Kisah Kasih RS PGI Cikini

Loading

Oleh: Bachtiar Sitanggang

RUMAH SAKIT Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia Cikini  cukup ramai diperbincangkan orang-orang yang memiliki kisah dan yang pernah mendapatkan kasih melalui rumah sakit itu, baik para tenaga kesehatan/karyawan, mantan karyawan, pasien dan mantan pasien terutama kalangan gerejawi Protestan.

Perhatian tertuju pada RS tersebut setelah pertanyaan Pendeta Mangapul Sagala di youtube: “RS Cikini Dijual? Apa Benar Pak Gomar? Why?” (5 Juni 2021) dan BeritaSubang.com: “Ketua PGI Gomar Gultom Diminta Klarifikasi Isu Penjualan RS Cikini ke Investor Strategi” (8 Juni 2021).

Terhadap narasi Pdt Mangapul tersebut timbul pertanyaan. Pertama, mengapa Pdt. Mangapul tidak langsung menanyakan ke temannya sesama pendeta? Apa ada kaitannya dengan pernyataan PGI (Ketua Umum dan Sekretaris Umum) tentang kemelut 75 karyawan KPK? Mengapa Pdt. Mangapul tidak mempertanyakan, uang penjualan RS itu di kemanakan, dan mungkin sejumlah pertanyaan lanjutan.

Kedua, ada apa di antara kalangan Pendeta? Mengapa pertanyaan hanya kepada Ketum PGI, mengapa tak ke Majelis Pekerja Harian (MPH) PGI? Mengapa tidak kepada Ketua Yayasan Kesehatan RSPC?

Ketiga, yang dijual apanya, apakah ikut tanahnya? Memang statusnya tanahnya bagaimana?

Sedikit menyangkut silaturahim karyawan KPK ke PGI. Setelah beredar keterangan pers Ketum dan Sekum PGI di media dan website PGI, ada yang bertanya kepada saya, “bagaimana temanmu itu…..” Mungkin karena tulisan saya di Independensi.com “PGI 71 Tahun, Menggarami dan Menerangi”.

Atas pertanyaan tersebut, saya telusuri berita pertemuan PGI dengan perwakilan 75 karyawan KPK, youtube Pdt. Gilbert Lumoindong, youtube sahabat saya Advokat Saor Siagian SH yang dikirim langsung ke WA saya.

Bertalu-talu tanggapan via WA ke saya baik dari perorangan maupun dari grup. Dan ada yang bertanya lagi, “apa tidak ada kontak dengan…?”Saya jawab, “tidak tega saya”, maklum keseharian sungguh beda dengan jabatan terhormat lagi.

Sekilas mengenai pertemuan itu, pikiran saya menerawang ke ungkapan di awal Orde Baru: “Hitam kata Bung Karno, hitam kata KKO. Putih kata Bung Karno, putih kata KKO”.

Memang “baik” ketegasan PGI memperhatikan nasib ke-75 karyawan KPK yang tidak lolos Test Wawasan Kebangsaan (TWK) tersebut, tetapi akan jauh lebih baik kalau diklarifikasi terlebih dahulu. Dan, saya jadi terpengaruh perkataan Tuhan Yesus kepada perempuan yang kedapatan berzinah: “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang”.

Yesus tidak menghakimi tetapi menyuruh untuk bertobat.
Dalam berita, PGI katanya, mau menyurati Presiden, saya sempat terperangah, lalu terlintas di otak saya, jangan-jangan jawab Presiden nanti, ada yang membisikkan, “…. ampuni mereka, karena mereka tidak tahu yang mereka perbuat”.

Dalam kepemimpinan KPK sebelum sekarang saya pernah mendampingi tiga orang Tersangka,dua di antaranya karena OTT, jadi tahulah sedikit-sedikit suasana di sana.

Kembali tentang RS PGI Cikini yang diungkapkan Pdt. Mangapul Sagala di atas. Saya teringat akan bus Metromini, yang pernah jadi andalan masyarakat Jakarta, di kaca belakangnya tertulis “sesama bus kota dilarang saling mendahului”, yang artinya ada “rasa-firasa” sementara saat ini seolah sudah saling seruduk termasuk kalangan intelektual.

Kisah Metromini serta kasihnya (jasanya) sebagai sarana angkutan publik, tinggal kenangan digantikan TransJakarta, mungkin seperti itulah RS PGI Cikini kalau dijual atau di-BOT-kan akan tinggal kenangan kalau sudah digantikan Rumah Sakit Baru.

Dulu, di PGI ada Biro Hukum, dipimpin MR Siahaan SH dan Pusat Pengkajian Hukum (Pujikum) kalau tidak salah dipimpin Prof. JE Sahetapi dan Dj. Aruan SH, waktu itu saya masih wartawan diikutkan di sana.

Kalau tidak salah, masalah sejarah dan kepemilikan tanah-tanah PGI dan lembaga-lembaga Kristen pernah diperbincangkan Sekum Dr. JM Pattiasina dan MR Siahaan, seperti tanah antara UKI dan PGI di Jalan Diponegoro, rumah jabatan Sekum PGI di Menteng, dan lain-lain.

Saya jadi teringat RS PGI Cikini setelah ikuti keterangan Pdt Mangapul Sagala, sebab pernah saya dengar bahwa RS Tjikini, diserahkan ke DGI oleh surat yang ditandatangani AH Nasution, tidak tahu jabatan dan pangkat beliau saat itu.

Terus timbul pertanyaan, “Apa PGI bisa jual tanah tersebut status haknya apa?” Lalu saya cari buku yang pernah diberi Pdt. Dr. JM Pattiasina berjudul “100 Tahun RS PGI Cikini”. Di buku tersebut tertera tulisan tangan “Diberikan kepada Bp Bachtiar Sitanggang, Jkt, 12/7/02 ttd J.M.Pattiasina.

Sudah pernah saya baca seadanya, tetapi tidak saya temukan tentang surat AH Nasution tersebut, oleh karenanya, tidak kesampaian menulis tentang RS PGI Cikini sampai hari ini. Saya sungguh tertarik menulis tentang RS PGI Cikini, karena sejak tahun 1971 sampai sekarang penah jadi pasien rawat inap dan rawat jalan di sana.
Terlepas dijual atau di-BOT-kan, terserah bagi yang berkompeten untuk itu, akan tetapi perlu hati-hati, jangan seperti Gereja Hepata di Kebayoran Baru, ternyata tidak bisa dijual. Karena sejarah perolehannya.

Untuk itu perlu disimak apa yang tersurat dan tersirat dalam tulisan: “Beberapa Catatan Oleh dr. F. Pattiasina mantan Direktur RS PGI Cikini” dalam buku “100 Tahun RS PGI Cikini” halaman 155. Tulisan itu diawali pertemuan dr F. Pattiasina dengan Dr. J Leimena (Oom Jo) di gereja Paulus, Minggu, November 1958.

Kemudian diuraikan: ….Pada pendudukan Jepang, RS Cikini dikepalai AL Jepang dan setelah Jepang menyerah RS Cikini diserahkan ke pihak Belanda sampai saat Presiden Soekarno mengumumkan pengambil alihan semua perusahaan Belanda dan lain-lain.

Karena bagian Kesehatan TNI Angkatan Darat mulai dengan persiapan untuk mengambil-alih Rumah Sakit Cikini. Letkol. dr Soemantri dijadikan pimpinan sementara Rumah Sakit Cikini atas nama Kesehatan AD.

Sore hari Minggu itu, dr F Pattiasina didatangi Wim Makaliwy dengan membawa berkas tentang perjuangan Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) untuk dapat mengawasi dan mengelola RS Cikini.

DGI telah menunjuk dr. H Sinaga, Wim Makaliwy, Silitonga SH dan lain-lain untuk berusaha agar DGI-lah yang mengawasi dan mengelola RS Cikini, …… dan selanjutnya.

“Rumah Sakit Cikini harus menjadi milik DGI, harus diawasi dan dikelola oleh DGI. Presiden Soekarno langsung menelpon ke berbagai pihak, dan kemudian dengan tersenyum mengatakan, persoalan Rumah Sakit Cikini sudah beres. Tidak ada satu pihak pun yang akan memiliki Rumah Sakit Cikini kecuali Dewan Gereja-gereja di Indonesia (PGI). Kemudian Dr. J. Leimena mengatakan kepada saya; “Kamu tidak boleh mengatakan hal itu kepada siapapun. Ingat itu!”

Demikian Om Jo. Yang beliau perjuangkan tidak boleh diumumkan, tulis dr. F Pattiasina.
Selanjutnya, dr. F. Pattiasina menulis, “Karena itulah bertahun-tahun saya menahan diri. Ada yang menyebut, perwira ini dan perwira itu yang menghasilkan Rumah Sakit Cikini dimiliki oleh DGI. Saya harus tetap diam.

Sekarang, sesudah 39 tahun saya menyebut hal ini dalam tulisan, supaya semua orang tahu bahwa Dr. J Leimena-lah yang mempertaruhkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang menteri dan pada waktu itu pejabat presiden, agar Rumah Sakit Cikini menjadi milik DGI.”

Dari tulisan di atas, mungkin masih banyak yang perlu direnungkan para pengambil keputusan penanganan RS PGI Cikini. Dalam mengatasi kemelut dr. F Pattiasina juga menulis: “Dalam keadaan yang sulit, pimpinan Rumah Sakit DGI Cikini menghadapi banyak persoalan, khususnya persoalan keuangan. Kami dapat mengatasi hal ini dengan berdoa bersama, pembacaan Alkitab bersama dan tindakan ke dalam maupun ke luar bersama”.

Seorang dokter bisa mengatasi persoalan pe-rumahsakit-an dengan doa. Tentu karena beliau mengetahui karakter pe-rumah sakit-an.

Terlepas dari status tanahnya, bagi masyarakat awam sungguh membingungkan kalau rumah sakit dijual atau di-BOT-kan, sebab bisnis yang paling menggiurkan mungkin adalah rumah sakit, dibutuhkan orang sakit, orang sehat, bahkan orang yang mati.

Apakah kondisinya ibarat “menggapai dalam lumpur”, sehingga pihak berkompeten perlu mengambil kebijakan “daripada-daripada, lebih baik-lebih baik”, seperti orang yang terlilit “rentenir?”.

Tentu semua itu telah diperhitungkan para pengambil kebijakan dengan memperhitungkan nasib dan kelanjutan “hasil perjuangan Oom Jo”.

Saya jadi teringat guyonan ketika meliput di Sekretariat Negara puluhan tahun lalu. Orang miskin selalu bertanya “kita makan apa besok?” sedangkan yang lain berkata : “….. siapa besok” termasuk juga ocehannya Basuki Tjahaya Purnama “si Ahok”, “Senin….. Sabtu, Minggu.

Tapi semua itu masih wacana, bagi pencinta perlu bersabar, bagaimana “Kisah Kasih RS PGI Cikini”.*

(Penulis adalah wartawan senior, pemerhati hukum dan masalah sosial, tinggal di Jakarta)