Oleh: Bachrul Hakim
Melalui media masa baru-baru ini, PT Garuda Indonesia mengumumkan perkembangan terakhir dari proses restrukturisasi hutang-hutangnya.
Secara resmi, proposal Garuda tersebut sudah diserahkan kepada para Kreditur, yang berjumlah 800 para pihak.
Kini, jumlah hutang-hutang Garuda tercatat sebesar Rp 139 triliun.
Pada saat yang sama Direktur Utama Garuda memaparkan 5 butir strategi penyelamatan Garuda secara rinci yaitu, fokus pada jaringan domestik, efisiensi biaya melalui penyesuaian jumlah pesawat, melanjutkan nego atas kontrak-kontrak yang ada, menggarap kargo dan bisnis ancillary.
Berita ini menyadarkan saya bahwa kondisi Garuda sekarang sudah jauh lebih parah daripada keadaan sebelumnya.
Beberapa bulan yang lalu kita masih merasa prihatin dengan jumlah hutang Garuda yang sudah mencapai Rp 70 T.
Tiba-tiba jumlah tersebut kini sudah menjadi Rp 139 triliun, dan dalam kasus ini Garuda berhadapan dengan sedemikian banyak Kreditur.
Mengenai ke 5 butir strategi restrukturisasi yang disusun oleh Dirut Garuda ini, saya berpendapat bahwa alur dan logika yang dipakai cukup masuk akal, akan tapi substansi dari ke 5 strategi ini dibuat atas dasar asumsi-asumsi yang keliru. Asumsi-asumsi yang bagi sebagian besar masyarakat pengguna jasa Garuda adalah sebuah keniscayaan, tapi kenapa dilihat memakai kacamata orang lain? Hal ini dapat dilihat dari analisis dibawah ini.
Butir 1. Fokus pada jaringan domestik
Strategi ini adalah rekomendasi Menteri BUMN, tapi yang dilaksanakan oleh Garuda adalah:
- Peluang malah disia-siakan. Garuda mengurangi 17 buah pesawat Boeing B737 dari jajaran armadanya, padahal jenis pesawat ini adalah tulang-punggung penerbangan domestik Garuda, yang seharusnya ditambah jumlahnya, bukan dikurangi! Akibatnya, peluang yang ada untuk mendongkrak revenue bukannya dimanfaatkan tapi malah disia-siakan.
- Ancaman juga tak digubris. Pesawat berbadan-lebar, dengan kapasitas tempat duduk lebih dari 250 kursi (Airbus A330) diterbangkan pada rute dengan potensi trafik hanya -/+ 100 pax (Jakarta-Solo/Jogyakarta). Pesawat mahal jarak-jauh, yang mampu terbang antarbenua (Boeing B777-300ER) dioperasikan pada rute antar-kota antar-propinsi, atau AKAP (Jakarta- Denpasar). Garuda seperti tidak menggubris ancaman pembengkakan biaya-biaya operasi, handling, bahan bakar dan perawatan pesawat, yang timbul akibat penggunaan pesawat pada rute yang tidak sesuai, atau the wrong aircraft on the wrong route.
Butir 2. Efisiensi Biaya Melalui Penyesuaian Jumlah Pesawat
Strategi ini menargetkan efisiensi biaya yang bisa didapatkan dengan cara penerapan kesesuaian spesifikasi pesawat dan kesesuaian jumlah pesawat:
- Pesawat dari berbagai tipe ini harus memiliki spesifikasi yang sesuai dengan klasifikasi rute yang diterbanginya. Contoh, pesawat A330 dengan kapasitas sebanyak 250 tempat duduk tidak akan efifien kalau diterbangkan pada rute dengan potensi trafik hanya 100-an orang. Pesawat B777-300ER dengan kemampuan terbang selama 9 jam non stop, tidak akan bisa efisien kalau diterbangkan pada rute-rute yang jarak tempuhnya hanya 1 jam 30 menit.
- Jumlah pesawat yang dioperasikan harus sesuai dengan jumlah potensi trafik yang ada. Kalau potensi trafik naik, jumlah pesawat harus ditambah dan kalau potensi trafik turun, jumlah pesawat harus dikurangi. Makanya, pengurangan 17 buah pesawat B737 yang selama ini beroperasi di jalur domestik adalah keputusan yang keliru, dan kontra produktif.
Butir 3. Melanjutkan Nego Atas Kontrak-kontrak yang Ada
Negosiasi tentang kontrak-kontrak yang ada dengan para pemasok, haruslah menjadi bagian dari strategi restrukturisasi Garuda secara keseluruhan. Yang menjadi masalah adalah, apakah Garuda sudah siap dengan posisi tawar yang jelas, baik kualitatif maupun kuantitatif? Karena berdasarkan asumsi-asumsi yang tidak pas, tidak mungkin kita bisa menyusun posisi tawar yang akurat!
Butir 4 dan 5. Mengharap Kargo dan Bisnis Ancillary
Tidak ada yang salah dengan ide untuk menggarap bisnis kargo dan bisnis ancillary di Garuda, sebagai sumber pendapatan tambahan bagi Perusahaan. Tapi kalau hal ini dilakukan sebagai bagian dari strategi penyelamatan Garuda, saya kuatir pijakan dari konsep ini tidak jelas. Secara historis, rasio pendapatan Garuda antara penumpang : kargo : angkutan Haji adalah 80 : 10 : 10. Dengan rasio hanya 10% dari total pendapatan, berapa % (terhadap pangsa 10%) kira-kira tambahan pendapatan yang mau dijadikan target? Untuk dijadikan catatan bahwa rasio 10% adalah rasio terhadap total pendapatan, bukan kinerja bisnis kargo. Selama ini semua beban biaya untuk bisnis kargo, dibebankan seluruhnya kepada bisnis penumpang.
Nah, kalau kargo hanya berkontribusi sebesar 10%, bagaimana dengan bisnis ancillary yang rasio penghasilannya sama sekali tidak signifikan?
Dari analisis di atas saya mohon ijin untuk menyimpulkan bahwa ke 5 butir strategi restrukturisasi ini, ternyata telah dibuat dengan menggunakan “kacamata orang lain”.
Dengan segala hormat saya kepada Tim Manajemen Garuda yang telah dengan susah-payah menyusun rencana strategis ini, saya melihat jauhnya jarak yang memisah antara bobot daripada problem yang dihadapi dan bobot dari strategi yang disusun untuk solusinya.
Kondisi Garuda sekarang adalah ibarat seorang pasien yang sakit keras, yang memerlukan perawatan khusus di UGD (Unit Gawat Darurat), tapi hanya diberi obat paracetamol saja?
Dengan jumlah hutang yang masih dibawah Rp 70 T saja, Garuda sudah tidak mampu untuk mencicil kewajibannya, apalagi sekarang dengan jumlah hutang yang sudah berlipat ganda.
Kekeliruan paling fatal dari penggunaan “kacamata orang lain” ini adalah:
- Menutup mata terhadap fakta adanya kelebihan pesawat, yang sudah membebani kinerja bisnis Garuda sejak 2012. Semua ini berawal dari sebuah perencanaan strategis (20092014) yang dilakukan secara keliru, karena melakukan pengadaan pesawat dalam jumlah besar, yang tidak benar-benar diperlukan, tanpa market studi yang memadai, dan proses pembeliannya penuh dengan aroma manipulasi, korupsi dan konspirasi jahat, dimana sebagian dari pelaku-pelakunya kini sudah menjalani proses hukum.
- Tidak melakukan koreksi apa-apa terhadap kebijakan yang jelas-jelas salah dan merugikan. Membiarkan pesawat-pesawat berlebih ini nongkrong di darat tidak menyetop pengeluaran biaya-tetap, apalagi memaksanya beroperasi di jalur domestik, yang tidak sesuai dengan peruntukannya. Sejak tahun 2017, Direktur Utama Garuda selalu berganti setiap tahun, tapi tak seorangpun diantara mereka yang melakukan koreksi atas masalah kelebihan pesawat ini. Ada “misteri”apa dibalik semua ini?
- Pesawat berbadan-sempit/jarak-pendek, yang diperlukan untuk fokus di jaringan domestik malah dikurangi sebanyak 17 buah pesawat B737. Dimana logikanya, pesawat-pesawat di rute internasional yang berkelebihan, pesawat-pesawat di rute domestik yang dikurangi?
- Seperti tidak sadar akan besarnya beban hutang yang sudah mencapai Rp 139 T, malah membuat perencanaan strategis untuk merevitalisasi bisnis kargo dan bisnis ancillary, yang sudah jelas kontribusinya sangat kecil.
Akhirulkata, dengan segala kerendahan hati saya menyarankan agar proposal restrukturisasi Garuda ini diperbaharui secara menyeluruh, secara transparan terhadap fakta-fakta penyebab masalah rugi-usaha yang berkepanjangan ini, dan dengan menggunakan asumsi-asumsi yang tepat sasaran, dan melihat semua persoalan menggunakan kacamata milik Garuda sendiri.
Jakarta, 10 Desember 2021
Bachrul Hakim, penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik (Mantan Direktur Niaga, PT Garuda Indonesia, 1999-2005).