Penolakan usaha tambang di Sangihe

Keberadaan PT TMS Ancaman Nyata Bagi Warga Sangihe

Loading

Jakarta (Independensi.com) – Keberadaan Pertambangan milik PT Tambang Mas Sangihe (PT.TMS) asal Kanada menjadi ancaman nyata bagi Kehidupan Warga Sangihe

Karena itu pada Kamis, 07 Juli 2022 lebih dari 200 (dua ratus) orang diaspora Warga Pulau Kecil Sangihe yang tersebar di sekitar Jabodetabek bersama masyarakat sipil lainnya menggabungkan diri dalam barisan Koalisi Save Sangihe Island (SSI), suatu wadah warga pulau kecil Sangihe yang memperjuangkan hak atas ruang hidupnya dari daya pertambangan emas PT. Tambang Mas Sangihe (TMS) yang  melakukan aksi massa pada dua titik.

Aksi protes itu di Depan Kantor Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Ri Dirjen Minerba, dan di depan Kantor Kedutaan Kanada di Indonesia..

Luasan pulau Sangihe hanya 763,98 km2. Secara administratif merupakan kabupaten yang menjadi bagian dari pemerintahan Provinsi Sulawesi Utara.

Pulau kecil ini, sangat dikenal dengan panorama laut yang indah, diapit oleh dua gunung api aktif bawah laut, salah satunya merupakan gunung api bawah laut tertinggi di dunia dan tempat habitat burung langka terancam punah yakni Seriwang Sangihe (Eutrichomyias rowleyi) atau yang dikenal dengan nama lokal burung Niu hidup.        

    Penduduk menggantungkan kehidupannya pada sumber-sumber alami berupa pertanian di darat dan sumber daya perikanan dari pesisir hingga laut.

Sangihe juga berada pada kawasan ring of fire, dimana potensi tsunami dan gempa acap terjadi dan keberadaan gunung api menjadi potensi ancaman yang tidak dapat dihindarkan oleh 139.262 jiwa penduduk Sangihe.

Untuk itu, Keberadaan Pertambangan TMS jadi ancaman nyata bagi seluruh Kehidupan di Kepulauan Sangihe baik yang di darat, maupun pesisir-laut mungkin saja para ruang udara.

Hal ini layaknya bencana atau derita akan menimpa kita semua akan tetapi telah dituturkan di depan, tentu saja ini bukan cerita bencana alami tapi bencana industri,” ujar Jull Takaliuang seorang inisiator SSI.

Lebih dari setengahnya yakni seluas 42.000 hektar telah ditetapkan oleh Pemerintah Pusat secara sepihak melalui Kementerian Energi dam Sumber Daya Mineral (KESDM) sebagai areal operasi pertambangan emas untuk PT. Tambang Mas Sangihe (PT. TMS) melalui mekanisme Kontrak Karya (KK) sejak Janurai 2021 hingga Januari 2054 mendatang dan dapat diperpanjang.     Sementara Izin lingkungannya oleh Pemerintah Provinsi Sulut hanya seluas 65,48 (enam puluh lima koma empat puluh delapan) hektar.

Adapun pemilik saham PT. TMS,  70% dipegang oleh Sangihe Gold Corporation perusahaan asal negara Kanada 30% kepemilikan sisanya diambil oleh perusahaan lokal. Rincian pembagiannya, PT Sungai Belayan Sejati 10%, PT Sangihe Prima Mineral 11%, dan PT Sangihe Pratama Mineral 9%.

Selain itu, menurut Jull Takaliuang yang akrab disapa Akang Jull, selama pengurusan Kontrak Karya (KK), AMDAL hingga terbitnya Izin lingkungan, nyaris tanpa ada partisipasi masyarakat yang memadai dan dalam praktiknya melabrak serangkaian peraturan perundang-undangan dan asas-asas hukum, sehingga aksi aksi protes mulai dari forum resmi hingga aksi massa gencar dilakukan dalam upaya menolak keberadaan PT. TMS di Pulau Kecil Sangihe tanpa terkecuali pengujian melalui gugatan di ruang-ruang pengadilan juga ditempuh oleh warga.

KK PT. TMS No: 163.K/MB.04/DJB/2021 digugat di PTUN Jakarta sementara izin Lingkungan No: 503/DPMPTSPD/IL/IX/2020 yang diterbitkan oleh Dinas Penanaman Modal dan Perizinan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP) digugat di PTUN Manado.

Gugatan KK PT. TMS di Jakarta saat ini sedang menempuh upaya banding di PT. TUN Jakarta karena pada tingkat pertama, peradilan TUN menghindar dari membahas pokok perkara atau substansi perkara dengan menyatakan PTUN tidak berwenang mengadili Kontrak Karya.      Namun, gugatan izin lingkungan PT Tambang Mas Sangihe (TMS) oleh 56 (lima puluh enam) orang Perempuan asal Desa Bowone, Kecamatan Selatan Tengah, Kabupaten Kepulauan Sangihe menang di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Manado.

Putusan PTUN itu membatalkan Izin Lingkungan PT TMS dengan Nomor: 503/DPMPTSPD/182/IX/2020 tertanggal 25 September 2020.

Selain itu, PTUN Manado juga mengabulkan permohonan penundaan pelaksanaan segala aktivitas PT TMS.

Tak Punya Legitimasi

Berdasarkan putusan PTUN Manado ini, sesungguhnya PT. TMS hingga saat ini tidak punya legitimasi secara hukum untuk dapat melakukan operasi pertambangan di Pulau Sagihe sebab Izin lingkungan sebagai dasar izin operasi telah dibatalkan oleh PTUN Manado, begitupun jika dikaitkan dengan Pasal 35 huruf K UU PWP3K pertambangan mineral dilarang apabila menimbulkan konflik sosial dan juga kerusakan ekologis.

“ Konflik sosial di pulau Sangihe kian hari semakin terasa artinya secara sosial juga PT. TMS lagi-lagi tak punya legitimasi,” ungkap  Samsared Barahama pegiat lingkungan di Pulau Sangihe.      Akan tetapi, bukannya mematuhi putusan pengadilan secara elegan. Justeru pembangkangan secara sungguh-sungguh dilakukan PT TMS Pada Rabu, 13 Juni 2022 PT dengan tetap memobilisasi alat berat ke basecamp perusahaan di Kampung Bowone melalui Pelabuhan Panaru.

Upaya memasukan alat berat tersebut mendapatkan pengawalan dari aparat gabungan TNIPOLRI hingga akhirnya atas dukungan dan perlawanan masyarakat berhasil mengusir tiga unit alat berat tersebut dan segera  dibawa keluar dari Pulau Sangihe pada 16 Juni 2022.

Dikatakan, PT. TMS jelas tidak memiliki izin, segala aktivitas yang dilakukan mereka harus dinyatakan sebagai tindakan ilegal dan melawan hukum.

Tak berhenti disitu, secara tiba-tiba Robison Saul, salah satu warga Sangihe yang juga getol dan gigih mengadang alat berat  PT. TMS ditetapkan tersangka secara sewenang-wenang oleh kepolisian resor Kepulauan Sangihe.

Pada 30 Juni 2022, Robison Saul menghadiri panggilan penyidik satreskrim Polres Kepulauan Sangihe dengan status tersangka dan langsung ditahan pada hari yang sama.

Oleh kepolisian, Robison dituduh membawa senjata tajam sebagaimana melanggar Pasal 2 ayat (1) UU Darurat Nomor 12 tahun 1951 karena diduga membawa pisau besi putih ketika melakukan pengadangan alat berat.

Padahal pisau besi putih tersebut merupakan benda pusaka yang diwariskan dari mertua lakilaki Robison. Pisau itu digunakan sehari-hari untuk melaut (memotong umpan, memotong tali jangkar, membersihkan tiram).

“ Polres Kepulauan Sangihe jelas mengada-ngada tuduhan pidana terhadap Robison, dan kami menduga hal tersebut merupakan bentuk represifitas dan kriminalisasi terhadap pembela HAM lingkungan,” kata, Koordinator SSI, Jan Takasihaeng

Menurut Jull Takaliuang, Sesungguhnya Indonesia punya preseden baik dalam  mematuhi putusan pengadilan terkait dengan keberadaan tambang di pulau kecil yaitu saat izin PT MMP dinyatakan batal oleh pengadilan, diikuti dengan tindakan pemerintah dalam hal ini Menteri ESDM menerbitkan SK pencabutan pada 23 maret 2017 lalu.    

    “ Seharusnya sejak putusan PT MMP, tidak ada lagi izin tambang di pulau kecil Indonesia kerena merupakan aktivitas terlarang sebab regulasi hingga putusan pengadilan telah menyatakan demikian,” tegas Jull

“ Pada titik inilah keberanian juga komitmen pengurus negara dalam hal ini Kementerian ESDM dibutuhkan,” lanjutnya

Menurut aktifis perempuan asal Sulut itu, Koalisi SSI juga menyerukan agar Kapolri maupun Panglima TNI  melarang jajarannya melakukan tindakan represif, melakukan intimidasi dan upaya kriminalisasi terhadap warga Pulau Sangihe yang memperjuangkan tanah kelahirannya dari daya rusak pertambangan serta memohon membebaskan pejuang lingkungan yang bernama Robison Saul yang saat ini ditahan secara sewenang-wenang oleh Pihak Polres Sangihe.

Khusus bagi Kedutaan Kanada di Republik Indonesia agar melakukan audit hingga penjatuhan hukuman terhadap seluruh perusahaan pertambangan asal Kanada yang merusak lingkungan hidup, menyebabkan konflik sosial di Indonesia pada kepulauan manapun khususnya PT. TMS di Pulau Kecil Sangihe. (edl)