Keterangan foto: Ibu Engelina Pattiasina (duduk, ketiga dari kanan) bersama Prof. MJ. Saptenno dan sejumlah akademisi dan berbagai komponen masyarakat menyampaikan "Deklarasi Maluku" yang antara lain menyuarakan agar pemerintah dan semua pihak memberikan perhatian terhadap Jalur Rempah (spice routes) tahun 2016 lalu. (foto: ist)

Jalur Rempah, Identitas Nusantara yang Mengubah Peradaban Dunia

Loading

Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina*

JAKARTA (Independensi.com) – Jalur rempah (spice routes) merupakan jalur legendaris yang menghubungkan dunia timur dan barat sejak ribuan tahun silam. Jalur perdagangan rempah ini bukan sekadar kisah perdagangan komoditi rempah, tetapi menjadi jalur perubahan peradaban umat manusia.

Bahkan tidak ada yang secara persis mengetahui sejak kapan rempah dari dunia timur ini menyeberang ke berbagai negara di Asia, Timur Tengah dan Eropa. Begitu sulit dan berharganya rempah pada zaman kuno menyebabkan ada berbagai macam legenda, yang mungkin sekadar imajinasi liar dari orang masa lalu mengenai asal muasal rempah.

Sejarawan Inggris, John Keay dalam The Spice Route: A History, mengungkapkan, para sarjana modern mengakui kekunoan perdagangan kuno ini tidak banyak yang tahu kapan dimulainya. Ini tentu saja sudah ada sebelum Kekaisaran Romawi, dan jika, seperti yang tampak mungkin, rempah-rempah diangkut melalui jarak yang sangat jauh pada awal 3000 SM, rute rempah-rempah dapat dikatakan telah ada sebelumnya dalam sejarah yang tercatat. (2006:7)

Setidaknya, jejak rempah ditemukan dalam kisah kunjungan ratu Negeri Syeba kepada Raja Salomo, “Lalu diberikan kepada raja seratus dua puluh talenta emas, dan sangat banyak rempah-rempah dan batu permata yang mahal-mahal; tidak pernah lagi ada rempah-rempah seperti yang diberikan ratu negeri Syeba kepada Raja Salomo itu.

Lagipula hamba-hamba Huram dan hamba-hamba Salomo, yang membawa emas dari Ofir, membawa juga kayu cendana dan batu permata yang mahal-mahal. Raja mengerjakan kayu cendana itu menjadi tangga-tangga untuk rumah Tuhan dan istana raja, dan juga menjadi kecapi dan gambus untuk para penyanyi. Hal seperti itu tidak pernah kelihatan sebelumnya di Tanah Yehuda. (2 Tawarikh 9-11).

Di satu sisi, dalam masa penjelajahan Eropa, The Suma Oriental of Tomé Pires (1512-1515), yang menyatakan, “Para pedagang Melayu mengatakan, Tuhan menciptakan Timor untuk kayu cendana dan Banda untuk fuli dan Maluku untuk cengkeh, dan barang dagangan ini tidak dikenal di tempat lain di dunia kecuali di tempat-tempat ini; dan saya bertanya dengan sangat teliti apakah ada yang memiliki barang dagangan ini di tempat lain dan semua orang mengatakan tidak ada” (1944:204).

Kepulauan Timor dalam “Suma Oriental” ini merujuk kepada Pulau Timor dan Pulau Sumba yang dikenal sebagai Pulau Cendana (Sandalwood Island). Bukti lain dari perdagangan di Kepulauan Timor ini, ketika gading menjadi barang mewah meski tidak ada jejak keberadaan gajah di Kepulauan Timor (NTT). Begitu juga “mutisalah” (manik-manik) yang menjadi aksesoris di Kepulauan Timor yang merupakan warisan barter pada masa silam.

Catatan Tome Pires “Suma Oriental” atau Dunia Timur ini merupakan rekaman perjalan pelaut Portugis. Tomé Pires merupakan pembantu Afonso de Albuquerque (1475-1491), yakni seorang pelaut Portugis terkenal yang membentuk koloni Portugis di Asia.

Frederik Rosengarten, Jr. dalam The Book of Spices (1969), menuliskan, antara lain, pada zaman Mesir Kuno dan Arab Kuno (dari sekitar 2600 SM), penggunaan rempah-rempah mungkin berasal dari Zaman Piramida di Mesir, sekitar 2600 hingga 2100 SM.

Bawang merah dan bawang putih diberikan kepada 100 ribu pekerja yang bekerja keras dalam pembangunan Piramida Cheops, sebagai ramuan obat untuk menjaga kesehatan mereka. Sebuah monumen yang didedikasikan untuk Firaun Mesir, yang berasal dari abad ke-25 SM, mencatat penerimaan sejumlah besar kayu hitam, emas, dan perak serta delapan puluh ribu takaran mur dari “tanah Punt” (Afrika Timur).

Belakangan, ketika menjadi bahan penting dalam proses pembalseman, cassia dan kayu manis diimpor ke Mesir dari Cina dan Asia Tenggara. Untuk menenangkan para dewa kematian, tubuh orang-orang penting diawetkan agar tidak membusuk dengan pembalseman, yang meliputi pembersihan bagian dalam perut dan membilasnya dengan rempah-rempah harum, termasuk jinten, adas manis, marjoram, cassia, dan kayu manis.

Di Kota Alexandria, Mesir, pendapatan dari iuran pelabuhan sudah sangat besar ketika Ptolemy XI mewariskan kota itu kepada Romawi pada tahun 80 SM. Bangsa Romawi sendiri segera memulai pelayaran dari Mesir ke India, dan di bawah kekuasaan mereka Alexandria menjadi pusat komersial terbesar di dunia. Itu juga emporium terkemuka untuk rempah-rempah aromatik dan tajam dari India, yang semuanya menuju ke pasar Yunani dan Kekaisaran Romawi.

Perdagangan Romawi dengan India berlangsung luas selama lebih dari tiga abad dan kemudian mulai menurun, bangkit kembali pada abad ke-5 M tetapi menurun lagi pada abad ke-6. https://www.britannica.com/topic/spice-trade

China dan India juga memiliki pengaruh perdagangan rempah pada masa silam. Ada mitos kuno di China, yang mencatat pemanfaatan rempah sekitar 2700 SM. Selain itu, ada bukti sejarah yang menunjukkan cassia adalah rempah-rempah penting di Cina Selatan ketika Provinsi Kweilin, yang berarti “Hutan Cassia”, didirikan sekitar 216 SM.

Begitu juga ada dugaan, kalau pala dan cengkeh Maluku telah masuk ke China sejak masa kuno. Dugaan itu muncul seiring adanya anekdot menunjukkan bahwa abdi dalem Cina pada abad ke-3 SM membawa cengkeh di mulut mereka sehingga napas mereka terasa manis saat berbicara dengan kaisar.

Kalau dirunut jauh ke belakang, ada banyak kisah mengenai peran rempah bagi kehidupan manusia, mulai dari abad kuno, pertengahan sampai dengan zaman modern.

Ilmuwan pada masa silam, juga sudah mencatat keberadaan rempah, misalnya, penulis Yunani, Herodotus (abad ke-5 SM), yang merupakan penulis narasi sejarah besar pertama dari dunia kuno, yang disebut The Histories. Dalam Buku 3 The Histories, Herodotus menulis kisah asal muasal rempah sesuai kisah pedagang Arab.

Dia menggambarkan, betapa untuk rumit dan berbahayanya untuk memperoleh rempah, karena harus mempertaruhkan nyawa. Menurutnya, kayu manis itu disekelilingi pantai dan di danau itu sendiri ada sejumlah hewan bersayap, sangat mirip kelelawar, yang memekik mengerikan, dan sangat gagah berani. Makhluk-makhluk ini harus dijauhkan dari mata mereka selama mereka mengumpulkan cassia. https://web.extension.illinois.edu/artifact/shared/pdf

Selain itu, rempah memainkan peran penting dalam ilmu kedokteran Yunani kuno. Hippocrates (460–377BC), yang dikenal sebagai Bapak Kedokteran, menulis banyak risalah atau tanaman obat, termasuk kunyit, kayu manis, thyme, ketumbar, mint, dan marjoram. Dari 400 obat sederhana, atau obat herbal, yang digunakan Hippocrates, setidaknya setengahnya digunakan saat ini. Filsuf dan ilmuwan Yunani terkenal Theophrastus (372–287 SM), sering disebut Bapak Botani.

Dia menulis dua buku, “On Odors” dan “An Inquiry into Plants”, yang merangkum pengetahuannya tentang rempah-rempah pada masanya. Ia merujuk, tanaman rempah yang paling harum berasal dari daerah panas di Asia yang melimpah.(Frederik Rosengarten, Jr. dalam The Book of Spices, tahun 1969).

Penggalian arkeologis telah menemukan cengkeh yang terbakar di lantai dapur, tertanggal 1700 SM, di situs Mesopotamia Teqra, di Suriah modern. Epik India Ramayana menyebutkan cengkeh. Bangsa Romawi memiliki cengkeh pada abad ke-1 M, seperti yang ditulis Pliny the Elder. Bahkan, pada masa Alkitab, rempah-rempah sudah dibicarakan. Kemudian, di Kepulauan Banda di Maluku, Pala memiliki nama Sansekerta, yang merupakan bahasa kuno India, menunjukkan berapa lama penggunaan rempah-rempah ini di wilayah ini. Sejarawan percaya bahwa pala diperkenalkan ke Eropa pada abad ke-6 SM. (Glen O. Brechbill, The Spice Notes of Fragrance, 2012).

Namun, yang tidak kalah penting dan upaya dunia mencari rempah adalah penemuan adanya angin muson (40 Masehi). Sebab, tanpa mengetahui adanya arah angin pada musim tertentu dalam setahun, maka akan sulit bagi pelaut mengelillingi dunia dengan mengandalkan angin ketika itu.

Glen Brechbill menuliskan, pedagang Indonesia berkeliling Cina, India, Timur Tengah, dan pantai timur Afrika. Pedagang Arab memfasilitasi rute melalui Timur Tengah dan India. Hal ini mengakibatkan kota pelabuhan Mesir Alexandria menjadi pusat perdagangan utama rempah-rempah. Penemuan terpenting sebelum perdagangan rempah Eropa adalah angin muson (40 M). Berlayar dari petani rempah Timur ke konsumen Eropa Barat secara bertahap menggantikan jalur rempah yang terkurung daratan yang pernah difasilitasi oleh karavan Arab Timur Tengah.

Sejarah panjang rempah ini, menyebabkan ilmuwan berusaha menemukan arkeologi yang berkaitan dengan rempah. Salah satunya, cengkih karena merupakan barang berharga yang sama dengan emas saat ini.

Peneliti situs Arkelogi di Sri Lanka, Eleanor Kingwell-Banham dalam sebuah artikel di The Conversation “World’s Oldest Clove? Here’s What Our Find in Sri Lanka Says About The Early Spice Trade” menepis klaim arkeologis dari Situs Mesopotamia Teqra. Dia menuliskan, “Hanya segelintir cengkeh yang sebelumnya telah ditemukan dari situs arkeologi, termasuk ini dari Prancis, misalnya – bukti arkeologis lainnya untuk cengkeh, seperti serbuk sari dari lubang pembuangan di Belanda, hanya berasal dari tahun 1500 M dan seterusnya – dan tidak ada contoh dari Selatan Asia.

Penemuan cengkih sebelumnya telah dilaporkan dari Suriah – tetapi sejak itu sebagian besar telah didiskreditkan sebagai kesalahan identifikasi. Cengkih dari Mantai ditemukan dalam konteks yang berasal dari tahun 900-1100 M, menjadikan ini bukan hanya cengkih tertua di Asia – tetapi kami pikir cengkeh tertua di dunia”. https://theconversation.com/worlds-oldest-clove-heres-what-our-find-in-sri-lanka-says-about-the-early-spice-trade-109686

Jadi, ketika ilmuwan dunia berusaha mencari jejak cengkih di berbagai belahan dunia, sesungguhnya ilmuwan Indonesia memiliki tugas yang lebih berat untuk menemukan jejak arkeologis pohon pala, pohon cengkih dan pohon cendana. Sebab, sudah pasti bunga cengkih dan bijih pala tertua di dunia ada di Maluku. Keharuman Rempah pada masa silam, juga menyebar hingga ke Eropa. Venesia memainkan peran penting dalam perdagangan rempah.

Rempah-rempah semuanya diimpor dari perkebunan di Asia dan Afrika, yang membuatnya mahal. Dari abad ke-8 hingga abad ke-15, Venesia memonopoli perdagangan rempah dengan Timur Tengah, dan bersama dengan itu negara-negara kota tetangga Italia. Perdagangan membuat kawasan itu kaya. Diperkirakan sekitar 1.000 ton lada dan 1.000 ton rempah-rempah umum lainnya diimpor ke Eropa Barat setiap tahun selama akhir Abad Pertengahan. Nilai barang-barang ini setara dengan pasokan gandum tahunan untuk 1,5 juta orang. (The Spice Notes of Fragrance, Glen O. Brechbill, 2012: 15)

Orang Venesia telah mencapai China untuk mencari rempah. Petualang dan pedagang Venesia, Marco Polo dikenal sebagai orang yang menjelajah Asia (1271-1295). Marco Polo bukan orang Eropa pertama yang menjejakkan kaki di Dunia Timur, karena juah sebelumnya, orang Venesia sudah mengenal jalur ke China. Namun, Marco Polo merupakan orang Eropa pertama yang berhasil memperkenalkan Dunia Timur melalui catatan pengalamannya ketika berpertualang di berbagai belahan Dunia Timur.

Ketika Marco Polo pulang ke Venesia, sedang berkecamuk perang Venesia dan Genoa (Italia) yang dikenal sebagai perang Chioggia (1378-1381). Kemenenangan Venesia menjadikan Venesia sebagai pemegang monopoli perdagangan ke Timur Tengah dan menguasai perdagangan di Levant (sekarang meliputi Lebanon, Suriah, Yordania, Israel, Palestina, termasuk Siprus, Sinai, dan Irak).

Di akhir abad ke-15, para penjelajah Eropa berlomba-lomba berusaha mencari cara untuk menemukan sumber rempah, Maluku. Mungkin terinspirasi Marco Polo yang berasal dari Venesia, Christopher Colombus tahun 1492, yang berasal dari Genoa melakukan ekspedisi di bawah bendera Spanyol. Christopher Columbus berlayar di bawah Bendera Spanyol. Dia berusaha mencari jalur laut barat untuk mencari sumber rempah. Ekspedisinya disponsori Ratu Isabella I dan Raja Ferdinand II. Ekspedisi Columbus yang melibatkan tiga kapal ini gagal menemukan sumber rempah di Hindia Timur, tetapi mendarat di Amerika.

Begitu juga penjelajah Italia, John Cabot tahun 1497 yang berlayar di bawah Henry VII dari Inggris gagal menemukan sumber rempah, tetapi menjelajahi pesisir Amerika Utara. Kontrol jalur perdagangan dan daerah penghasil rempah-rempah adalah alasan utama navigator Portugis Vasco da Gama berlayar ke India pada tahun 1499. Spanyol dan Portugal tidak senang membayar harga tinggi yang diminta Venesia untuk rempah-rempah.

Kecakapan militer Afonso de Albuquerque (1453 – 1515) memungkinkan Portugis untuk mengambil kendali rute laut ke India. Pada 1506, ia mengambil pulau Socotrain di mulut Laut Merah dan, pada 1507, Ormuz di Teluk Persia. Sejak menjadi raja muda Hindia, ia menguasai Goa di India pada tahun 1510, dan Malaka di semenanjung Melayu pada tahun 1511. Portugis sekarang dapat berdagang langsung dengan Siam, Cina, dan Maluku. Jalur Sutra melengkapi rute laut Portugis, dan membawa harta karun dari Timur ke Eropa melalui Lisbon, termasuk banyak rempah-rempah. (The Spice Notes of Fragrance, Glen O. Brechbill, 2012: 16)

Pencarian jalur laut ke sumber rempah ini melibatkan Portugis dan Spanyol, yang menghasilkan perjanjian Tordesillas pada 7 Juni 1494 yang membagi dunia di luar Eropa antara Spanyol dan Portugal. Kemudian dilanjutkan dengan Zaragoza pada 22 April 1529. Perjanjian ini menyebabkan, Spanyol melayari ke arah barat dan Portugis ke arah timur.

Ekspedisi Portugis di bawah Pedro lvares Cabral merupakan ekspedisi Portugis pertama yang membawa rempah dari India ke Eropa melalui Tanjung Harapan pada tahun 1501. Hal ini menandai dominasi Portugal di jalur laut perdagangan ini.

Pada September 1519, Penjelajah Portugis Ferdinand Magellan di bawah Raja Charles V Spanyol melakukan ekspedisi dengan 5 kapal untuk mencari Maluku mengikuti jalur barat. Pada tahun 1520 ia berlayar melalui selat Patagonia yang kemudian dinamai Selat Magellan. Magellan terbunuh di Pulau Mactan, Filipina pada April 1521.

Orang-orang yang selamat dari ekspedisi akhirnya berhasil mencapai Kepulauan Rempah-rempah, tetapi hanya satu kapal, Victoria yang dikomandoi Sebastian del Cano yang pulang Spanyol pada 1522. Kapal ini membawa pulang 26 ton cengkeh, puluhan karung pala, fuli, dan kayu manis, dan setumpuk kayu cendana harum yang dibawa kembali ke Spanyol. Semua ini lebih dari cukup untuk menutupi semua biaya ekspedisi. (Frederik Rosengarten Jr. The Book Of Spices, 1969: 26)

Penjelajah Inggris, Francis Drake, pada 1577-1580 melakukan ekspedisi mengelilingi dunia untuk melewati Amerika Selatan melalui Selat Magellan. Ekspedisi ini mendapat sokongan Ratu Elizabeth I. Francis Drake menggunakan Kapal “Pelican” yang kemudian diganti menjadi “Golden Hind”. Pada tahun 1580, Francis Drake bersama Golden Hint kembali ke Pelabuhan Plymouth, dengan membawa kekayaan berupa enam ton cengkeh dari Kepulauan Rempah. Jumlah itu sangat fantastis pada masa itu, karena harga cengkih sangat bernilai pada masa itu.

Negara Eropa lain yang mencari sumber rempah adalah Belanda. Penjelajah Belanda Cornelis de Houtman memimpin ekspedisi ke sumber rempah di Hindia Timur (Indonesia). Namun, sebelum ke Hindia Timur, Cornelis de Houtman terlebih ke Portugal untuk memperoleh informasi mengenai perdagangan rempah. Setelah kembali ke Belanda, Cornelis de Houtman memimpin ekspedisi ke Hindia Timur pada tahun 1595, dengan empat kapal, Amsterdam, Hollandia, Mauritius dan Duyfken.

Ekspedisi ini berhasil mencapai Banten dan membawa pulang muatan cengkeh, fuli, pala, dan hitam merica (lada). Namun, dalam ekspedisi kedua ke Hindia Timur, Cornelis de Houtman terbunuh di Aceh.

Kedatangan Belanda ke Hindia Timur ini menjadi babak baru penguasaan perdagangan rempah. Perebutan sumber ini menyebabkan, peperangan, kolonialisme dan perbudakan. Salah satu perang yang mungkin dicatat antara Inggris dan Belanda. Pertempuran ini berakhir setelah diteken perjanjian Breda yang diteken 31 Juli 1667 antara Inggris, Republik Belanda, Prancis, dan Denmark, yang mengakhiri Perang Inggris-Belanda kedua (1665–1667), dimana Prancis dan Denmark telah mendukung Belanda.

Perjanjian Breda ini menyebabkan, Pulau Run sebagai penghasil Pala di Maluku ditukar dengan Pulau Manhattan di Amerika. Pulau Manhattan ini merupakan satu dari lima kota yang membentuk kota New York saat ini. Perjanjian ini memaksa Inggris menerima Manhattan/New Netherland (New York, New Jersey) dan beberapa pos terdepan di Afrika dari Belanda, dan merebut kembali Antigua, Montserrat, dan St. Kitts di Hindia Barat dari Prancis. Belanda mempertahankan Suriname dan, di Hindia Timur, Pulau Run di Hindia Timur. Prancis mempertahankan Guyana Prancis dan memulihkan Acadia dari Inggris. (https://www.britannica.com/event/Treaty-of-Breda)

Dalam konteks Indonesia modern, Jalur Rempah semestinya memiliki tempat tersendiri dalam sejarah Indonesia. Sebab, tanpa pencarian rempah sangat meragukan Indonesia yang kita kenal saat ini. Keberadaan rempah melahirkan kolonialisme, silih berganti bangsa Eropa datang ke Nusantara. Terakhir, Belanda menguasai nusantara yang dikenal sebagai Hindia Belanda. Wilayah Hindia Belanda ini di kemudian hari diproklamirkan sebagai Indonesia. Sejatinya, Belanda yang menyatukan administrasi Indonesia. Sekali lagi, kehadiran Belanda tidak lepas dari keberadaan rempah.

Jalur Rempah telah membawa perubahan dunia. Semua negara Eropa berkembang maju tidak lepas dari pengaruh perdagangan rempah di masa lalu. Namun, ada ironi, karena penghasil rempah justru jauh tertinggal di belakang dan hanya menjadi korban kolonialisme.

Pernyataan dari sejarawan yang menyatakan, “Rempah-rempah tidak hanya membuat pedagang kaya di seluruh dunia — rempah-rempah itu mendirikan kerajaan yang luas, mengungkapkan seluruh benua kepada orang Eropa, dan memberikan keseimbangan kekuatan dunia. Jika zaman modern memiliki awal yang pasti, itu dipicu oleh perdagangan rempah-rempah”.

Jack Turner dalam Spice, The History of A Temptation (2005), misalnya menguraikan cukup baik sejarah rempah pada masa silam. Rempah bukan sekadar penyedap masakan, seperti yang dikenal saat ini, tetapi menjadi simbol kekuasaan dan kemakmuran. Dia juga memaparkan perjalanan panjang rempah nusantara pada zaman kuno, dimana rempah menjadi barang mewah pada masanya.

Rempah telah mengubah dunia dan bahkan diyakini sebagai globalisasi pertama di muka bumi. Dampak perdagangan dan pencarian sangat luas, mulai dari pertukaran kebudayaan, nilai kehidupan, agama, makanan sampai dengan penyebaran penyakit.

Untuk itu, Indonesia perlu memprakarsai dan mendorong agar Jalur Rempah yang merupakan bagian dari identitas Indonesia menjadi warisan dunia. Sebab, Jalur Rempah ini merupakan penghubung kehidupan di dunia barat dan di dunia timur dari dulu, kini dan masa datang.

Bagi Indonesia, jalur bukan saja sebagai warisan dunia tetapi juga merupakan identitas Indonesia. Pencarian rempah di nusantara merupakan pemicu lahirnya kolonialisme, yang disatukan dalam wilayah adminstrasi Hindia Belanda. Di kemudian hari Hindia Belanda ini diproklamirkan sebagai Indonesia. Jadi, ketika melupakan jalur rempah tidak bedanya kita melupakan sejarah sendiri.

*Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation.

One comment

Comments are closed.