Forum diskusi terbatas dari berbagai elemen di kawasan timur yang diinisiasi Archipelago Solidarity Foundation di Jakarta, Minggu (6/11/2022). (ist)

Tidak Mau Miskin Permanen, Kawasan Timur Perlu Galang Solidaritas Oceania

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Kawasan Timur Indonesia perlu menggalang solidaritas Oceania karena memiliki karakter wilayah yang sama. Oceania akan menjadi hotspot masa depan dunia. G20 di Bali semestinya menjadikan Oceania sebagai blue – green development dibandingkan dengan kawasan lain.

Hal itu terungkap dalam forum diskusi terbatas dari berbagai elemen di kawasan timur yang diinisiasi Archipelago Solidarity Foundation di Jakarta, Minggu (6/11/2022), yang dihadiri Direktur Archipelago Solidarity Foundation, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Prof. Dr. Jan Sopahelawakan, Dr. Ing. Ignas Iryanto, Dr. Ishak Tan, Drs. Robert Bala, MA; kandidat Dr. Laus Calvin Rumayom, Web Warouw, Demianus Meriam, Hengky Ap, Drs. Theopilus Luis, Syarif Lussy, SE dan Daniel Tagukawi.

Sesuai data resmi pemerintah, Provinsi Papua, Papua Barat, NTT dan Maluku merupakan empat provinsi termiskin di Indonesia dari satu rezim ke rezim yang lain, tetapi tidak ada kebijakan yang nyata untuk mengangkat kawasan ini. Sementara di satu sisi, sumber daya alamnya dieksploitasi sedemikian rupa.

Engelina Pattiasina mengatakan, forum itu sengaja dirancang untuk mengidentifikasi solusi dan akar persoalan, sehingga kawasan timur tidak semakin tertinggal dari kawasan lain. Dia mengatakan, kalau wilayah yang kaya secara sumber daya alam tetapi terpuruk dalam kategori termiskin selama bertahun-tahun, maka hal itu harus dihentikan, sehingga keterpurukan ini tidak berlanjut ke generasi kini dan mendatang.

Menurutnya, kawasan timur memiliki kekayaan alam yang sangat lengkap baik di darat, laut dan di dalam laut. Pada masa keemasan rempah, juga tidak membawa perubahan di Maluku. Begitu juga dengan saat ini, dimana kekayaan sumber daya alam hanya dieksploitasi tetapi tidak membawa kemajuan bagi masyarakatnya. Justru, masuk sebagai kawasan termiskin, karena Papua, Papua Barat, Maluku dan NTT hanya bergantian nomor urut kemiskinan.

Engelina menegaskan, kawasan ini membutuhkan satu kebijakan khusus untuk mengubah situasi, sehingga tidak menjadi kawasan miskin permanen. “Kita bisa mengangkat situasi keterpurukan ini, termasuk dengan menjalin kerja sama dengan kawasan Oceania,” tegasnya.

Engelina mengatakan, sangat penting untuk membangun kolaborasi dengan kawasan Oceania, karena memang memiliki karakter wilayah yang sama sebagai kawasan dengan perairan laut, pulau-pulau kecil, dan memiliki kemiripan dalam budaya.

Prof.Dr. Jan Sopahelawakan menjelaskan, selama ini kawasan timur dikelola sama seperti pembangunan kawasan kontinental, sehingga melupakan karakter bahari dari kawasan ini. Menurutnya, orang kontinental akan melihat laut sebagai pemisah, sedangkan orang bahari akan melihat laut sebagai pemersatu. Kultur bahari itu sangat berbeda dengan kultur kontinental, karena masyarakat bahari sangat kental dengan keterbukaan dan saling percaya.

Untuk itu, katanya, keberagaman kebudayaan ini tidak tampak dalam berbagai kebijakan Negara, karena cenderung mengedepankan persatuan yang bisa dimaknai secara sempit sebagai keseragaman. Keberagaman hanya bisa terjadi, jika didukung dengan kebijakan desentralisasi asimetris. “Kita itu sebenarnya sebagai Negara bahari, bukan Negara kepulauan. Karena ‘wilayah kepulauan’ merupakan sudut pandang orang kontinental,” katanya.

Geolog ini mengatakan, kawasan timur itu memiliki sumber daya yang sangat lengkap. Hampir semua yang dibutuhkan dunia di masa depan ada di kawasan ini. Kawasan timur ini membutuhkan sumber daya manusia (pendidikan), teknologi dan financial untuk bangkit dari keterpurukan.

Jan Sopahelawakan sangat mendorong adanya kolaborasi dengan kawasan Oceania, baik antar individu, lembaga ataupun sosial untuk bersama-sama mengembangkan potensi sesuai dengan karakter wilayah yang ada. Dia menegaskan, kawasan Oceania akan menjadi hotspot masa depan dunia dan kawasan timur ada di dalamnya.

Sopahelawakan mengatakan, akan sangat riskan kalau pembangunan kawasan timur hanya melihat dari sisi pragmatis politik, karena jumlah penduduk atau pemilih tidak signifikan untuk membangun posisi tawar. Kalau hanya melihat jumlah dukungan pemilih untuk membangun, katanya, maka situasi akan semakin buruk. “Kawasan timur membutuhkan manajemen disaster untuk keluar dari keterpurukan,” tegasnya.

Sementara itu, Dr. Ing. Ignas Iryanto, dengan berbagai kekayaan alam yang di kawasan timur, sebenarnya kawasan ini tidak pantas menjadi kawasan miskin. Hal ini, kata Ignas, menjadi sangat ironi, karena G20 yang digelar di Bali, antara lain, mengusung leave no one behind sebagai salah satu komitmen global untuk memberantas kemiskinan dalam segala bentuknya.

Para peserta G20, jelas Ignas, sebenarnya perlu menyadari bahwa ada satu kawasan di Indonesia yang terpuruk dalam kemiskinan, tetapi memiliki sumber daya alam yang sangat kaya. “Kalau memang komitmen global itu nyata, semestinya kawasan timur ini tidak boleh ditinggalkan. Tapi, kok dibiarkan dalam kemiskinan,” tegasnya.

Ignas juga menyadari, kalau penguatan kepemimpinan dan kelembagaan di daerah itu sangat penting, karena dalam praktek seringkali ada penyimpangan kewenangan, sehingga hal ini juga menganggu pengembangan potensi daerah. “Misalnya, bagaimana orang berinvestasi tetapi dengan birokrasi yang berbelit-belit,” katanya.

Ignas mengatakan, sangat penting untuk menjajaki kerjasama dengan kawasan Oceania, karena kawasan timur merupakan satu kawasan dalam gugusan Oceania, tentu memiliki kesamaan dalam keadaan geografis dan kultur.

Dosen Ekonomi Dr. Ishak Tan mengatakan, kalau disandingkan dengan agenda global saat ini dan di masa depan, maka sebenarnya kawasan timur ini merupakan kawasan yang sangat siap dengan program energi bersih, baik green maupun blue energi. Dia mengatakan, sebenarnya peserta G20 perlu melihat kawasan timur sebagai model dalam pengembangan energi bersih. “Dengan wilayah pulau-pulau kecil, dengan laut dan berbagai potensi energi bersih, kita memang yang paling siap untuk energi bersih,” tegasnya.

Salah satu agenda G20 mengenai pangan, kata Ishak, sebenarnya kekhawatiran ini hanya dari negara-negara maju, karena kebutuhan pangan yang terus meningkat. Tetapi, di kawasan timur, sebenarnya agenda ini tidak relevan karena kawasan timur memiliki keragaman pangan lokal, yang selama ini telah diabaikan.

“Kearifan lokal untuk mengelola pangan dan menjaga kesinambungan itu sudah diajarkan dari turun-temurun. Misalnya, di Maluku, ada yang disebut “sasi” sebagai larangan untuk memanen atau mengambil ikan. Ini bagian untuk menjaga kesinambungan pangan yang diajarkan generasi lalu, tetapi tidak dikembangkan,” jelasnya.

Robert Bala mengatakan, dengan potensi alam yang ada sebaiknya untuk mengarahkan semua energi untuk membangun kemampuan atau kapasitas, sehingga energi tidak habis untuk mengajukan tuntutan yang mungkin saja tetap tidak bisa mengubah situasi. Tetapi, dengan terus-menerus mengembangkan kemampaun dan potensi, secara perlahan akan mengubah situasi yang ada.

Mengenai kekhawatiran terhadap krisis pangan, Robert melihat, memang pangan local terlalu lama diabaikan dan kembali menarik perhatian setelah persoalan pangan sudah ada di depan mata. Dia mencontohkan, pangan lokal Sorgum (sorghum bicolor) sangat dikenal hampir di seluruh wilayah NTT sebagai bahan makanan. Tetapi, kurang mendapat perhatian serius dari pemerintah untuk mengembangkan pangan andalan orang NTT ini.

Namun, pastor di Flores Timur berusaha untuk mengembangkan tanaman sorgum di beberapa ribu hektar lahan. Hal seperti ini, katanya, perlu terus dikembangkan sebagai upaya untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Sementara itu, Dosen Universitas Cenderawasih, Laus Calvin Rumayom, yang sedang menyelesaikan program doktor mengatakan, memang sangat membutuhkan perhatian serius untuk mengurai tantangan di kawasan timur. Menurutnya, kawasan timur ini menjadi ajang konflik kebijakan tata ruang. Jadi, tidak mengherankan, ketika ada kebijakan dari satu kementerian bertabrakan dengan kementerian lain atau bahkan saling meniadakan. “Hal-hal seperti itu terjadi dalam praktek,” katanya.

Kebijakan paling mutakhir, katanya, mengenai pemekaran tiga provinsi di Papua, juga membawa masalah lanjutan mengenai kesiapan sumber daya manusia untuk mengisi berbagai posisi sebagai dampak dari keberadaan provinsi baru. “Sekarang masalahnya, bagaimana mengisi personel. Mau ambil darimana?” katanya.

Laus Rumayom mengingatkan, tiga negara besar sudah memasukkan kawasan timur dalam rencana pembangunan mereka untuk 150 tahun ke depan, tentu termasuk dengan rencana anggarannya. Untuk itu, katanya, sangat mengherankan, kalau Indonesia sendiri tidak memiliki rencana yang jelas untuk kawasan timur, baik dalam jangka pendek, menengah dan panjang. Rencana negara lain, jelasnya, tentu ingin mengambil manfaat dari berbagai potensi kekayaan di kawasan timur.

“Ada tiga negara sudah memasukkan kawasan timur dalam RPJMN mereka untuk 150 tahun ke depan. Termasuk mengenai rencana tambang emas untuk jangka panjang,” katanya.

Menurutnya, kawasan timur harus memperkuat kelembagaan masyarakat asli. Selain memiliki kearifan lokal, juga memiliki daya tawar yang kuat dalam berbagai forum internasional. Sebab, posisi masyarakat asli terhadap berbagai isu lebih menggambarkan situasi nyata daripada sekadar laporan formal.

Laus juga menyoroti dari berbagai forum, dimana isu perempuan dan anak kurang mendapat perhatian, tetapi persoalan ini menjadi tantangan serius di lapangan. Laus mencontohkan, Tana Papua (Papua dan Papua Barat) dan Papua New Guinea.

Kedua wilayah ini sama-sama bertumbuh. Tetapi, kalau dibandingkan jumlah penduduk, PNG sudah memiliki Sembilan juta penduduk. Sementara Tana Papua masih tetap bercokol di angka dua juta. Artinya, patut diduga, angka kematian di Tana Papua lebih tinggi dari PNG. “Saya kira hal-hal seperti ini patut mendapat perhatian,” katanya.

Engelina menambahkan, kalau dikaitkan dengan even Pemilu 2024, maka siapapun presiden dan wakil presiden terpilih, harus memiliki mindset atau cara pandang kemaritiman untuk kawasan timur. Sebab, tanpa memiliki solusi dan rencana yang paten mengenai karakter wilayah dan kultur kawasan timur yang berbasis maritim, maka hanya mengulang kekeliruan kebijakan kontinental di kawasan timur. “Kalau tidak paham kawasan timur, sebaiknya jangan coba-coba jadi capres atau cawapres, karena tidak akan menyelesaikan masalah. Apalagi, kalau hanya mau melanggengkan kekuasaan dan korporasi. Jangan begitu ya, karena persoalan di kawasan timur nyata adanya,” tegas Engelina. (*)