JAKARTA(Independensi.com) – Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (Ditjen PKH) memastikan akan terus berupaya melindungi peternak. Salah satunya dengan menjaga keseimbangan supply and demand dengan cara melakukan pengendalian produksi DOC FS disesuaikan dengan demand ayam ras.
Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Nasrullah menyampaikan, upaya pengendalian produksi DOC FS dilakukan melalui afkir dini PS dan cutting telur tetas (HE) fertil umur 19 hari. Dampak dari pengendalian produksi DOC FS berkorelasi positif terhadap pergerakan harga live bird (LB) membaik di tingkat peternak (>HPP).
“Karena cutting HE dan afkir dini PS telah terbukti efektif secara signifikan berdampak terhadap perbaikan dan stabilitas harga ayam potong (livebird) di tingkat peternak,” ujar Nasrullah.
Ia menjelaskan, peredaran DOC FS menjadi berkurang akibat afkir dini PS dan cutting HE, sehingga pembibit diarahkan tetap memprioritaskan penyediaan DOC FS kepada peternak UMKM dengan harga sesuai acuan Permendag.
Dalam kurun waktu Januari sampai Juli 2021 Ditjen PKH Kementan telah menerbitkan sebanyak 11 Surat Edaran (SE) Dirjen PKH tentang Pengendalian Produksi DOC FS melalui cutting HE dan afkir dini PS.
“Kementan telah berupaya melindungi peternak dengan cara melakukan pengendalian produksi DOC, selain itu Kementan juga berupaya menjembatani pihak perusahaan dengan para peternak untuk mendapatkan solusi bersama,” papar Nasrullah.
Berdasarkan data sistem Online Perunggasan Nasional pada tahun 2020 tercatat peredaran DOC FS sebagian besar yaitu 66,67% adalah ke peternak ekternal di luar kemitraan dan farm internal perusahaan pembibit. Sehingga kontribusi produksi karkas (daging ayam) dari internal perusahaan terintegrasi termasuk kemitraan adalah sebesar 33,33%.
Mengacu data distribusi DOC FS tersebut, potensi pengembangan ekternal farm di luar perusahaan integrator relatif besar dan berpotensi tinggi membanjiri LB di pasar tradisional (wet market). Namun, peredaran LB di pasar becek sulit dikendalikan dan rentan terhadap fluktuasi harga.
Harga komoditas pertanian seperti ayam potong (livebird) pada umumnya memang terbentuk dari mekanisme pasar. Pemerintah telah memberikan referensi harga sebagai acuan melalui Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 20 tahun 2020 tentang Harga Acuan Pembelian di Tingkat Petani dan Harga Acuan Penjualan di Tingkat Konsumen.
Ayam potong dalam bentuk hidup (livebird) merupakan komoditas pertanian yang rentan terhadap dinamika supply dan demand dan cenderung fluktuatif. Pandemi covid-19 juga ikut mempengaruhi penurunan demand sehingga menekan harga ayam terpanen di kandang.
“Nah ini yang membuat dampak secara langsung terhadap fluktuatif harga yang cenderung kontraksi menurun di bawah HPP tingkat peternak,” ucap Nasrullah.
Menteri Pertanian (Mentan), Syahrul Yasin Limpo menyebut, sejatinya persoalan harga menjadi tugas fungsi Kementerian Perdagangan (Kemendag). Meski demikian, sejauh ini Kementan terus berkoordinasi dengan Kemendag (Ditjen Bapokting) dan mengundang rapat koordinasi perunggasan.
Selain itu, Kementan juga terus berkoordinasi dengan beberapa Asosiasi Perunggasan, seperti GPPU, PINSAR dan GOPAN. Hal ini sebagai representatif para peternak dan pengusaha secara nasional dalam kegiatan Rembug Perunggasan yang secara rutin diselenggarakan.
“Sejauh ini upaya pembinaan juga dilakukan bersama Satgas Pangan Polri, untuk memastikan adakah pelanggaran atau kecurangan yang dilakukan oleh perusahaan maupun para peternak,” tegas Mentan SYL.
“Data produksi kami mintakan secara rutin kepada seluruh perusahaan pembibitan untuk melaporkan kondisi eksisiting populasi dan produksi melalui sistem perunggasan online yang dapat diakses oleh publik,” tambahnya.
Terpisah, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag, Oke Nurwan menyampaikan, permasalahan terkait harga jual live bird memang merupakan persoalan yang alot. Ia menyebut para peternak rakyat membeli bibit (day old chicken/DOC) dari pengusaha integrator di atas harga yang ditentukan Kemendag.
Pemerintah sejatinya telah menugaskan PT Berdikari (Persero) untuk mengimpor grand parent stock (GPS) agar dapat memasok DOC seharga Rp5.750. Sayangnya, kapasitas Berdikari tidak mencukupi kebutuhan peternak dan mereka juga tidak bisa mengambil dari Berdikari karena sudah terikat kontrak dengan pihak integrator.
Ia mengatakan, pemerintah memang tidak bisa mengintervensi kemitraan business to business (B2B) antara peternak dan pemasok. Namun, yang bisa dilakukan pemerintah adalah melakukan antisipasi lewat pemotongan afkir dini agar harga tidak jatuh.
“Upaya pemerintah sudah ada dengan memberi impor GPS kepada PT Berdikari, sekarang Berdikari memasok dengan harga DOC Rp5.750 dibandingkan mereka yang jual di atas Rp8.000,” jelas Oke.(wst)