Brigjen TNI (Purn) Johannes Marcus Pattiasina. (Ist)

JM Pattiasina, Permiri dan Perang Kemerdekaan di Palembang (1)

Loading

*Oleh: Dr. John R. Saimima

JAKARTA (Independensi.com) – Perlawanan pada masa Jepang tidak bisa terlalu frontal di Sumatera Selatan, karena Jepang hampir tidak memberikan ruang bagi kaum pergerakan. Setiap tindakan yang mencurigakan akan berhadapan dengan kekejaman tentara Jepang. Kaum Republiken tidak secara frontal melakukan perlawanan, tetapi melakukan pergerakan bawah tanah. Sebab, gerakan harus berhati-hati, karena Belanda yang hendak menguasai Indonesia kembali, juga melancarkan aksi anti-Jepang. Gerakan anti Jepang juga semakin menguat karena sikap kejam Jepang dan menerapkan sistem kerja paksa.

JM Pattiasina, Permiri dan Perang Kemerdekaan di Palembang (2/habis)

Pada 1944, Jepang mulai terdesak oleh tentara Sekutu. Sekutu yang terdiri dari Amerika, Britania Raya, Uni Soviet, Belanda dan Tiongkok mulai mendesak posisi Jerman dan Italia di Eropa. Begitu Jepang bergabung dengan Jerman dan Italia di Asia Timur.

“Pelopor Permina (Pertamina) Brigjen TNI (Purn) Johannes Marcus Pattiasina, bukan tentara yang berkarier di Pertamina, tetapi ‘orang minyak’ yang menjadi tentara”

Serangan Sekutu terhadap Jepang ini membuat Jepang terdesak di berbagai wilayah yang diduduki. Sekutu juga menyasar wilayah strategis yang diduduki Jepang, termasuk kilang Plaju dan Sungai Gerong Palembang. Pada Januari 1945,  pesawat Inggris yang tergabung dalam Sekutu melakukan pengeboman terhadap kilang minyak Pangkalan Brandan dan Palembang. Serangan pertama dilakukan pada 24 Januari 1945 dan kedua pada 29 Januari 1945. Serangan pesawat Inggris ini menapat dukungan dari Kapal Perang “Raja George V”, empat kapal induk, tiga kapal penjelajah dan tiga kapal perusak, yang berada di perairan Sumatera.

Namun, serangan di Palembang ini, juga mendapat perlawanan dari Jepang yang ingin mempertahankan sumber minyak untuk armada perangnya. Namun, serangan pesawat Inggris menciptakan kerusakan dan kebakaran di Kilang Plaju dan Sungai Gerong, sehingga kedua kilang itu tidak dapat berfungsi. Sebab, Jepang juga menghadapi persoalan alat transportasi untuk mengangkut minyak dari Hindia Belanda ke Jepang. Selain itu, Jepang tidak lagi bisa melintasi Laut China Selatan, karena telah dikendalikan pasukan Amerika. Kerusakan kilang di Palembang ini juga merupakan pukulan tersendiri bagi Jepang, karena menyulitkan untuk memperoleh pasokan minyak.

Melihat Jepang yang kian terdesak, Pattiasina bersama teman-temannya mengambil alih pimpinan kilang minyak Plaju dan Sungai Gerong dari tangan Jepang pada Maret 1945 atau lima bulan sebelum Jepang menyerah pada Agustus 1945. Padahal, Pattiasana menduduki posisi sebagai Kepala Pabrik Asano Butai Kilang di Sungai Gerong.

Untuk memperkuat posisi perjuangan, Pattiasina dan rekan-rekannya mengkonsolidasikan diri dalam badan perjuangan yang dinamai Angkatan Pemuda Indonesia (API) Minyak.

API Minyak atau Laskar Minyak pimpinan Pattiasina ini berjumlah sekitar 600 orang pasukan, yang terdiri dari berbagai etnis. Di API Minyak ini antara lain terdapat Sainan  Sagiman dan Alex Kawilarang. Sebagian besar merupakan bekas karyawan minyak pada zaman Jepang dan Hindia Belanda. Untuk itu, Pattiasina mendapat pangkat Letnan Kolonel, karena Pattiasina juga merupakan komandan Pesindo.

Situasi mulai berbalik ketika sekutu menghujani Jepang dengan bom atom di Hirosima dan Nagasaki pada 6 dan 9 Agustus 1945. Serangan mematikan ini membuat Jepang bertekuk lutut dan menyerah tanpa syarat kepada Sekutu. Situasi di Jepang ini sangat berpengaruh terhadap kaum Republiken untuk mewujudkan Indonesia merdeka, tidak terkecuali di Palembang.

Pada masa akhir-akhir Jepang, Pattiasina lebih banyak bergelut dalam pergerakan, Pattiasina merupakan Komandan Resimen  II Laskar Pesindo. Selain itu, Pattiasina juga merupakan pemimpin Laskar Minyak (API Minyak). Selain Pattiasina, ada sejumlah laskar rakyat yang terbentuk di Palembang seperti laskar kereta api, Napindo, Hisbullah, PSII, dan sebagainya. Laskar rakyat ini juga sangat berperan dalam melakukan perlawanan terhadap Belanda, baik dalam agresi militer I dan agresi militer II.

Selain menjadi pemimpin laskar minyak dan Komandan Resimen  II Laskar Pesindo, Pattiasina juga aktif dalam Angkatan Pemuda Indonesia (API) Minyak di Palembang. Aktivitas Pattiasina di API ini, tidak lepas dari hubungan dengan adiknya, Frans Pattiasina yang juga aktif dalam API Ambon di Jakarta.

Kekalahan Jepang yang disertai dengan Proklamasi Kemerdekaan, juga mendapat sambutan di Palembang. Kaum pergerakan segera mengkonsolidasikan diri untuk membentuk pemerintahan, yang dipimpin A.K. Gani dan sejumlah tokoh pergerakan Palembang. Dalam masa ini, Pattiasina dan kawan-kawan mengkonsolidasikan karyawan minyak, sehingga melahirkan Laskar Minyak. Jadi, di masa akhir Jepang, Pattiasina sudah berhasil melebur laskar minyak ke dalam Permiri. Selain itu, Pattiasina juga menjadi Komandan Resimen  II Pesindo Sumatera Selatan. Pesindo merupakan organisasi pemuda sosialis yang dibentuk di Jakarta.

Sebagai pemimpin Permiri dan Komandan Pesindo, Pattiasina memperoleh pangkat Letnan Kolonel (Letkol) titular. Pangkat perwira ini tidak terlalu mengherankan, karena Pattiasina bukan hanya memimpin Permiri dan laskar rakyat, tetapi juga mengeyam pendidikan perwira zaman Jepang, yang ditunjang dengan keberanian dan keteguhan sikap dalam menghadapi situasi yang tidak menentu.

Situasi tidak menentu juga terjadi di perusahaan minyak setelah kekalahan Jepang. Pasukan sekutu (Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) yang menang perang meminta Jepang untuk menjaga status quo di Hindia Belanda, termasuk mempertahankan penguasaan lapangan minyak dan fasilitasnya sampai dikuasai kembali Belanda.

Namun, di sisi lain, Laskar Minyak yang dipimpin Pattiasina  ingin tetap menguasai kedua perusahaan minyak di Plaju dan Sungai Gerong ini. Laskar yang sangat militan ini tidak mau menyerahkan kepada perusahaan asing. Mereka hanya ingin Indonesia yang baru merdeka yang menguasai perusahaan minyak itu atau bahkan lebih rela dihancurkan daripada dikembalikan kepada Belanda.

Pemerintahan di Karesidenan Palembang yang dipimpin A.K. Gani akhirnya meminta kepada Laskar Minyak untuk mengembalikan kedua kilang minyak itu. Tapi, pemerintahan A.K. Gani juga mengambil kebijakan untuk mendirikan Perusahaan Minyak Republik Indonesia (Permiri), karena dalam pemerintahan pusat di Palembang yang dibentuk pada Agustus 1945, menghasilkan A.K. Gani sebagai Residen Palembang dan dr. M. Isa untuk urusan Minyak dan Pertambangan. Pattiasina mendapat tugas untuk mendirikan dan memimpin Permiri ini tahun 1945 atau tidak lama setelah terbentuknya pemerintahan RI di Palembang. Untuk jabatan ini, Pattiasina juga mendapat pangkat letnan kolonel (Letkol) titular sejak Agustus 1945.

Karyawan minyak juga mengendaki hal seperti itu, yakni bergabung dengan Permiri di bawah pimpinan Pattiasina, tidak lama setelah proklamasi kemerdekaan. Di dalam Permiri ini juga bergabung laskar minyak yang juga berada di bawah pimpinan Pattiasina. Apalagi, Pattiasina tidak asing dengan urusan perminyakan ini, karena lama bergelut baik dalam masa Hindia Belanda maupun pada zaman Jepang.

Pembentukan Permiri ini juga merupakan upaya untuk menghindari sikap ekstrim Laskar Minyak yang bisa memicu perang terbuka dengan Jepang. Pattiasina menjadi panutan, karena selain merupakan senior di kalangan pekerja minyak, sehingga laskar minyak dengan senang hati mendukung Pattiasina. Apalagi, semua karyawan minyak menghendaki keberadaan Permiri yang berkantor di Kenten—satu tempat di dekat Kota Palembang.

Ketika Permiri menguasai kedua kilang ini, pemegang konsesi minyak asing juga tidak tinggal diam, karena mereka berusaha untuk membangun komunikasi dengan pemerintah revolusioner di Palembang. Pada Agustus tahun 1946, perwakilan Shell dan Standard Oil Petroleum melakukan komunikasi dengan pemegang otoritas Sumatera Selatan, Dr. A.K. Gani, guna meminta kembali konsesi minyak di Palembang dan melihat situasi kilang Plaju dan Sungai Gerong. Namun, A.K. Gani merespon kalau konsesi hanya dapat diberikan kembali kalau setengah dari keuntungan minyak diserahkan kepada Republik, dan sedang dibahas Kementerian Pertahanan RI. Gani memiliki posisi yang kuat, karena selain sebagai Gubernur Sumatera Selatan, juga merupakan perwakilan Menteri Pertahanan di Sumatera.

Namun, setelah melalui berbagai komunikasi, akhirnya pengelolaan minyak di Palembang dikembalikan kepada pemegang konsesi, dengan catatan pemegang konsesi memberikan minyak untuk kebutuhan penduduk Sumatera Selatan. Hal ini menyebabkan Permiri yang di dalamnya sebenarnya merupakan API Minyak meninggalkan kilang Plaju dan Sungai Gerong.

Walaupun kedua kilang dikembalikan kepada pemegang konsesi pada 1946, tetapi tidak serta bisa beroperasi karena membutuhkan perbaikan kilang dan instalasi akibat kerusakan yang disebabkan pemboman pada Januari 1945. Selain itu, persoalan pekerja juga menjadi persoalan sendiri, karena sebagian tidak mau bekerja lagi, terutama yang tergabung dalam Permiri, sedangkan yang masih mau bekerja di kilang minyak, juga dihadapkan dengan persoalan pembayaran upah.

Mengenai kesulitan ini, akhirnya dicapai kesepakatan dalam diskusi dengan perwakilan Shell, Standard Oil, perwakilan pekerja minyak dan Residen Palembang Dr. M. Isa pada September 1946. Namun, sebelumnya dicapai kesepakatan, pekerja minyak juga melakukan mogok, karena tidak sepakat dengan tawaran dari pemegang konsesi.

Permiri yang meninggalkan kilang akhirnya membuat kilang kecil sendiri di Kenten, agar bisa menghasilkan minyak sendiri untuk membiayai perjuangan melawan Belanda. Meski kecil, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhan penerangan dan sebagainya. Pattiasina dan kawan-kawan menggunakan peralatan rongsokan dan rampasan di Kilang Sungai Gerong untuk membuat kilang kecil itu.

Setelah kilang kecil itu siap beroperasi, Pattiasina yang menguasai jalur distribusi minyak mentah memotong pipa minyak di hutan yang biasanya digunakan untuk mengalirkan minyak mentah dari Jambi ke kilang milik Belanda. Usia kilang Permiri di Kenten ini tidak berlangsung lama, karena salah seorang API Minyak membocorkan informasi kepada Belanda, sehingga jalur minyak ke Kenten segera dicegah Belanda.

Mengetahui keberadaan kilang ini pada Januari 1947 (setelah perang lima hari), pemegang konsesi melancarkan protes dan menuduh kaum Republiken melakukan tindakan klandestin, karena Belanda merasa sudah berbulan-bulan memasok minyak dan bensin dalam jumlah besar ke Republik di Palembang, yang dipasok Belanda melalui BPM dan NKPM,  untuk kepentingan Republik sebagai syarat untuk melanjutkan pengelolaan kilang minyak. Namun, Permiri mendirikan kilang sendiri untuk memasok bensin dan minyak tanah ke seluruh Sumatera Selatan. Kilang dibangun Permiri dengan bahan yang bersumber dari BPM dan NKPM. Sedangkan, minyak mentah diperoleh Permiri dengan membuat pipa cabang ke sistem pipa perusahaan minyak utama Amerika dan Belanda itu. Protes itu menyebabkan, Permiri menghentikan operasi kilang itu. (bersambung/dari berbagai sumber)

*Penulis adalah Sejarawan Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM).

Catatan: Drs. Johny F. Pattiasina berkontribusi banyak atas artikel ini sebagai narasumber, yang mengikuti langsung pergerakan pejuang/laskar ke luar Kota Palembang. Johny Pattiasina telah meninggal dunia pada 7 Maret 2021.