ini marak terjadi.

Untuk menyebarkan ajaran-ajarannya, Wahabi mengatasnamakan dirinya sebagai kelompok salafi yang dikenal dengan salafi Wahabi. Sedangkan istilah salafi sendiri sebenarnya adalah mereka (manusia) yang hidup di masa rasulullah dan yang mengikuti mereka (tabiin) kemudian mengikuti mereka (tabiit-tabiin).

Dalam artian, salafi adalah generasi pertama hingga ketika setelah rasulullah wafat. Penggunaan kata-kata salafi ini yang kemudian kelompok Wahabi banyak mendapatkan pengikut.

Secara kasat mata, ajaran yang di lakukan hampir sama dengan kelompok islam lainya. Akan tetapi penguasaan terhadap al-qur`an dan pemahamannya mengenai islam hanya sebatas kulit luarnya saja. Islam yang sejatinya adalah rahmatan lil alamin, berubah menjadi islam ekstrim yang ditakuti banyak orang.

Maka dari itu, sering dikatakan bahwa kelompok Salafi Wahabi adalah aliran Islam yang tidak mengetahui sepenuhnya hakikat Islam. Atau dengan kata lain, mereka adalah kelompok yang tidak memahami islam secara kompleks.

Mereka rata-rata adalah hafal al-qur`an, setiap malam salat tahajud, hampir setiap hari puasa sunnah, jidatnya hitam, dan lututnya kapanan untuk sujud. Dengan kata lain, mereka tekun manjalankan ibadah dan amalan-amalan sunnah, akan tetapi paradigma yang mereka gunakan adalah paradigma ekstrim.

Menelisik lebih jauh, Said Agil  Siraj menuliskan, lahirnya sekte ekstrim  dalam sejarah islam – yang mana itu sangat dicela oleh Nabi Muhammad – sudah ada  sejak abad pertama Hejriyah. Kelompok ini mulai berani menunjukkan diri di hadapan nabi Muhammad pada bulan syawal tahun 8 hijeriyah, saat nabi Muhammad baru saja memenangkan perang Thaif dan Huiain.

Tiba-tiba seseorang yang bernama Dzul Khuwaishirah dari keturunan Bani Tamim maju kedepan dengan sombongnya sambil berkata, “berlaku adillah, hai Muhammad!” nabi pun berkata, “celakalah kamu, siapa yang akan berbuat adil jika aku saja tidak berbuat adil?” lantas Umar berkata, “wahai Rasulullah, biarkan kupenggal saja lehernya.”

Nabi menjawab, “biarkan saja!.” Ketika orang itu berlalu nabi bersabda, “akan lahir dari keturunan orang ini kaum yang membaca Al-Qur`an, tapi tidak sampai melewati batas tenggorokannya (tidak memahami subtansi misi-misi Al-Qur`an dan hanya hafal di bibir saja).

Mereka keluar dari agama Islam seperti anak panah tembus keluar dari (badan) binatang buruannya. Mereka memerangi orang Islam dan membiarkan para penyembah berhala.

Kalau aku menemui mereka niscaya akan kupenggal lehernya seperti halnya kaum ‘Ad.” (HR. Muslim pada kitab Az-Zakah, bab Al-Qismah). (hal 11) Kelompok salafi Wahabi ini hampir persis meniru cara hidup Rasulullah Mereka memakai sorban, bercelana diatas tumit dan berenggot panjang sejatinya itu bagus. Tetapi, hal yang bersifat simbolik itu tidak cukup untuk dinilai bahwa dia telah mengamalkan ajaran Islam.

Ulama` terdahulu, seperti Imam Syafi`I, Al-Ghozali, dan sejumlah tokoh Islam terkemuka lainnya juga mempunyai jenggot panjang dan memakai sorban. Namun, Islam tidak cukup hanya dengan jenggot dan sorban saja.

Sebab, ajaran Islam sangat luas dan tidak bisa diwakili hanya dengan simbol belaka. Simbol adalah kulit yang siapa saja bisa melakukannya, hingga orang jahat sekalipun bisa melakukan hal itu dengan mudahnya.

Jangan sampai hanya dengan simbol umat Islam terpancing untuk menjustifikasi bahwa orang itu muslim puritan atau abangan. Keterjebakan ini kemudian menghasilkan opini publik bahkan dunia mengatakan bahwa Islam adalah agama teroris, atau teroris diidentikkan dengan islam. Padahal ditelisik lebih jauh, Islam tidak mengajarkan terorisme dan ajaran ekstrim lainnya.

Buku ini hadir sebagai bentuk penolakan atas mereka (kelompok Islam) yang menodai agama Islam dengan kekerasan yang identik dengan Islam fundamentalis dan Islam ekstrim.

Untuk memahami kelompok-kelompok yang seperti itu, maka buku ini menjadi tambahan pengetahuan dan referensi bagi umat islam agar umat islam tidak melulu terjebak dengan doktrin kelompok-kelompok ekstrimis tersebut.

Nur Hidayat Muhamad, dalam buku: Benteng Ahlussunnah Wal Jama’ah (Menolak Faham Salafi, Wahabi, MTA, Hizbut Tahrir Dan LDII), diterbitkan Nasyrul Ilmi, Kediri, 2012, mengatakan, akhir-akhir ini yang menjadi tantangan bagi warga Nahdatul Ulama (NU) adalah maraknya aliran-aliran baru yang menyimpang dari ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Aliran-aliran tersebut seperti, Majlis Tafsir Al-Qur’an (MTA), Syi’ah, Ahmadiyah, Lembaga Dakwah Islam Indonesia (LDII), Salafi Wahabi, dan Hizbut Tahrir (HTI).

Dari beberapa kelompak dan aliran ini, ajaran amaliahnya jauh berbeda dengan apa yang selama ini menjadi tradisi di kalangan warga nahdliyin. Bahkan mereka memvonis akidah amaliah warga NU seperti, tahlilan, yasinan, shalawatan, adalah perbuatan bid’ah, dan diharamkan melakukannya.

Melalui buku “Benteng Ahlusunnah Wal Jama’ah”, Menolak Faham Salafi, Wahabi, MTA, LDII, dan Hizbut Tahrir, Nur Hidayat Muhammad, mengajak masyarakat bisa mengenali seperti apa kondisi aliran tersebut yang saat ini telah berkembang besar di Indonesia, baik dari segi proses kelahirannya maupun sikap mereka terhadap para ulama.

Kita tahu gerakan-gerakan mereka hanya berbekal dalil sekenanya saja, mereka mengklaim telah memahami ajaran Rasulullah dengan semurni-murninya, padahal dalilnya adalah palsu dan tidak rasional. Mereka sebenarnya tidak memahami isi al-Qur’an dan hadits, apalagi hingga menafsirkannya.

Munculnya beberapa aliran seperti, Salafi Wahabi dan Hizbut Tahrir di Indonesia bukanlah mendamaikan umat Islam justru perpecahan yang terjadi dikalangan umat Islam. Islam melarang melakukan perbuatan kekerasan dan perpecahan, Islam adalah agama yang ramah, santun, yang menjunjung perdamaian, persaudaraan antar sesama.

Salafi Wahabi adalah kelompok yang mengusung misi modernisasi agama dan perintisnya adalah Muhammad bin Abdil Wahhab di Nejd. Beliau adalah pengikut madzhab Imam Ahmad, akan tetapi dalam berakidah beliau mengikuti Ibnu Taimiyah.

Ajaran Salafi Wahabi adalah, mengkafirkan sufi Ibnu Arabi, Abu Yazid al-Bustani. Mudah mengkafirkan muslim lain. Memvonis sesat kitab “Aqidatul Awam, dan Qashidah Burdah. Mengkafirkan dan menganggap sesat pengikut Mazdhab Asy’ari dan Maturidiyyah. Merubah beberapa bab kitab-kitab ulama klasik, seperti kitab al-Adzkar an-Nawawi.

Mereka menolak perayaan Maulid Nabi Muhammad karena menganggap acara tersebut sebagai acara bid’ah, dan perbuatan bid’ah menurut mereka adalah sesat semuanya. mereka menilai acara yasinan tahlilan adalah ritual bi’ah.

Padahal, kedua amalan tersebut tidak bisa dikatakan melanggar syari’at, karena secara umum bacaan dalam susunan tahlil ada dalil-dalilnya baik dari al-Qur’an dan al-Hadits seperti yang sudah disampaikan oleh para ulama-ulama terdahulu.

Dan mereka menolak kitab “Ihya’ Ulumuddin” karya Imam al-Ghazali (hal.24-25). Aliran dan gerakan yang akhir-akhir ini berkembang di Indonesia, adalah Hizbut Tahrir.

Hizbut Tahrir sebetulnya adalah nama gerakan atau harakah Islamiyyah di Palestina dan bukan sebuah aliran, atau lembaga strudi ilmiyah, atau lembaga sosial. Mereka hanyalah organisasi politik yang berideologi Islam dan berjuang untuk membangkitkan kembali umat Islam dari kemerosotan, membebaskan umat dari ide-ide dan undang-undang kufur, membebaskan mereka dari cengkeraman-cengkeraman dominasi negara-negara kafir dan mendirikan kembali sistem khilafah dan menegakkan hukum Allah dalam realita kehidupan.

Gerakan yang muncul pertama kali di Quds Palestina ini, selain mengusung konsep khilafah kubra, juga menolak sistem pemerintahan demokrasi yang dianut sebagian besar negara di dunia. Tujuan besar mereka adalah memulai kehidupan Islami dengan cara menancapkan tonggak-tonggak Islam di bumi Arab baru kemudian merambah khilafah Islamiyah (hal.33).

Adapun konsep mazdhab Hizbut Tahrir adalah, ingkar akan kebenaran dan adzab kubur. Membolehkan mencium wanita bukan istri baik dengan syahwat atau tidak. Tidak percaya akan munculnya Dajjal diakhir zaman. Hadits ahad tidak boleh dijadikan dalil dalam akidah. Dan membolehkan negara Islam menyerahkan pajak kepada negara kafir.

Buku ini mengajak masyarakat mengenali beberapa aliran yang ada di Indonesia serta aspek-aspek kesesatannya yang telah menyimpang dari ajaran ahlussunnah wal jama’ah. Buku ini terdiri dari tiga bab pertama, menjelaskan aliran-aliran yang berkembang di Indonesia seperti, Ahmadiyah, LDII, MTA, Ingkar Sunnah, Salafi Wahabi, Syi’ah, HTI, Muhammadiyyah, dan Ahlusunnah Wajjama’ah.

Kedua, membantah tuduhan wahabi dan MTA. Ketiga, tanya jawab seputar tarekat sufi, sebagai penegas amaliah tarekat sufi yang tidak bertentangan dengan syari’at. Buku ini diharapkan sebagai benteng warga Nahdatul Ulama dari serangan aliran-aliran dan faham yang saat ini marak dan berbeda dengan mayoritas umat Islam pada umumnya. (Aju)