JAKARTA (IndependensI.com) – Krisis energi yang terjadi di Amerika Serikat, Eropa, dan Asia seiring dengan kembali aktifnya perekonomian paska pandemi Covid-19 dan datangnya musim dingin yang mendorong tingginya permintaan energi.
Kelangkaan pasokan dan naiknya harga gas, naiknya tarif
listrik, serta sulitnya mendapatkan bahan bakar minyak (BBM) menjadi beberapa alasannya. Sementara pasokan komoditas energi terbatas karena produksi belum normal juga akibat pandemi dan faktor cuaca.
Chief Economist Bahana TCW Investment Management (Bahana TCW), Budi Hikmat mengatakan, krisis energi yang terjadi adalah lebih kepada supply shock, karena secara umum permintaan masyarakat paska pandemi mulai tumbuh, tapi di sisi lain, rantai pasokan belum siap untuk kembali ke level produksi seperti sebelum pandemi.
Pasokan gas Eropa dari Rusia terganggu, harga batubara
di China juga merangkak naik akibat terdampak perselisihan dengan salah satu produsen Batubara terbesar yaitu Australia, sementara pasokan dari Indonesia juga terganggu musim hujan dan produsen lokal di China terdampak kebijakan pemerintahnya yang tengah fokus ke green energy.
“Meski krisis energi yang melanda berbagai negara di dunia dapat menjadi sentimen negatif bagi pemulihan ekonomi Indonesia, namun, di sisi lain, hal ini memberikan peluang besar bagi Indonesia terutama dari sisi penerimaan negara. Sebagaimana tergambar dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang mayoritas dikontribusi oleh pendapatan komoditas, hingga Agustus 2021 saja telah mencapai 93,1 persen dari target yang ditetapkan di APBN. Jika kita dapat memaksimalkan komoditas unggulan kita yang saat ini harganya rally, bukan tidak mungkin pada akhir tahun PNBP kita akan melebihi target Pemerintah. Tentu ini adalah peluang besar yang dapat kita maksimalkan,”
tambah Budi.
Seperti data yang dihimpun dari bloomberg, hingga 3 Oktober 2021, harga beberapa komoditas unggulan Indonesia terus menunjukkan tren naik. Secara year to date (YTD), harga batubara telah naik 180,4 persen, timah tumbuh 130 persen, CPO naik 11,4 persen dan nikel naik 31,6 persen.
Jika tren kenaikan harga komoditas berlanjut hingga akhir tahun, serta kita dapat mengoptimalisasi peluang ini, bukan tidak mungkin pendapatan negara secara umum di akhir tahun akan mendekati 100 persen bahkan melebihi target yang telah ditetapkan. Kondisi APBN yang sehat akan berdampak positif terhadap rencana pemulihan ekonomi paska pandemi dan supply risk Surat Berharga Negara (SBN) hingga akhir tahun.
Seperti diketahui, lima besar komoditas penyumbang trade surplus Indonesia, masih didominasi batubara sebesar 13,91 persen disusul base metal product sebesar 13,68 persen, minyak sawit 11,28 persen, produk manufaktur sebesar 7,51 persen dan tekstil dan produk tekstil sebesar 6,41 persen.
Bahana TCW memprediksikan tren kenaikan harga komoditas tersebut dapat bertahan setidaknya
hingga akhir tahun. Jika demikian, hal ini akan berdampak positif terhadap APBN Indonesia.
Namun demikian, ada beberapa risiko yang perlu menjadi perhatian terutama bagaimana respon regulator terkait tingkat inflasi yang berpotensi naik sebagai dampak dari supply shock di sektor energi, tenaga kerja maupun bahan baku, atau bahkan dari sisi logistik yang sedang melanda dunia saat ini.
“Kondisi perekonomian China ke depan juga patut menjadi perhatian kita bersama, mengingat eksposur impor bahan baku kita dari China yang tinggi dibanding negara-negara Eropa. Jika harga energi melonjak tinggi akan berdampak pada impor bahan baku dari China yang didominasi oleh
produk manufaktur, barang-barang elektronik, besi dan baja untuk infrastruktur, dll.
Namun, hingga akhir tahun 2021, kami mengasumsikan tingkat inflasi Indonesia akan rendah karena dampak dari
kenaikan harga energi dunia masih ditahan oleh subsidi energi baik bahan bakar minyak dan listrik
oleh Pemerintah,” tutup Budi.