Oleh: Alois Wisnuhardana
Indonesia Eximbanker, personal note
JAKARTA (IndependensI.com) – Manusia pada hakikatnya adalah binatang. Yang membedakannya dengan binatang yang kita kenal baik –anjing, tikus, ular, macan, babi, atau nyamuk—hanyalah organ dan cara berpikir. Manusia bergerak dengan pikiran dan logikanya, binatang dengan nalurinya.
Ekonom kondang John Maynard Keynes menggunakan istilah “animal spirit” dalam buku klasiknya “The General Theory of Employment, Interest and Money” yang terbit tahun 1936. Dalam buku itu, Keynes kurang lebih menggambarkan semangat kebinatangan manusia sebagai makhluk konsumsi. Manusia dalam sistem ekonomi yang dikonsepsikan Keynes, tak lain dan tak bukan adalah makhluk yang sama dengan binatang dalam pola konsumsi. Instingtif, naluriah –dan kadang-kadang—serakah.
Pandemi telah membuat manusia menjadi seperti binatang. Ia dipaksa untuk tinggal di rumah-rumah, persis seperti binatang di dalam kebun binatang atau ikan di dalam akuarium. “Kita jadi tahu bagaimana perasaan binatang-binatang itu. Disuruh tinggal dalam kandang, dikasih makan, disuruh tidur, disuruh makan lagi.”
Pandemi juga telah membuat cara bekerja berubah. Ada beberapa riset di AS –Stanford, Massachussets, dan entah mana lagi—lebih dari separuh pegawai yang tadinya bekerja di kantor, memindahkan meja kerjanya di rumah. Di kasur, di meja dapur, di kebun belakang, atau di ruang-ruang apartemen sewa atau milik. Yang menarik, PDB AS selama pandemi sampai dengan Mei 2020, sekitar dua per tiganya dikontribusi dari orang-orang yang bekerja dari rumah.
Pandemi memang telah membisukan –MUTING- angka-angka dan proyeksi ekonomi normal. Tapi Zoom, Webex, Meet, telah membalikkan ekonomi yang sedang dipaksa MUTE menjadi UNMUTE. Dari bisu, jadi bersuara.
Orang bisa tetap produktif, dengan segala adaptasi dan toleransinya. Adaptasi terhadap penggunaan teknologi baru, dan toleransi terhadap kualitas-kualitas meeting yang kadang terganggu karena koneksi internet yang buruk.
Platform digital juga telah menyelamatkan toko-toko dan usaha kecil-kecilan yang berjualan barang dan jasa apa saja. Tentu saja, tidak semuanya selamat. Banyak juga yang gulung tikar. Survei BPS pada bulan Agustus menunjukkan, ada tiga sektor industri yang segera memberhentikan pekerja mereka segera setelah ekonomi nyungsep karena pandemi.
Ketiganya adalah industri pengolahan, konstruksi, dan akomodasi/transportasi dan mamin (makanan-minuman). Jumlah industri sektor pengolahan, kata BPS, yang segera memberhentikan pegawai adalah 18,69 persen dari total responden yang disurvei sebanyak 34.559 pelaku usaha. Yang bergerak di sektor pengolahan jumlahnya adalah 5.522.
Dari seluruh responden yang disurvei BPS, sebanyak 14,04 persen merumahkan pegawainya tanpa dibayar. Artinya, 14 dari 100 perusahaan atau bidang usaha yang disurvei, tidak mampu membayar gaji pegawai selama mereka dirumahkan.
Maka, sinyal dan rencana vaksinasi adalah kunci. Pada kacamata BPS, 14 persen atau 14 perusahaan yang sudah tidak mampu membayar gaji pegawai adalah sekadar catatan angka-angka. Statistik belaka. Tapi coba bayangkan seandainya kita adalah salah satu pegawai atau pemilik usaha dari yang 14 itu. Betapa peningnya memikirkan kebutuhan sehari-hari, atau menyelamatkan usaha yang terhajar oleh pandemi.
Oleh karena itu, saya melihat mereka yang menentang vaksinasi atau melawan rencana vaksinasi, sepertinya menentang karena problem eksistensi. Tentu ada alasan-alasan yang dianggap kuat dan mendasar, tetapi melakukan vaksinasi jauh lebih punya alasan kuat seberapapun masih compang-campingnya efektivitas (eficacy) dan ruwet di dalam pelaksanaannya nanti.
Sedari awal, kita sudah sadar bahwa masalah pokok dari pandemi ini adalah kesehatan dan ekonomi dalam sekeping mata uang. Kita tak mungkin memisahkannya.
Dan karena vaksinasi sudah akan dijalankan oleh Pemerintah, saya memilih untuk bersedia divaksin. Karena saya nggak mau jadi buaya atau kancil di kebun binatang, yang selalu dikasih makan minum, tapi tidak bisa ngopi-ngopi cantik atau sekadar ketemu mantan dan gebetan.