Doktrin Islam Tidak Kompatibel, Tak Seiring Etos Peradaban Modern

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Ibarat film, buku ini film kolosal. Penuh dan kuat dengan data. Mengupas sejarah Islam belasan abad. Jelas memperkaya perspektif yang tengah berkembang.

Pertanyaan besar diajukan. Mengapa Dunia Muslim yang dulu pernah maju kini tertinggal? Mengapa kawasan itu kurang demokratris?

“Tapi analisis dan rekomendasi buku ini, seperti kata anak gaul, terasa kurang ‘satu ons’. Masih terasa ada yang kurang sehingga spirit buku ini kurang progresif,” kata peneliti dan pendiri Lembaga Survey Indonesia (LSI), Denny Januari Aly, Jakarta, Senin, 15 Februari 2021.

“Demikianlah respon cepat saya membaca buku Ahmet T Kuru: ISLAM, Authoritarian, and Underdevelopment. A Global and Historical Comparison.”

Buku ini terbit tahun tahun 2019, oleh penerbit berwibawa Cambridge University Press. Tebal buku lebih dari 300 halaman. Tebalnya tak terasa karena renyah dibaca.

Menurut Denny JA, dua hal yang diaminkan. Tapi satu hal yang diberi catatan. Namun yang diberi catatan justru core philosopy, tesis utama buku itu.

“Saya setuju dan senang dengan data perbandingan yang disajikan buku ini. Betapa kemajuan rata- rata dunia Muslim tertinggal jika dibandingkan rata rata dunia non – Muslim.”

Itu baik terlihat dari kesejahteraan ekonominya. Itu juga terlihat dari kualitas demokrasinya.

Dari sisi data, sebenarnya yang dikembangkan oleh Human Development Index jauh lebih lengkap dan lebih komprehensif, jika dari sana dikategorisasi menjadi dunia muslim versus dunia non Muslim.

“Saya juga setuju kritik buku ini atas dua teori sebelumnya, yang menjelaskan keterbelakangan Dunia Muslim,” ujar Denny JA.

Pendekatan esensialis menekankan kemunduran Islam berada pada esensi ajaran agama itu. Doktrin Islam bermasalah dengan kemajuan. Dalam bahasa popular: doktrin Islam tidak kompatibel, tidak seiring dengan etos peradaban modern.

Ahmed Kuru mengkritik pendekatan ini. Bukankah dengan ajaran dan doktrin yang sama, Dunia Muslim pernah juga mengalami masa keemasan (Golden Age), di tahun 800-1208. Masa keemasan itu terjadi justru ketika kawasan Dunia Barat masih di era kegelapan.

Penjelasan kemunduran Dunia Muslim lain: Politik Kolonial. Era kolonial penyebab kemunduran Dunia Muslim. Pelemahan kawasan itu, dari sisi ekonomi, kultural hingga politik, berlangsung massif di era kolonial.

Akibatnya Dunia Muslim tumbuh mengambil jarak dengan peradaban negara kolonial, mengembangkan sistem altenatifnya sendiri. Namun yang terjadi, sistem alternatif itu semakin membawa Dunia Muslim pada kemunduran.

Ahmed Kuru mengkritik pendekatan ini. Bukanlah era kemunduran Islam sudah terjadi sejak abad ke-13? Ini era dimana kolonialisme belum dikenal.

“Buku ini menawarkan penjelasan lain. Penyebab mundurnya dunia Muslim, menurut buku ini, karena aliansi ulama ortodox dengan negara. Aliansi ini dimulai di abad 13 dan terus mengental,” ujar Denny.

Di saat yang sama, dunia barat justru memisahkan agama dan negara: state terpisah dari curch. Dengan menyatunya ulama ortodox dan negara maka sumber kemajuan di dunia barat tak terjadi di kawasan muslim.

Itu adalah pertama: munculnya kelas intelektual dan borjuasi independen. Kelas itu terlepas dari dominasi agama dan negara.

kedua: juga tumbuh kemajuan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan, bukan Doktrin agama, yang menjadi basis public policy.

Ketiga: tumbuh pula keberagaman yang dilindungi. Sehingga sinerji keberagaman itu justru melahirkan enerji kultural luar biasa.

“Ketiga variabel kemajuan itu tak terjadi di dunia muslim akibat kontrol ketat ulama ortodox dengan paham agama konservatif, anti kultur kemajuan, yang beraliansi dengan kekuasaan. Dunia Muslim pun menjadi reaktif ketika dunia barat progresif,” ujar Denny.

“Mengapa Mengapa saya tak setuju dengan core philsophy, dengan tesis utama Ahmet T Kuru? Karena data sejarah menunjukan hal yang lain. Bukan hanya aliansi ulama ortodox dan pemerintah yang memundurkan Dunia Muslim,” ujar Denny.

Bahkan untuk kawasan dimana pemerintah dan ulama ortodoxnya tidak beraliansi, bahkan berlawanan, berkonfrontasi, Dunia Muslim juga mundur.

Contohnya ada Aljazair di tahun 1989-1992. Di era itu, di wilayah itu berdiri partai FIS (Front Islamique du Salut, Islamic Salvation Front). Partai ini dikuasai ulama ortodox.

Partai ini memenangkan pemilu. Tapi kemudian dikudeta oleh militer. Bahkan kemudian partai ini dilarang.

Jelas sekali dalam kasus FIS 1989-1992, bukan aliansi ulama ortodox dan pemerintah yang tejadi. Tapi di era itu justru berlangsung konfrontasi pemerintah dan ulama ortodox.

Tapi ketika pemerintah dan ulama ortodox tidak beraliansi di Aljazair, Dunia Muslim itu, tetap tak maju.

“Lalu apa penyebab kemunduran dunia muslim? Saya mengajukan tesis alternatif. Sebuah negara akan mundur jika ruang publiknya didominasi oleh satu paham agama saja. Baik ketika ulama atau pendeta atau biksu itu beraliansi ataupun beroposisi dengan pemerintah,” ujar Denny JA.

Prinsip ini tak hanya untuk dunia muslim. Tapi untuk kawasan agama lainnya pula. Karena itu, rekomendasinya: netralkan ruang publik dari dominasi satu agama. Tak penting apakah ulamanya atau pendetanya beraliansi atau beroposisi dengan pemerintah.

“Dalam buku saya: 11 Fakta Era Google: Bergesernya Pemahaman Agama (2021), data kuantitatif saya sajikan menunjang tesis itu. Dengan netralnya ruang publik dari dominasi satu agama, dan negara netral atas 4300 agama yang kini hadir, ruang publik akan didominasi oleh kekuatan progresif yang bersumber dari kultur progresif,” ungkap Denny.

Itu adalah ilmu pengetahuan, teknologi tinggi, manajemen modern dan prinsip hak asasi manusia. Kultur progresif ini hanya hadir dalam ruang publik yang tak lagi didominasi satu agama, terlepas apakah ulamanya, pendetanya beraliansi atau berkonfrontasi dengan pemerintah.

“Ibarat film kolosal, buku Ahmed Teru ini asyik diikuti. Tapi ending filmnya terasa kurang garam,” ujar Denny JA.(aju)