Piter Boy Situmorang

Rancangan Undang Undang tentang Daerah Kepulauan, Bagaimana Pro dan Kontranya?

Loading

Oleh: Piter Boy Situmorang

INDONESIA merupakan negara kepulauan (archipelagic state) terbesar di dunia yang memiliki posisi geografis yang sangat strategis.

Jumlah pulau di Indonesia yang resmi tercatat mencapai 16.056 pulau.

Dua pertiga dari keseluruhan wilayah Indonesia adalah berupa lautan. Indonesia bisa juga disebut sebagai negara kepulauan (archipelagic state).

Nah dengan adanya catatan besar bahwa indonesia merupakan negara kepulauan ini, maka terjadi kesulitan dalam pemenuhan kesejahteraan rakyat dan pelayanan publik berkualitas.

Persoalan utama yang dihadapi yakni jangkauan pelayanan publik yang demikian luas dan berat, yang tersebar pada sejumlah pulau, namun tidak mendapatkan perlakuan khusus dari pemerintah (pusat).

Berdasarkan amanat Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 18B, dan Pasal 25A UUD NRI Tahun 1945 secara implisit memuat substansi mengenai pengakuan negara tentang kekhususan pengaturan terhadap daerah-daerah kepulauan dimana kepala daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Namun dengan dilatar belakangi oleh urgensitas dan desakan dari berbagai pihak, maka sangat penting untuk membuat Rancangan Undang-Undang tentang Daerah Kepulauan.

Guna mewujudkan RUU ini tentu saja banyak pihak yang menjadi bagian dari pro maupun bagian kontra. Masing-masing  pihak tertentu mempunyai alasan, dan bagaimana penulis menanggapi akan hal ini?

Dalam hal ini penulis mencoba analisis dari beberapa akses yakni : Landasan Filosofis, Landasan Yuridis dan landasan sosiologis.

Argumen argumen yang mendukung Rancangan UU daerah kepulauan (PRO)

Landasaan Filosofis

Menurut Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 dikatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang undang Menurut Pasal 25A Undang-Undang Dasar Negara Republik Tahun 1945 dikatakan bahwa “Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah Negara Kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang undang.

Hingga saat ini, peraturan perundang-undangan yang ada belum memberikan landasan kuat bagi penyelenggaraan pemerintahan di daerah kepulauan secara khusus, yang mana terutama menyangkut kewenangan, anggaran, yurisdiksi, dan peta jalan (road map) untuk mencapai sasaran-sasaran strategis dalam mengelola daerahnya.

Landasan Yuridis

Kepentingan daerah menaruh perhatian khusus pada daerah kepulauan setelah lahirnya konsep Provinsi Berciri Kepulauan yang diperkenalkan dalam Bab II Pasal 28 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Definisi Daerah Provinsi Berciri Kepulauan sesuai Undang-Undang tersebut digambarkan sebagai suatu “daerah provinsi yang memiliki karakteristik geografis dengan wilayah lautan lebih luas dari daratan yang di dalamnya terdapat pulau-pulau yang membentuk gugusan pulau, sehingga menjadi suatu kesatuan geogragis dan sosial budaya”.

Dalam hal ini, RUU Daerah Kepulauan terdiri dari 11 Bab dan 45 Pasal, dimana fokus dalam batang tubuhnya mencakup 3 (tiga) poin utama, yaitu : (1) Ruang Pengelolaan, (2) Urusan Pemerintahan, (3) Uang/Pendanaan.

Terdapat 11 (sebelas) asas yang mendasari Undang-Undang tentang Daerah Kepulauan, yaitu asas kepastian hukum, desentralisasi, rekognisi, keadilan, kearifan lokal, akuntabilitas, 7 partisipasi masyarakat, keterpaduan, keberlanjutan dan proporsionalitas. Pembentukan Undnag-Undnag tentang Daerah Kepulauan bertujuan untuk: (a) menjamin kepastian hukum bagi Pemerintah Daerah Kepulauan, (b) mengakui dan menghormati kekhususan dan keragaman karakteristik geografis dan sosial budaya Daerah Kepulauan, (c) mewujudkan pembangunan Daerah Kepulauan yang berkeadilan, mendorong pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan berdaya saing, serta meningkatkan kesejahteraan rakyat secara berkelanjutan, dan (d) memberikan perlindungan dan keberpihakan terhadap hak-hak masyarakat di Daerah Kepulauan.

Landasan Sosiologis

Keberadaan Undang-Undang Provinsi Kepulauan sangat dibutuhkan sebagai payung hukum bagi pemerintah mempercepat pembangunan berbagai infrastruktur di provinsi kepuluan tertinggal dengan semakin cepat disahkannya RUU tersebut, maka permasalahan pembangunan di provinsi kepulauan diharapkan akan semakin cepat teratasi.

Undang-Undang Daerah Kepulauan merupakan jawaban atas ketidakadilan yang dialami oleh provinsi-provinsi yang masuk ke daerah kepulauan Pemenuhan aspirasi adanya tata kelola berbasis otroitas atas ruang, urusan dan uang/pendanan yang khusus tersebut juga diyakini dapat mengurai benang kusut berupa ketimpangan dan kemiskinan multidimensi yang parah dalam relung kehidupan rakyat di Daerah Kepulauan.

Argumen argumen yang  tidak mendukung Rancangan UU daerah kepulauan (KONTRA)

            Landasan filosofis

Pemberlakuan RUU Daerah Kepulauan akan bertentangan dengan aturan perundangan yang lain bahkan dengan hukum laut internasional.

Apabila diberlakukannya RUU, aturan ini akan mengganggu kedaulatan dan kewenangan Negara Kesatuan RI terhadap perairan kepulauan.

Dengan adanya pemberlakuan RUU Daerah Kepulauan maka hubungan Indonesia dengan negara-negara tetangga serta dunia internasional juga kan terganggu sehingga potensi konflik antar pemerintah dan daerah juga bisa muncul.

Landasan Yuridis

Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS 1982) yang telah diratifikasikan dengan UU Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan UNCLOS menyebutkan bahwa hak berdaulat diberikan kepada negara kepulauan.

Di perairan kepulauan Indonesia terdapat hak-hak negara lain seperti hak lintas damai, hak lintas alur laut kepulauan Indonesia (ALKI), hak memanfaatkan kabel dan komunikasi bawah laut.

Substansi pengaturan hukum terhadap daerah kepulauan dari perspektif Negara Kepulauan belum menampakkan sinkronisasi harmonisasi hukum, pembaharuan hukum dan karakteristik hukum.

Belum sinkronnya substansi pengaturan hukum disebabkan: a) Hukum positif Indonesia belum mengadopsi prinsip pembedaan dalam Konvensi Hukum Laut 1982 b) Belum adanya pembaharuan hukum yang menjawab kompleksitas masyarakat kepulauan dengan nilai- nilai hukum adatnya yang positif c) Belum terlihat karakteristik hukum responsif berbasis nilai-nilai hukum adat masyarakat kepulauan

Landasan Sosiologis

Pemerintah yang memperhitungkan alokasi anggaran dari pemerintah pusat ke daerah. Kami memahami pemerintah yang mempertimbangkan konsekuensi anggaran negara saat Rancangan Undang-undang Daerah Kepulauan itu disahkan menjadi Undang-undang.

Kemudian penulis juga memandang faktanya bahwasannya Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sudah cukup membahas terkait pemerintah daerah, jadi untuk apa lagi membuat Undang-undang daerah kepulauan yang berpotensi menguras anggaran, lebih baik anggaran tersebut di fokuskan untuk pembagunan saja.

Penulis adalah mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Raja Ali Haji Provinsi Riau