Oleh: Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina*
JAKARTA (Independensi.com) – Ketika peristiwa 27 Juli 1996 terjadi, Penulis berada di Jerman untuk menjalani perawatan kesehatan, sehingga sangat terpukul ketika mengetahui dari pemberitaan adanya penyerbuan Kantor DPP PDI yang dilakukan kelompok orang yang disuruh atau menyamar sebagai masyarakat biasa. Namun, sesungguhnya mereka mudah dikenali, karena keluarga kebetulan tinggal tidak jauh dari lokasi.
Peristiwa 27 Juli 1996 sebenarnya tidak berdiri sendiri, tapi merupakan rentetan dari berbagai peristiwa politik sebelumnya, yang intinya melawan kekuatan Soeharto dan orde barunya. Yang semakin hari semakin melenceng dan semakin diperparah dengan bersatu padunya kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi saat itu. Apalagi, keluarga Presiden tidak malu-malu melakukan bisnis, yang tentu sangat sulit dipisahkan dengan kekuasaan politik.
Kalau dirunut ke belakang, ada beberapa peristiwa politik yang berusaha melawan pemerintahan otoriter Orba, baik dalam SU MPR 1988, misalnya munculnya nama H.J. Naro sebagai calon Wakil Presiden dari PPP yang ketika itu merupakan satu keberanian tersendiri.
Kemudian, SU MPR tahun 1992, ada satu peristiwa, dimana 17 Anggota MPR RI dari PDI menolak pencalonan kembali Soeharto sebagai Presiden Indonesia. Penulis kebetulan satu dari 17 orang yang menolak pencalonan kembali Soeharto. Keberanian PDI ini telah menghebohkan jagat politik Indonesia melalui satu interupsi yang dilakukan Anggota PDI Sabam Sirait dalam SU MPR 1992. Sebab, jangankan menolak Soeharto, melakukan interupsi saja merupakan sikap “tabu” pada masa itu. Hal ini menunjukkan betapa kuatnya kekuasaan Soeharto.
Setelah itu, peristiwa intervensi kekuasaan terhadap Kongres PDI yang memicu konflik internal PDI semakin memperkuat perlawanan rakyat, yang memang merindukan adanya satu perubahan. Sebab, gerakan untuk demokrasi juga muncul dimana-mana. Situasi ini semakin memperkuat perlawanan terhadap orde baru. Konflik PDI inilah yang memicu perebutan Kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 yang menimbulkan korban jiwa, korban luka dan korban harta. Momentum ini menemukan titik balik dengan adanya krisis ekonomi dan kejatuhan Soeharto pada tahun 1998.
Dukungan rakyat yang sangat besar kepada PDI bukanlah sesuatu yang gratis, tetapi disertai suatu harapan akan perubahan Indonesia yang lebih baik melalui PDI sebagai simbol perjuangan pada masa itu. Saat itu, anak muda, mahasiswa dan rakyat yang berjuang tidak mengenai istilah “reformasi”, tetapi menghendaki satu tata pengelolaan negara yang demokratis, bukan sekadar demokrasi formal yang lebih menonjolkan kalah-menang, mayoritas-minoritas, tetapi demokrasi substansial yang menyasar terwujudnya keadilan sosial.
Istilah reformasi semakin mengemuka ketika aksi besar-besaran rakyat pada tahun 1998 dan sebenarnya terjadi semacam pembajakan dari perlawanan elemen rakyat menjadi semacam keberhasilan segelintir elite. Di sini, penulis melihat ada elite yang memanfaatkan pengorbanan rakyat, mahasiswa dan aktivis untuk menjadi pahlawan pada tahun 1998 dan hal itu masih terbawa sampai saat ini seolah menjadi “jagoan sendiri”.
Dalam semua rentetan peristiwa ini, baik sebelum 27 Juli 1996 maupun setelah itu, bukanlah kehebatan individu atau kelompok, tetapi ada banyak pihak yang ikut memperjuangkan demokrasi dengan caranya sendiri. Orang melupakan dimana posisi intelijen pada saat konflik PDI? Secara pribadi, saya memiliki pertanyaan, mungkinkah tanpa dukungan intelijen sejarah bisa tertulis seperti saat ini? Namun, sayang sekali, penulis tidak menemukan kajian seperti ini, sehingga banyak individu yang bertepuk dada dan merasa hebat sendiri.
Namun jika tidak disadari, kalau saat Orba, Indonesia hanya memiliki satu orang penguasa tunggal, maka saat ini mungkin saja ada banyak penguasa tunggal, yang tersebar di berbagai level kekuasaan, organisasi sosial dan organisasi politik, yang semuanya mengatasnamakan demokrasi, meski bukan mustahil justru lebih otoriter, baik karena kekuasaan maupun kekuatan keuangan.
Untuk itu, melalui peringatan Peristiwa 27 Juli 1996 ini setidaknya menjadi pengingat bagi siapapun yang berada atau sedang mememperoleh kepercayaan untuk mengatur rakyat atau negara ini bahwa di anak tangga-anak tangga menunju kekuasaan itu ada darah, ada air mata dan ada pengorbanan orang lain, yang mungkin saja terlupakan ataupun terabaikan.
Dalam konteks peristiwa 27 Juli 1996 ini, dari tahun ke tahun peringatan, penulis tidak pernah mendengar sekelompok anak muda dari kawasan timur, yang sangat militan untuk mempertahankan Kantor DPP PDI dalam peristiwa 27 Juli 1996. Bahkan, ada yang tidak ragu menaiki dan menghadang panser. Mereka memblokade jalan untuk membatasi ruang gerak aparat. Ada di antara mereka yang telah berpulang dan ada di antara mereka yang menjadi penonton ketika para elite setiap tahun memperingati peristiwa 27 Juli 1996. Pejuang hadir di pertempuran bukan di jamuan perayaan.
“Semua orang berharap pada PDI yang saat itu berpihak pada rakyat kecil. Berharap demokrasi akan menggantikan Otokrasi. Indonesia Timur tidak tinggal diam. Kami patroli tiga hari sebelumnya dari Kuningan sampai Senen”. Kira-kira begitu satu pesan yang masuk ke telepon seluler penulis dari Hengky Ap, sahabat dari Papua.
Hengky Ap ini merupakan satu di antara aktivis dari kawasan timur yang mengambil peran dalam peristiwa 27 Juli 1996. Mereka mengorganisir diri dalam satu wadah FKGMIT yang berasal dari berbagai daerah di kawasan timur, Baharudin Hakim, Arifin Basso dan kawan-kawan (Sulawesi Selatan); Rafael Reddy, Frangky Langoday, Konradus, Donatus Sabon dan kawan-kawan (NTT). Hengky Ap, Yusak Wanatore, Yan Tata, John Taran, Jimmy Ijie, Micky Duiri dan kawan-kawan (Papua). Jacky Zakarias, Theoplius Luis, Elsye Mailoa, Otto Idris, Aly Husein, Aly Karepesina, Markus Pattiwael dan Maur Karepesina dan kawan-kawan (Maluku). Mashud dan kawan-kawan (NTB). Lexy Lumentut dan Frangko Maukar dan kawan-kawan (Sulawesi Utara).
Tentu masih banyak aktivis dari berbagai daerah dengan beragam latar belakang untuk bersama-sama menuju satu perubahan pada masa itu. Untuk itu, sesungguhnya sangat menarik untuk menanti jawaban dari para korban 27 Juli 1996, apakah harapan mereka sudah terpenuhi, terlewati atau justru hanya memendam kekecewaan yang muncul dari harapan yang tinggi akan satu perubahan.
Bagi penulis, tidak lama setelah kejatuhan Presiden Soeharto tahun 1998, sebenarnya sudah muncul satu gejala yang tidak sejalan dengan apa yang semula diperjuangkan, terutama mengenai perubahan UUD 1945. Sebelum era reformasi, hanya masa jabatan presiden yang menjadi persoalan dan praktek KKN.
Namun, era reformasi ini melakukan perubahan konstitusi besar-besaran, sehingga membawa pengaruh yang sangat besar dalam praktek bernegara dan berdampak kepada praktek ekonomi, sosial, politik dan sebagainya.
Sebenarnya, kesadaran akan bahaya amandemen ini pernah dilontarkan 207 Anggota MPR RI dari lintas fraksi pada SU MPR tahun 2001, yang menyatakan menolak amandemen UUD 1945. Penulis tercatat pada nomor 38 sebagai penolak amandemen.
Tetapi, upaya menolak amandemen konstitusi ini tidak berhasil karena sebagian besar anggota MPR RI mendukung amandemen. Sikap ini tidak populer dan ibarat melawan gelombang besar euforia reformasi.
Akibat perubahan konstitusi ini begitu mudah menemukan bagaimana praktek kapitalistik begitu dominan, sehingga investor atau pemodal begitu mudah mendikte arah ekonomi Indonesia, yang tercermin dalam pengelolaan sumber daya alam.
Selain mengubah sistem ekonomi Indonesia, juga mengubah secara mendasar sistem politik Indonesia. Pemilihan presiden dan kepala daerah secara langsung merupakan salah satu hasil dari perubahan konstitusi. Praktek pemilihan langsung ini telah membawa pengaruh besar, dimana modal menentukan siapa pemenang dalam setiap kontestasi. Bahkan, ada banyak kritik kepada partai politik yang memainkan peran seperti perusahaan sebagai penyedia tiket untuk setiap calon penguasa.
Praktek politik seperti ini, bukan saja menghasilkan pemimpin yang dikendalikan investor, tetapi juga menghasilkan “politik ijon”, dimana kekayaan sumber daya alam menjadi jaminan bagi pemodal dalam setiap event politik.
Hal seperti ini, tentu jauh dari apa yang diimpikan para aktivis masa orde baru yang ingin keluar dari cengkeraman orde baru kepada suatu era dimana Indonesia yang adil, makmur, sejahtera dan terwujudnya keadilan sosial dan penghormatan terhadap kemanusiaan. Selamat memperingati tragedi 27 Juli 1996. (*)
*Penulis, Dipl.-Oek. Engelina Pattiasina, Direktur Archipelago Solidarity Foundation.