Oleh : Bachrul Hakim
KALAU kita menonton Cak Lontong berakting lucu-lucu, kita akan terhibur dan tertawa terbahak-bahak. Tapi kalau kita melihat PT Garuda Indonesia (Pesero) berbisnis dengan perilaku “lucu-lucu”, maka kita akan terheran-heran dan bertanya-tanya: “Apa gerangan misi utama Garuda?”. Hal “lucu-lucu” Garuda inilah yang akan kita bahas di sini.
Sejak Awal tanpa Mission Statement
Sejak lahir hingga hari ini, setahu saya Garuda tidak pernah memiliki rumusan resmi atas mission-nya. Saya berharap saya keliru dalam hal ini.
Menurut Riant Nugroho dalam bukunya “Kebijakan Publik”, sebuah badan-usaha harus memiliki mission atau raison d’être (alasan keberadaan) yang jelas, yang dirumuskan sendiri oleh Pemiliknya, bukan oleh Direksinya, berlaku untuk selamanya, selama masih menggeluti bisnis yang sama.
Sebagai sebuah badan-usaha, fungsi sebagai Pemilik dipegang oleh seseorang yang bukan Pemilik yang sebenarnya, melainkan seseorang yang diberi wewenang, untuk masa jabatan tertentu, sebagai “kuasa-Pemilik”.
Oleh karena itulah rumusan mission atau raison d’être yang resmi dan tertulis itu diperlukan agar bisa digunakan sebagai rujukan baku, setiap saat dan kapan saja.
Berpengalaman Jadi “Ayam Mati di Lumbung Padi”
Ungkapan ayam mati di lumbung padi, menggambarkan tentang suatu kejadian yang terjadi walaupun seharusnya tidak mungkin terjadi. Alkisah, pada tahun 1967 ada suatu kejadian yang terjadi walaupun seharusnya tidak mungkin terjadi, yaitu PT Garuda Indonesia menjadi ayam mati di lumbung padi.
Waktu itu Garuda secara legal jatuh bangkrut, padahal Garuda adalah maskapai penerbangan satu-satunya yang beroperasi di pasar domestik, tanpa pesaing dan terlindung oleh kebijakan “kuasi” monopoli yang berlaku waktu itu.
Kerugian tersebut konon, disebabkan oleh pengendalian biaya yang tidak efektif. Setelah peristiwa itu, Garuda masih terus mengalami kerugian berkali-kali dan berulang-ulang, tapi tidak lagi sebagai ayam mati di lumbung padi, karena kebijakan “kuasi” monopoli sudah tidak berlaku lagi.
Di sini kita bisa menilai betapa rapuhnya daya saing Garuda sebagai badan-usaha. Dibawah lindungan kebijakan “kuasi” monopoli saja bisa bangkrut, apalagi kalau bersaing secara bebas?
Kinerja Jatuh-Bangun Berdaur-Ulang
Menderita rugi buat Garuda bukanlah hal yang aneh. Hal ini sering terjadi bak sebuah “tradisi”.
Penyebab kerugian berulang-ulang ini juga sama, bukan karena revenue-nya yang kurang, tapi karena pengeluaran biaya yang berlebih.
Di lain pihak setiap kali Garuda mengalami kerugian, Pemerintah selalu siap membantu, baik dengan dana talangan, jaminan, maupun dengan PMN (Penyertaan Modal Negara).
Rupanya, pihak Manajemen Garuda dan pihak Pemerintah sama-sama mempunyai persepsi bahwa bagi sebuah maskapai penerbangan, rugi usaha akibat membengkaknya biaya adalah sebuah “salah hitung” yang normal, yang mudah diatasi dengan bantuan suntikan dana.
Apalagi kita mempunyai pasar domestik yang sangat potensial.
Sikap Manajemen Garuda yang memandang enteng kasus rugi usaha yang terjadi berulang-ulang, sementara dia sendiri tidak sadar bahwa dia juga tidak tahu masalah yang sebenarnya, persis seperti yang dikatakan oleh GK Chesterton: It isn’t that they don’t find the solution. It is that they don’t know the problem.
Sebaliknya sikap Pemerintah yang selalu siap membantu Garuda berulang-ulang, tanpa pernah mengevaluasi hasilnya, mirip dengan kata-kata mutiara Albert Einstein: Insanity is doing the same thing over and over again and expecting different results.
Tidak Kenal Kodrat Bisnis Sendiri
Penyebab utama dari kerugian-kerugian yang selama ini selalu menimpa Garuda adalah, karena Garuda tidak mengenal dengan baik nature atau kodrat bisnisnya sendiri. Contoh-contoh dari kodrat bisnis yang terabaikan selama ini adalah antara lain:
- Secara relatif domestik market memang bisa dianggap sebagai seller’s market, tapi tidak berarti dia bisa menyerap berapapun volume produk yang ditawarkan. Tidak juga berarti bahwa berapapun tingkat harga yang ditawarkan akan bisa laku. Sayangnya, persepsi yang keliru ini seperti sudah mendarah-daging sehingga menimbulkan rasa “percaya-diri” yang salah-kaprah, dan berujung pada sikap abai terhadap pengendalian biaya.
- Sebagai sebuah bisnis yang padat modal, padat karya, padat teknologi dan padat informasi maka faktor biaya memegang peran yang dominan. Apalagi di kelompok biaya operasi ada faktor safety atau keselamatan penerbangan yang tidak dapat ditawar-tawar. Oleh karena itu, masalah biaya ini harus diatasi secara komprehensif, tanpa mengutik-utik biaya-biaya lain yang terkait langsung dengan flight safety. Caranya adalah dengan menerapkan prinsip ke-ekonomian skala (economies of scale) dan membuat pola operasi yang efisien. Garuda (dan Citilink) hanya menerbangi dua jenis rute yaitu rute jarak dekat-menengah dan rute jarak jauh. Oleh karena itu, jenis dan spesifikasi pesawat yang diperlukan juga cukup dua jenis pesawat saja, bukan 6 (enam) jenis pesawat seperti yang dioperasikan sekarang. Garuda dewasa ini menerapkan pola operasional yang tidak efisien, bahkan amburadul!. Tingkat utilisasi pesawat sangat rendah, kurang dari 5 jam per hari. Pesawat-pesawat berbadan-lebar dipakai untuk menerbangi rute-rute tidak padat sehingga tingkat isian rendah. Pesawat jarak jauh (antar benua) dipakai untuk menerbangi rute jarak dekat (antar propinsi) sehingga biaya-biaya handling, bahan bakar, perawatan membengkak! Hadeuuuh!
Hangar apa “Show Room Palugada”?
Salah satu sisi dari kodrat bisnis Garuda adalah sisi glamour-nya. Sisi glamour ini di-identik-kan dengan sisi kemewahan produk-produk mahal keluaran mutakhir.
Gejala mengenai hal ini bisa kita lihat dengan jelas di jajaran armada Garuda sekarang, yang terdiri dari sedemikian banyak merek dan tipe pesawat.
Garuda seperti tidak menyadari bahwa kondisi seperti ini akan menyulitkan diri sendiri untuk membuat pola operasi yang efisien.
Bayangkan, hampir semua merek dan tipe pesawat di dunia ada disana. Ada Airbus A320, Airbus A330, Boeing B737, Boeing B777, ATR 72600, dan Bombardier CRJ 1000. Kalau saja hangar Garuda ini bisa dipindahkan lokasinya, berikut isi-isinya ke salah satu ruko di Jalan Pecenongan, Gambir, Jakarta Pusat, (ini hanya kalau lho!) maka orang-orang pasti akan mengira bahwa ini adalah sebuah show room pesawat bekas, yang sangat lengkap. Dan nanti namanya adalah “Show Room Palugada”. Artinya apa lu mau gua ada.
Dari pembahasan di atas, dapat kita simpulkan bahwa kejadian “lucu-lucu” tersebut di atas tidak ada relevansinya dengan kodrat bisnis Garuda.
Kejadian-kejadian tersebut di atas adalah cerminan dari bagaimana Garuda dikelola oleh Manajemennya, dan dibina oleh Pemerintah.
Ke depannya, alangkah baiknya bila kepada Garuda juga dilakukan audit manajemen di samping audit keuangan seperti yang sudah berjalan selama ini.
Masarakat berharap agar dalam waktu dekat Garuda akan tampil sebagai maskapai penerbangan yang benar-benar profesional, profitabel, berwibawa, dan jauh dari anekdot “lucu-lucu” seperti yang terjadi selama ini. Semoga!
Bachrul Hakim, penulis adalah pengamat kebijakan publik, tinggal di Jakarta.