BNPB Sebut 127 Gunung Api di Indonesia Aktif

Loading

JAKARTA (IndependensI.com) – Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) melaporkan, Gunung Ile Lewotolok, Merapi dan Sinabung, merupakan tiga gunung api di Indonesia yang saat ini berada pada status aktivitas vulkanik tingkat III atau Siaga. 

Sementara itu, ada 18 gunung api yang berada pada status tingkat II atau Waspada, serta 47 gunung api pada tingkat I atau normal.

“Ada 3 gunung api yang statusnya siaga dan tidak ada satu pun gunung api pada status tingkat IV atau awas,” kata Kepala BNPB Doni Manardo dikutip dari siaran resmi BNPB, Rabu (28/4).

Dia mengimbau, masyarakat Indonesia untuk bersiap menghadapi ancaman bahaya letusan gunung api. Karena saat ini terdapat 127 gunung api aktif yang berada di wilayah Nusantara, dari ujung barat hingga timur Indonesia.

“Gugusan gunung api bagaikan ring of fire dunia, sehingga menjadikan wilayah Indonesia memiliki potensi ancaman bahaya letusan. Masyarakat bisa mengenal lebih dekat jenis bahaya letusan gunung api untuk meningkatkan kewaspadaan dan kesiapsiagaan,” katanya.

Masyarakat Indonesia yang tinggal di antara gunung api aktif perlu memiliki kesiapsiagaan dalam menghadapi ancaman multibahaya. Karena penularan virus Corona juga masih menjadi ancaman bagi masyarakat Indonesia.

“Saat ini, pandemi Covid-19 masih berlangsung. Sehingga butuh kesiapsiagaan ekstra bagi setiap individu, khususnya bagi mereka yang menghadapi ancaman bahaya letusan gunung api,” jelasnya.

Doni mengajak, masyarakat Indonesia untuk mengenali jenis bahaya letusan gunung api. Dia menyebutkan, ada tiga jenis bahaya letusan gunung api, yaitu bahaya primer, sekunder dan kolateral.

Jenis yang pertama yaitu bahaya primer atau bahaya langsung dari peristiwa letusan gunung api. Bahaya letusan ini terjadi seperti aliran awan panas, lahar letusan atau lumpur panas, jatuhan piroklastik atau hujan abu, leleran lava dan gas vulkanik beracun.

Doni menegaskan bahwa bahaya jenis letusan primer itu tidak hanya merusak seluruh lanskap di wilayah lereng, namun juga terbukti dapat menelan korban jiwa.

“Kita dapat melihat fenomena ini seperti saat letusan hebat Gunung Merapi yang berada di perbatasan Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah pada 2010 lalu,” katanya.

Yang kedua, yaitu bahaya sekunder yaitu bahaya tidak langsung dari letusan. Bahaya ini berupa lahar hujan. Lahar hujan atau endapan material erupsi pada puncak dan lereng yang terbawa oleh hujan.

Peristiwa mengalirnya endapan material berupa lumpur dan bahkan batu besar ini dapat mengubah topografi sungai dan merusak infrastruktur. Bahaya lain dari jenis ini adalah banjir bandang dan longsoran vulkanik.

“Bahaya ini dapat berdampak serius, seperti saat banjir lahar hujan yang merusak jaringan pipa air bersih di sekitar wilayah Kaliurang Barat, Sleman, DIY, pada awal Februari 2021 lalu,” ungkapnya.

Yang terakhir yaitu bahaya kolateral atau bahaya lain yang dipicu dampak letusan gunung api. Bahaya ini dapat memicu Gerakan tanah pada tubuh gunung, penyakit endemik, kelaparan dan bahkan tsunami.

Contoh bahaya kolateral yang pernah terjadi di Indonesia saat tsunami menerjang beberapa kawasan di Provinsi Banten akhir tahun 2018. Tsunami tersebut, kata dia, disebabkan oleh letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda.

“Letusan Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda menyebabkan fenomena tsunami yang melanda daerah pesisir Banten dan Lampung,” tuturnya.