JAKARTA (IndependensI.com) – Setiap tanggal 25 November, masyarakat Indonesia ramai-ramai memperingati Hari Guru Nasional yang juga bertepatan dengan ulang tahun Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI). Besarnya jasa guru membuat antusiasme publik Tanah Air begitu tinggi dalam merayakan hari guru. Sayangnya persoalan yang membelit guru seperti tak pernah selesai. Kesejahteraan guru masih jadi masalah utama, apalagi nasib para guru honorer.
Padahal, kata Wakil Sekretaris Dewan Syuro DPP PKB, KH Maman Imanulhaq, keberhasilan pendidikan di Indonesia tidak hanya diukur dari keberhasilan peserta didiknya saja, tapi sampai sejauh mana nasib para pendidik dalam mendapatkan hak-haknya sebagai seorang guru.
“Di hari guru ini kita harus mengingatkan bahwa tidak boleh ada kezaliman kepada guru baik dari pemerintah, yayasan-yayasan pendidikan, dan kita masyarakatnya,” begitu harapan KH Maman Imanulhaq pada peringatan Hari Guru, Kamis (25/11).
Menurut Kiai Maman yang juga Anggota DPR RI Komisi VII ini, guru memiliki hak untuk meningkatkan karier profesionalnya baik jabatannya, karier strukturalnya, termasuk juga kenaikan pangkat. Guru, katanya, tidak sekedar disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa, mereka juga butuh ruang intelektualitas, ruang kreativitas. Para guru perlu didorong untuk memiliki kesempatan dan kesejahteraan yang lebih tinggi.
“Tahukah kita bahwa guru honorer masih ada yang mendapatkan honor Rp150.000 perbulan, paling besar Rp300.000 perbulan,” imbuh Kiai Maman.
Menurut Pengasuh Ponpes Al Mizan Jatiwangi, bagaimana mungkin Indonesia bisa meningkatkan kualitas dari pendidikan kalau guru-gurunya saja terzalimi. Ia kemudian mengutip pendapat dari Prof. Dr. Yuda Munajat yang menyebutkan empat poin penting soal peningkatan kesejahteraan guru.
Yang pertama, kata Kiai Maman, harus hilangnya kendala administratif yang dihadapi oleh para guru dalam meningkatkan karirnya, dalam meningkatkan status jabatannya.
Saat ini, para guru kesulitan untuk terus menerus mengisi panduan-panduan saat mengajar, padahal yang dibutuhkan adalah justru para guru mendapat waktu belajar, mereka mampu menambah ilmu pengetahuan yang bisa ditransfer kepada anak-anak didiknya. Kendala administratif itu yang harus dipangkas.
Yang kedua, terjadinya penumpukan guru yang tidak naik pangkat karena tidak sinkronnya antara profesi guru yang mereka geluti dengan syarat karya tulis yang harus dibuat. Menurut Kiai Maman, kondisi ini sangat mengkhawatirkan karena seharusnya seorang guru ditempatkan dalam bidangnya masing-masing dan tidak terkendala dengan karya tulis.
“Kita butuh seorang guru yang punya inovasi, gagasan-gagasan kreatif serta metodologi yang bisa disampaikan kepada anak-anak didiknya,” kata Kiai Maman menambahkan.
Yang ketiga, kesejahteraan dan kepuasan guru, baik guru ASN yang belum tersertifikasi dan juga guru honorer itu belum diperhatikan dengan baik. Dan yang terakhir, perlunya diperluas ruang-ruang kreativitas, ruang-ruang inovasi, dan ruang-ruang intelektualitas bagi guru. Banyak sekali guru dengan potensi yang begitu hebat tapi tiba-tiba terkubur oleh rutinitas, terkubur oleh formalitas, terkubur oleh persyaratan administratif yang tidak ada hubungannya dengan intelektualitas yang mereka miliki.
“Keberhasilan pendidikan sangat tergantung pada kualitas gurunya dan kualitas guru juga bergantung pada kesejahteraan hidupnya,” tegas Kiai Maman.