Hakim Tunggal Sidang Praperadilan Kasus Bank Century, Effendi Muchtar

Kemandirian Hukum Di Tahun Politik

Loading

IndependensI.com – Segala sesuatu yang mengusik ketertiban masyarakat sering menimbulkan asumsi sehingga kondisi riilnya makin kabur hanya sang waktu yang akan menjawab ada apa di sekitar peristiwa itu, apakah rekayasa atau memang apa adanya?

Demikian halnya putusan Hakim PN Jaksel  yang mengabulkan sebagian permohonan gugatan LSM (Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) atas penanganan kasus Bank Century yaitu memerintahkan KPK melanjutkan penyidikan kasus Century dengan menetapkan tersangka baru.

“Memerintahkan termohon untuk melakukan proses hukum selanjutnya sesuai dengan ketentuan hukum dan peraturan perundang-undangan yang berlaku atas dugaan tidak pidana korupsi Bank Century dalam bentuk melakukan penyidikan dan menetapkan tersangka,” ujar hakim Effendi Mukhtar dalam putusan praperadilan.

Dalam amar putusannya Hakim memerintahkan KPK sebagai pihak termohon menetapkan tersangka terhadap sejumlah orang yang didakwa bersama-sama terlibat skandal Bank Century dalam dakwaan eks Deputi Gubernur Bank Indonesia Budi Mulya yang telah divonis bersalah. oleh Mahkamah Agung dihukum 15 tahun.

Putusan Effendi Muchtar ini menjadi perbincangan publik, karena dirasakan sebagian pihak sebagai anomali, selain menohok langsung mantan Wakil Presiden juga sejumlah tokoh. Memang disadari bersama bahwa semua orang sama di depan hukum – siapa berbuat harus mempertanggungjawabkan di depan hukum, sehingga dirasa tidak adil kalau dalam sebuah kasus hukum pilih bulu. Kalau Budi Mulya telah diproses hukum, mengapa yang lain tidak, itu kira-kira dasar pengajuan Praperadilan oleh MAKI.

Harus diacungkan jempol kepada pemohon yang dengan cerdik mencari peluang Praperadilan, walaupun para advokat konvensional agak merasa janggal penerapan hukumnya. Sebab Praperadilan tujuannya adalah melindungi Hak-hak Tersangka agar tidak diperlakukan dengan semena-mena oleh Penyidik tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan seseorang sebagaimana Pasal 77 – Pasal 83 KUHAP termasuk yang diperluas Mahkamah Konstitusi dengan sah tidaknya penetapan seseorang menjadi Tersangka.

Adalah penafsiran yang terlalu jauh dan amat melebar, apabila Praperadilan juga diterapkan sebagai “perintah” kepada KPK sebagai Penyidik untuk menetapkan seseorang atau beberapa orang sebagai tersangka. Dan inilah yang dianggap anomali.

Putusan Praperadilan ‘a quo’, dianggap sebagai tidak mengikuti norma atau Ketentuan tentang Praperadilan, maka Putusan tersebut-pun dapat di mohonkan Banding sebab tidak berlaku Pasal 83 yang menyebutkan: “(1) Terhadap putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79, Pasal 80, dan pasal 81, tidak dapat dimintakan banding”,. Karena objek perkara ‘a quo’ tidak sesuai dengan ketentuan tentang Praperadilan, tentu analoginya tidak dilarang untuk dimohonkan banding.

KPK tugasnya memberantas korupsi, tidak pilih bulu. Tetapi kalau diperintah untuk menetapkan tersangka, hanya karena namanya didakwa sebagai bersama-sama terlibat skandal Bank Century dalam dakwaan eks Deputi Gubernur Bank Indonesia, Budi Mulya, maka itu jelas di luar nalar hukum, agak berlebihan.

Namanya saja dakwaan, masih harus dibuktikan. Sekalipun ada dalam putusan pun tidak ada kewenangan hakim Praperadilan memerintahkan penetapan tersangka baru.  Apakah putusan ‘a quo’ terobosan atau kebablasan, murni atau rekayasa?

Setiap anomali muaranya spekulasi apalagi di tahun politik, akhirnya berbagai pertanyaan tidak bisa dihindari, apakah gugatan itu murni dengan keinginan untuk adanya persamaan di depan hukum, tegaknya hukum serta terwujudnya keadilan? Ataukah ada yang “bermain” dalam rangka “pelayu-an” dan balas dendam di tahun politik?

Tapi ada juga  analisa lain, mungkin secara pribadi Sang Hakim sedang jengkel melihat kondisi kenegaraan kita, termasuk pada KPK, politisi dan institusinya lembaga peradilan. Kesempatan yang dimiliki sesuai dengan keyakinannya dituangkan dalam putusan. Jadi tidak perlu curiga, dan pertanyaan di atas, akan terjawab oleh sang waktu. Barangkali yang penting kejujuran sesuai sumpah jabatan serta kembali ke “khittah” masing-masing.

Dengan tetap berpegang pada tugas, fungsi dan tanggungjawab masing-masing, sehingga hukum itu tidak dijadikan alat oleh politik, apalagi tujuan sempit dan balas dendam.

Khusus bagi yang merasa dirugikan oleh Putusan Praperadilan itu “terbuka” kemungkinan untuk naik banding, dengan penafsiran a contrario Pasal 83 (1) KUHAP di atas. Memang kasus Bank Century bagaikan tsunami nasional sebab katanya merugikan keuangan negara Rp 689,894 miliar dalam pemberian Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek (FPJP) dan sebesar 6,762 triliun dalam proses penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. (Bch)