Gereja Katolik Menghargai Budaya Suku Dayak

Perdebatan Panjang Inkulturasi Gereja Katolik di Suku Dayak di Kalimantan

Loading

YOGYAKARTA (IndependensI.com) – Staf pengajar Sejarah Gereja Katolik Program Studi Sejarah Fakultas Sastra Universitas Katolik Sanata Dharma, Yogyakarta, Pastor DR Gregorius Budi Subanar SJ, menilai, inkulturasi Gereja Katolik di dalam kebudayaan Suku Dayak, sebagai penduduk asli di Kalimantan, masih merupakan sebuah perdebatan panjang, karena implikasinya sangat luas dan kompleks.

Hal hal itu dikemukaan Pastor Subanar di Kampus Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Kamis (2/8/2018), sehubungan Seminar Nasional dan Festival Borneo di Banjarmasin, Provinsi Kalimantan Selatan, 8 – 13 Agustus 2018.

“Selama ini, inkulturasi Gereja Katolik ke dalam budaya lokal, termasuk dalam Kebudayaan Suku Dayak, masih dilihat sebatas dalam pesta budaya maupun atraksi budaya setiap kali ritual selepas panen padi yang disebut gawai di Provinsi Kalimantan Barat, dan Isen Mulang di Provinsi Kalimantan Tengah, dan lain-lain,” kata Subanar.

Menurut Subanar, inkulturasi Gereja Katolik di dalam kebudayaan Suku Dayak, mesti dilihat sampai sejauh mana pergulatan Gereja Katolik di dalam menuntun proses kehidupan nyata masyarakat Suku Dayak, termasuk di antaranya menuntun hak hidup yang menyertainya berupa hak kepemilikan terhadap tanah, termasuk di antaranya memperjuangkan pengakuan terhadap kepemilikan tanah adat Suku Dayak.

Inkulturasi dalam arti luas Gereja Katolik, paling tidak mendorong langkah Suku Dayak dalam memperjuangkan dan mempertahankan haknya atas kepemilikan Tanah, terutama kepemilikan terhadap Tanah Adat Suku Dayak.

Apabila Suku Dayak sudah tidak mampu lagi mempertahankan hak hidup yang menyertainya berupa Tanah Adat Dayak, menurut Pastor Subanar, secara logika, jika dilihat dari konsep inkukturasi Gereja Katolik, maka Gereja Katolik juga secara kelembagaan harus ikut bertanggungjawab secara moral.

Diungkapkan Subanar, pemahaman di atas, berangkat dari dokumen Gaudium et Spes (GS) atau Konstitusi Pastoral tentang Gereja di Dunia Dewasa Ini adalah dokumen puncak dari Konsili Vatikan Kedua. Konstitusi ini disetujui oleh para Uskup dalam sebuah pemungutan suara 2.307 berbanding 75, dan diresmikan oleh Paus Paulus VI pada 7 Desember 1965.

Judul Gaudium et Spes atau Kegembiraan dan Harapan (dalam Bahasa Inggris “Joy and Hope”) diambil dari baris pertama dokumen ini, sebagaimana umumnya dokumen Gereja Katolik dinamai.

Dalam dokumen GS, yaitu hubungan erat antara Gereja dan segenap keluarga bangsa-bangsa), menyebutkan, “Kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan orang-orang zaman sekarang, terutama kaum miskin dan siapa saja yang menderita, merupakan kegembiraan dan harapan, duka dan kecemasan para murid Kristus juga.”

“Tiada sesuatu pun yang sungguh manusiawi, yang tak bergema di hati mereka. Sebab persekutuan mereka terdiri dari orang-orang, yang dipersatukan dalam Kristus, dibimbing oleh Roh Kudus dalam peziarahan mereka menuju Kerajaan Bapa, dan telah menerima warta keselamatan untuk disampaikan kepada semua orang. Maka persekutuan mereka itu mengalami dirinya sungguh erat berhubungan dengan umat manusia serta sejarahnya.”

“Atas pemahaman ini, Gereja Katolik di Kalimantan mesti mencari formula yang relevan di dalam menuntun masyarakat Suku Dayak dalam memperjuangkan haknya atas tanah, terutama tanah Adat Dayak. Karena tanah bagi masyarakat Suku Dayak merupakan hak hidup paling mendasar yang menyertainya di dalam kehidupan nyata di tengah-tengah pergulatan global di bidang budaya, sosial, ekonomi dan politik,” kata Subanar.

Di tempat terpisah, Koalisi Masyarakat Sipil Kalimantan Untuk Gerakan Nasional Penyelamatan Sumber Daya Alam (GN-PSDA) Kalimantan menyebutkan, praktik penjarahan kawasan hutan untuk kepentingan korporasi perkebunan kelapa sawit dan pertambangan secara tidak prosedural periode 2009 – 2015 mencapai 17,243 juta hektar.

Anton Wijaya, peneliti dari GN-PSDA Kalimantan menjelaskan, total kerugian negara di lahan yang dijarah seluas 17,243 juta hektar tembus di angka Rp30 triliun, dengan rincian kerugian negara per tahun periode 2009 – 2015, antara Rp2,1 triliun hingga Rp6 triliun.

Menurut Anton, potensi kerugian negara Rp30 triliun, telah disampaikan secara terbuka
di forum Evaluasi Gerakan Nasional (Monev GN) Penyelamatan Sumber Daya Alam Indonesia Sektor Kehutanan dan Perkebunan, digelar Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan lima provinsi se Kalimantan di Pontianak, Rabu, 9 September 2015.

Menurut Anton, luas Kalimantan mencapai 53,544 juta hektar, meliputi kawasan hutan (hutan produksi, suaka alam, hutan lindung dan tanam nasional) mencapai 39,207 juta hektar. Logika sederhana saja dari luas Kalimantan 53,544 juta hektar, dikurangi kawasan hutan 39,207 juta hektar, mestinya kegiatan ekonomi non konservasi hanya diperbolehkan di lahan seluas 14,336 juta hektar.

Nyatanya izin pertambangan di Kalimantan periode 2009 – 2015 tembus 18,356 juta hektar, perkebunan kelapa sawit 13,223 juta hektar, Hutan Tanaman Industri (HIT) 4,982 juta hektar, dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) 10,917 juta hektar.

“Jika dihitung dari luas lahan hutan di Kalimantan hanya diperbolehkan untuk kegiatan ekonomi non konservasi 14,336 juta hektar, tapi izin tambang dan kebun sawit saja mencapai 31,579 juta hektar, maka kawasan hutan beralih fungsi secara tidak prosedural mencapai 17,243 juta hektar dengan total potensi kerugian negara Rp30 triliun,” kata Anton Wijaya.

Anton menyatakan, dari 18,356 juta hektar izin tambang di Kalimantan, seluas 9,6 juta hektar berada di kawasan hutan. Dari 13,223 juta hektar izin kebun kelapa sawit di Kalimantan, seluas 7,4 juta hektar berada di kawasan hutan.

Bahkan, di Kalimantan Barat saja, izin tambang dan kelapa sawit berada di dalam kawasan hutan mencapai 5,77 juta hektar. Sedangkan proses pengukuhan kawasan hutan di Kalimantan Barat baru mencapai 4,386 juta hektar atau sekitar 53,70 persen dari 8,166 juta hektar kawasan hutan.

“Dari 12,8 juta hektar kawasan konsesi korporasi di Provinsi Kalimantan Tengah, terdapat 483 unit perusahaan beraktifitas di kawasan hutan,” ujar Anton.

Anton menambahkan, luas wilayah perusahaan yang berada dalam kawasan hutan di Kalimantan Tengah seluas 3,370 juta hektar, masing-masing konservasi 8.315 hektar, kwasan lindung 116.758 hektar, Hutan Produksi Terbatas (HPT) 1,354 juta hektar, dan Hutan Produksi (HP) mencapai 1,364 juta hektar.

“KPK diminta melakukan langkah hukum lebih berdasarkan rasa keadilan masyarakat terhadap sejumlah pihak yang terbukti melakukan kejahatan lingkungan di Kalimantan,” ujar Anton Wijaya. (Aju)