JAKARTA (Independensi.com) – Kejaksaan Agung melalui Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum (JAM Pidum) Fadil Zumhana menyetujui penghentian penuntutan enam perkara tindak pidana umum melalui mekanisme keadilan restoratif atau restoratif justice.
Persetujuan dikeluarkan seusai dilakukannya gelar perkara atau ekspose secara virtual oleh Kepala Kejaksaan Tinggi dan Kepala Kejaksaan Negeri yang mengajukan permohonan Restoratif Justice.
“Ekspose dihadiri JAM Pidum, Direktur Tindak Pidana Tertentu, Orang dan Harta Benda serta Koordinator pada JAM Pidum, dan Kasubdit maupun Kasi Wilayah di Direktorat Tipiter Oharda,” kata Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana, Senin (11/7).
Sumedana menyebutkan dari enam perkara pidana dua diantaranya dari Kejari Kota Tangerang yaitu atas nama tersangka Ropian bin Narsudi yang disangka melanggar Pasal 363 ayat (1) ke-3 KUHP jo Pasal 53 ayat (1) KUHP tentang Percobaan Pencurian.
Selain itu, tutur dia, atas nama tersangka Riski Fransiski yang disangka melanggar Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga.
Kemudian dari Kejari Batanghari atas nama tersangka Rubianto alias Robin yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian. Selain itu dari Kejari Tebo atas nama tersangka Syafril alias Aril bin Maksum (alm) yang disangka melanggar Pasal 362 KUHP tentang Pencurian.
Sedangkan dua perkara pidana lainnya dari Kejari Minahasa Selatan atas nama tersangka Rein Tumida yang disangka melanggar Pasal 351 ayat (1) KUHP tentang Penganiayaan. Serta Kejari Majalengka atas nama tersangka Muhammad Hatta alias Tata bin J Apando yang disangka melanggar Pasal 335 ayat (1) ke-1 KUHP tentang Pengancaman.
Sumedana menuturkan alasan
pemberian penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif antara lain
telah dilaksanakan proses perdamaian dimana tersangka telah meminta maaf dan korban sudah memaafkan tersangka.
“Tersangka belum pernah dihukum dan baru pertama kali melakukan perbuatan pidana. Selain ancaman pidana denda atau penjara tidak lebih dari lima tahun. Juga tersangka
berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya,” ucap Sumedana.
Dia menambahkan proses perdamaian dilakukan secara sukarela, dengan musyawarah untuk mufakat, tanpa tekanan, paksaan dan intimidasi. “Baik
tersangka dan korban juga setuju untuk tidak melanjutkan permasalahan ke persidangan karena tidak akan membawa manfaat yang lebih besar.”
Dikatakannya juga kalau JAM Pidum menyampaikan optimis terhadap perubahan pola perilaku Jaksa yang semakin baik dan mengedepankan hati nurani. “Ketajaman hati nurani harus diasah melalui penanganan perkara yang berkualitas dan didasari ketulusan.”
Selanjutnya JAM Pidum memerintahkan para Kajari yang memohon RJ untuk menerbitkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKP2) terhadap kr enam tersangka Berdasarkan Keadilan Restoratif sesuai Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020 dan Surat Edaran JAM Pidum Nomor: 01/E/EJP/02/2022 tanggal 10 Februari 2022 tentang Pelaksanaan Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai perwujudan kepastian hukum. (muj)