Ketua DPP Peradi RBA, Luhut MP Pangaribuan

Pulihkan Indonesia dari Pandemi Covid-19

Loading

“Bangunlah Jiwanya, Bangunlah Badannya”: Refleksi Peradi RBA Dalam Memperingati hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke-76.

Oleh Dr. Luhut M.P Pangaribuan SH LLM
Ketua Umum DPN PERADI RBA

 

Setiap kita tidak lepas dari akibat Pandemi Covid 19 ini, kekhawatiran bahkan mungkin suatu kesedihan menyertai. Karena itu wajar kita berharap agar kiranya cepat berlalu.

Kita tahu bahwa tidak hanya Indonesia  saja,  bahkan setiap orang di dunia ini. Kesedihan, kekhawatiran tetap dirasakan dan nyata serta berat.

Kata pandemik merujuk pada cakupan wilayah dunia, yakni setiap orang di dunia ini, saat ini, sedang mengalaminya pada saat yang sama.

Sedihnya kebersamaan itu bukan kegembiraan bersama tapi kesedihan bersama. Semua itu atas benda yang tidak kelihatan mata.

Sepertinya kedigdayaan senjata, keberhasilan profesi, kemegahan jabatan dan harta yang dipunyai oleh masing-masing manusia di segala bidang itu seperti “dilecehkan”, dengan mengatakan: “kau tidak ada apa-apanya dan berguna, karena itu rendahkanlah dirimu”. Hanya oleh benda kecil yang tidak kelihatan mata.

Tapi benda kecil itu sebagaimana kita saksikan menghampiri semua orang tanpa melihat siapa dia, seberapa hebatpun dia, tidak berdaya menghadapinya.

Karena itu kita sangat berterimakasih pada pemerintah, relawan atau siapa saja yang terus mengusahakan “perlawanan” dengan berbagai usaha meningkatkan ketersediaan faskes dan nakes.

Khususnya kepada nakes yang tidak kenal lelah terus membantu “bertempur” untuk mengalahkan benda kecil yang tidak kelihatan mata itu. Mereka sungguh pahlawan saat ini.

Sekalipun dalam situasi yang sulit, tapi ada saja yang memikirkan dirinya sendiri saja. Misalnya dalam skala global diskursus apakah hak patent atas temuan vaksin akan digratiskan.

Dengan begitu warga negara negara miskin tetap bisa mendapatkan vaksinasi untuk tercapainya herd-imunity.

Dalam skala yang lebih kecil di Indonesia, di tengah vaksinasi kedua dimana belum semua kebagian, ada sementara yang diam-diam sudah dapat booster vaksin ke-3.

Pada hal vaksin yang ke-3 terbatas masih diperuntukkan untuk pahlawan kita yaitu para nakes. Tapi hanya karena aksesnya ke vaksin karena jabatan, ada yang mendahulukan dirinya dan “sahabat-sahabat”nya.

Korupsi!

Sebelumnya pernah mengalami ada peristiwa dimana masker tiba-tiba hilang dan sulit didapatkan masyarakat. Jikapun ada harus membayar harga yang mahal.

Ternyata karena ulah pencari untung di tengah kesulitan masyarakat. Sekarang orang bicara lagi apakah kita harus bayar biaya PCR lebih mahal dari negara lain?

PCR yang telah kebutuhan rutin hampir setiap hari untuk sebahagian orang khususnya yang hendak bepergian.

Dalam situasi demikian, sekalipun kecil, DPN Peradi bekerjasama dengan pihak Dinkes Jakarta memberikan kontribusi vaksinasi kepada anggota, yang telah dijalankan dengan baik. Program vaksinasi yang sangat dibutuhkan saat ini.

Tapi sedih tetap kita alami, ketakutan bahkan horor serasa yang akan menghampiri kita. Dan diperparah dengan ulah “oknum” yang dalam setiap kesempatan selalu saja ada dalam masyarakat seperti di atas.

Solidaritas sosialnya hilang. Bahkan dengan merampas hak orang lain, hak untuk sehat.

Advokat dalam situasi demikian harus terpanggil. Membela yang terpinggirkan.

Semua harus diperlakukan sama di depan pemerintahan, hukum dan keadilan. Advokat harus terpanggil untuk ikut-serta memulihkan Indonesia dari ancaman pandemik covid ini.

Belum ada yang tahu kapan akan berakhir; yang sudah berlangsung hampir 2 tahun. Segala duka, hampir tidak ada suka, telah dan sedang menyertai perjalanan kita masing-masing, semua masyarakat yang terpukul dan atau memperberat ekonomi atau bahkan hampir menghempaskannya selama masa pandemi ini.

Tapi kita harus kuat, tabah dan bangkit mengahadapinya. Kita tidak boleh kalah. Dengan semangat dan peduli apalagi jika dilakukan dengan bahu membahu melawannya kita akan selamat.

Setiap kita harus menang melawan pandemik covid ini. Kita harus percaya akan jadi pemenang sesuai kekuatan, usaha dan doa menurut keyakinan kita masing-masing.

Hari ini teringat akan Pino staf kita yang rajin, bersahaja dan suka menyapa siapa saja di Seknas DPN PERADI yang sudah pergi mendahului kita.

Dia telah pergi selamanya karena Covid ini. Dia pergi ketika dia sudah sukses dari kesusahannya mencapai gelar sarjana hukum. Dia sudah akan bangkit menjadi Advokat.

Profesi yang dicita-citakannya setelah bergabung sebagai staf di DPN PERADI. Dia telah berhasil dengan semangatnya yang luar biasa menjadi sarjana hukum.

Suatu hari dia mengahampiri saya di Seknas DPN. Dia menyampaikan sekiranya bisa ikut PKPA yang kita selenggarakan bersama Fakultas Hukum Universitas Indonesia {FHUI).

Dan sekiranya pula ia bisa dibebaskan dari biaya PKPA. Uangnya belum cukup membayar biaya PKPA sebagai staf di Seknas DPN Peradi.

Saya terperanjat dan seperti tidak percaya. Kapan ia sudah lulus sarjana hukum.

Karena ada yang saya tahu ada sementara orang dapat gelar tanpa sekolah dan jadi advokat. Pino tidak demikian.

Rupanya usai kerja di DPN Pino kuliah malam. Dia jalani kuliah dengan tekun.

Dia lulus dari Fakultas Hukum Universitas Wiraswasta Indonesia. Dia tekuni kuliah itu dengan keterbatasan waktu dan daya. Tapi berhasil dia lalui dengan semangat yang luar biasa.

Dia bisa menjadi contoh semangat mencapai sesuatu yang dicita-citakan.

Dalam keterperanjatan, saya bertanya, apa skripsimu? Saya masih ragu apa betul ia kuliah sungguh-sungguh dan tidak akan menjadi “Advokat bakpao”.

Dia menjelaskan skripsinya tentang kasus tuntutan ganti rugi dalam kecelakaan lalu-lintas. Saya tanya beberapa hal sebagaimana layaknya sidang skripsi di kampus; dia jawab dengan baik.

Dia lulus, dia sungguh lulus sebagai sarjana hukum dengan benar. Dan ingin bangun sebagai Advokat; seperti Advokat RBA lainnya.

Sudah terdaftar sebagai peserta PKPA dan tinggal mengikuti saja. Tapi yang kuasa berkehendak lain.
Dia harus berakhir sampai dengan Pinondang Siahaan, SH saja tanpa jabatan Advokat karena terpapar Covid.

Jabatannya sebagai Advokat yang sudah ditapaki tidak sempat tercapai, pada hal tinggal waktu saja. Bagaimanapun itu juga suatu keberhasilan sekalipun tidak paripurna ditengah kesulitan karena Covid itu.

Tapi perjalanan Pino jika direfleksikan dalam kehidupan kita masing-masing, yang masih menghadapi bahaya Covid ini, persis sebagaimana dalam sub-judul diatas, bangunlah jiwanya, bangunlah badannya.

Dari tidak seseorang tapi dengan semangat tanpa lelah sambil tidak lupa menyapa sekelilingnya sesuai tugas dan tanggung-jawabnya, dia telah menggapai cita-citanya sebagai sarjana hukum.

Artinya semangat bisa mengatasi keterbatasan sehingga menjadi kekuatan. Dari dasar ia bisa bangkit membangun karir yang dicita-citakannya.

Sekalipun belum sampai puncaknya, tapi semangatnya itu sudah terpenuhi untuk menujukkan suatu keberhasilan.
Sebagai tambahan, sebelumnya Pino hanya satpam yang di PHK sebelum menjadi staf di seknas Peradi.

Founding father Republik Indonesia dengan semangat juga telah berhasil membangun Indonesia sebagai bangsa yang merdeka, yaitu bangsa Indonesia.

Dari berbagai suku, bahasa, agama yang sudah ada sebelum Indonesia sepakat menjadi satu bangsa Indonesia.

Ini adalah gerakan revolusioner sekalipun tidak bersifat fisik atau perang; tapi revolusi yang bersifat kejiwaan.

Revolusi kejiwaan ini adalah sebagai motivasi memerdekakan diri dan sukses lepas dari kolonialisme.

Dalam kebhinekaan, suku, agama dan bahasa itu, Indonesia didirikan yaitu negara hukum Republi Indonesia. Hari ini revolusi bersejarah itu kita rayakan yang ke 76.

Lebih jauh lagi, proses menjadi bangsa itu adanya perbedaan agama tidak menjadi alasan untuk tidak bisa bersatu.

Perbedaan agama dibangun dengan suatu konsep toleransi khas Indonesia sebagaimana termaktub dalam butir-butir yang ada dalam pernyataan pertama dalam konstitusi.

Suatu konsep hukum dasar yang disepakati sebagai fondasi kita berbangsa dan bernegara. Pilihan bentuk negara ialah Republik artinya negara berdasarkan kesepakatan bersama tumpah darah warganegara di negara baru waktu itu yaitu Indonesia Raya.

Jadi karena kita beragama dengan keyakinan yang berbeda-beda kita berPancasila.

Inilah “temuan” revolusioner utama yang lain ketika Indonesia di bangun dengan semangat keTuhanan Yang Maha Esa, menghargai kemanusiaan tanpa membedakan apapun suku, agama dan kepercayaannya, persatuan merupakan kontrak sosial yang sudah dikonstitusionalkan, perbedaan pendapat didekati dengan semangat kekeluargaan dengan hikmat kebijaksanaan permusyawaratan, dan selalu sensitif terhadap keadilan soasial.

Memperjuangkan keadilan adalah bagian dari tanggung-jawab kita baik sebagai Advokat maupun sebagai Organisasi Advokat.

Keadilan untuk semua kiranya menjadi panggilan tidak saja normatif tapi juga panggilan etis.

Karena “founding father” UU Advokat sudah menyatakan bahwa “kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala campur tangan dan pengaruh dari luar, memerlukan profesi Advokat yang bebas, mandiri dan bertanggung-jawab, untuk terselenggaranya suatu peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan hukum, kebenaran, keadilan dan HAM”.

Karena itu ketika menghadapi salah satu rumusan RKUHP dewasa ini, yaitu Advokat yang dalam menjalankan pekerjaannya secara curang, (a) mengadakan kesepakatan dengan pihak lawan klien, pada hal mengetahui atau sepatutnya menduga bahwa perbuatan tersebut dapat merugikan kepentingan pihak kliennya, atau (b) mempengaruhi panitera, panitera pengganti, juru sita, saksi, juru Bahasa, penyidik, penuntut umum, atau hakim dalam perkara, dengan atau tanpa imbalan; tentu dapat kita sikapi juga sebagai bagian dalam memperjuangkan keadilan.

Pasti Advokat RBA tidak setuju akan praktek seperti itu, karena itu patut menjadi perhatian kita juga dalam rangka memperjuangka keadilan. Keadilan bukan hanya untuk diri kita tapi keadilan itu untuk semua.

Keadilan yang benar bukanlah dengan curang apalagi menjadikan orang lain sebagai korban.
Sekiranya mendukung kriminalisasi perbuatan yang seperti itu tentu tidak merugikan siapun tapi menghendaki adanya ‘fair-play;” jadi acuan normative berperkara dalam peradilan.

Tentu dengan harapan kriminalisasi yang sama juga terhadap siapa saja yang punya tugas dan fungsi dalam proses peradilan, tanpa diskriminasi, terhadap hakim, jaksa, polisi, panitera dan lain sebagainya.

Karena Advokat sebagai penegak hukum tidak saja cukup benar saja tapi lebih jauh lagi harus senantiasa bertanggung-jawab.

Sebagai Advokat bertanggung-jawab terhadap bukan saja untuk klien dan dirinya tapi juga untuk masyarakat dan hukum itu sendiri.

Jika tidak maka berhentilah Advokat yang mengaku sebagai penegak hukum. Apalagi lebih jauh lagi mengklaim diri sebagai nobile officium.

Dirgahayu RI, jayalah Indonesia, jayalah Peradi RBA untuk negara hukum Indonesia.

Jakarta, 17 Agustus 2021