GEMURUH politik di Tanah Air sempat terasa menggelegar saat munculnya wacana masa jabatan Presiden Ir. Joko Widodo tiga periode, dengan mengamandemen (mengubah) Undang Undang Dasar Negara RI Tahin 1945.
Presiden Jokowi masa jabatan periode kedua dimulai 20 Desember 2019 dan berakhir 19 Desember 2024, sebagaimana diatur Pasal 7 UUD 1945, yang berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan”.
Pasal 7 tersebut aslinya berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat dipiih kembali”.
Penerapan Pasal 7 tersebut dalam setiap kepemimpinan kelihatannya seperti sesuai selera, tidak sama.
Di era Presiden Soekarno, pasal itu disimpangi dengan Ketetapan MPRS No. III/MPRS.1963 Tentang Pengangkatan Dr. Ir. Soekarno sebagai Presiden seumur hidup.
Sejak Proklamasi 17 Agustus 1945, tidak pernah ada pemilihan Presiden, dan Tap MPRS tersebut berakhir dengan lengsernya Presiden Soekarno dan Tap MPRS di atas dicabut oleh Tap MPRS No. XVIII/MPRS/1966 tanggal 5 Juli 1966.
Di era kepemimpinan Presiden Soeharto yang mengumandangkan “kembali ke UUD 1945 secara murni dan konsekwen”, penerapan Pasal 7 UUD 1945 tersebut dengan pemilihan Presiden oleh MPR sekali dalam 5 (lima) tahun tetapi dengan calon tunggal.
Pada era reformasi, saat Presiden Prof. BJ Habibie, keluarlah Tap MPR No. XIII/MPR/1988 Tentang Masa Jabatan Presiden dan Wakil Presiden maksimal dua periode, sampai pada ketentuan Pasal 7 UUD 1945 hasil amandemen.
Di masa jabatan periode kedua Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono, wacana untuk tiga periode juga sudah muncul tetapi tidak segemuruh saat Jokowi sekarang, dan alasannya memang lemah.
Wacana seperti itu sah-sah saja, namanya wacana yang tetap harus mengacu pada konstitusi dengan mengubah UUD, yang menjadi permasalahan adalah motivasi wacana tersebut yang harus “otak-atik konstitusi”.
Memang ada keinginan amandemen UUD 1945 secara terbatas, agar mengatur Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan mungkin ada keinginan yang lain lagi.
Lalu ada yang “nimbrung” apa salahnya ikut Pasal 7, apakah demikian tidak jelas.
Kadangkala alasannya masuk akal, kinerja Presiden Jokowi mewujudkan kesejahteraan rakyat dari Sabang sampai Merauke, dari Miangas sampai Pulau Rote, tidak cukup 10 tahun (dua periode), oleh karenanya perlu ditambah, dan banyak lagi.
Sebagai sosok yang taat azas dan brupaya selesai dengan dirinya, Jokowi dengan tegas menolak wacana tiga periode tersebut, bahkan menyatakan wacana itu sebagai menampar mukanya, mencari muka dan menjerumuskan bagi dirinya.
Memang apabila wacana dengan rekayasa tiga periode itu diterima, apa bedanya dari pendahulu-pendahulunya “yang seumur hidup” (25 tahun) dan “lho lagi, lho lagi” (32 tahun).
Berpegang teguh pada konstitusi dengan nilai moral dan etika yang tinggi sebagai pemimpin yang baik tidak boleh “aji mumpung’ dan harus “selesai dengan dirinya”.
Apa yang dipertontonkan Presiden Joko Widodo dalam menyikapi wacana masa jabatan tiga periode tersebut, menjadi pelajaran berharga bagi generasi mendatang dan tamparan serta peringatan bagi generasinya yang menghalalkan secala cara dalam memperoleh serta mempertahankan kekuasaan dan berdemokrasi.
Tidak begitu penting apakah wacana masa jabatan tiga periode Presiden Jokowi tersebut dicetuskan dengan niat baik untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, atau oleh orang-orang yang memperoleh banyak manfaat individu… atau kelompok dari kepemimpinan Jokowi.
Yang jelas Presiden dan kabinetnya “berdarah-darah” mempertahankan ketahanan nasional dan kesejahteraan rakyat di pandemi Covid-19 yang mengganggu semua segi kehidupan masyarakat.
Kembali kepada pihak yang mencoba meng-“otak-atik konstitusi”, sebaiknya tidak sembarangan khusus untuk hal-hal yang genting saja, jangan mudah berwacana amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Penghuni rumah tidak akan nyaman dan aman apabila sedikit-sedikit merombak pondasinya apalagi dirombak untuk kepentingan sesaat.
Lebih dari itu apabila menyangkut konstitusi. Kalau ada yang harus dilengkapi yang tidak tertampung dalam UUD 1945, cukuplah dengan melengkapinya pada peraturan di bawahnya seperti Tap MPR.
Tidaklah pada tempatnya UUD 1945 diotak-atik menyesuaikan kepada karakter perorangan.
Sikap tegas Presiden Jokowi menepis wacana masa jabatan tiga periode tersebut menunjukkan paling tidak saat ini, ketaatannya pada konstitusi serta dia telah selesai dengan dirinya. (Bch)