Foto : Seseorang yang menunjukan surat akte cerai.

Pasangan Milenial Dominasi Kasus Perceraian di Kabupaten Gresik

Loading

GRESIK (Independensi.com) – Angka perceraian di Kabupaten Gresik, Jawa Timur, setiap tahun terus meningkat cukup signifikan. Sebab, hingga September ini sudah tercatat lebih dari 1.900 orang yang mengajukan perceraian.

Menurut Humas Kantor Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Gresik, Kamaruddin Amri, mayoritas yang mengajukan gugatan perceraian merupakan kelompok usia di bawah 35 tahun.

“Jika dikategorisasi berdasar generasi, para calon duda dan calon janda yang mengajukan perceraian termasuk kalangan milenial. Karena, mereka rata-rata kelahiran antara 1981-1996,” ujarnya, Kamis (29/9).

“Mereka yang mengajukan gugatan perceraian, rata-rata usia pernikahannya berlangsung tidak lebih dari 10 tahunan,” sambungnya.

Amri menambahkan, berdasar data yang dimiliki Pengadilan Agama (PA) Gresik, hingga September ini sudah mencatat sebanyak 1.914 kasus perceraian. Perinciannya, 1.426 kasus cerai gugat (pihak istri yang menuntut cerai) dan 489 kasus cerai talak (suami yang mengajukan talak perceraian).

“Yang memicu kasus perceraian ini, kebanyakan permasalahan ekonomi. Baik dalam hal tidak mampu mencukupi kebutuhan maupun tidak mampu lagi memberikan nafkah. Atau karena pihak suami tidak memiliki pekerjaan,” ungkapnya Hakim PA ini.

Pemasalahan gugatan perceraian ini semakin pelik, lanjut Amri, lantaran pola hidup pasangan suami istri (pasutri) yang tidak produktif. Misalnya sang suami tidak memiliki niat kuat dan sungguh-seungguh dengan berupaya memberikan nafkah. Baik lahir maupun batin.

“Kondisi itulah yang menjadi penyebab dari perceraian yang selama ini kami tangani,” ucapnya.

Selain itu, ada sejumlah permasalahan lain yang membuat timbulnya perceraian. Seperti, penelantaran atau melalaikan hak dan tanggung jawab lainnya hingga kekerasan dalam rumah tangga. Kondisi ini tentu kedudukan istri dan anak menjadi kelompok yang rentan menjadi korban,” tuturnya.

Padahal, pasca bercerai, masih ada kewajiban yang melekat kepada pihak suami terutama bagi yang memiliki buah hati. Salah satunya, menjamin kehidupan bagi anak hingga tumbuh dewasa,” imbaunya.

Tren pengajuan dispensasi pernikahan usia dini juga relatif tinggi. Sampai September 2022, jumlahnya mencapai 176 pemohon. Yang membuat miris, dasar permohonan itu, karena hamil di luar nikah. Selain itu, juga permintaan langsung dari para orang tua,” tukasnya.

Hal ini di katakan Amri, menjadi satu indikator bahwa pernikahan masih banyak yang belum dipahami sebagai penyelesaian masalah. Padahal, pernikahan itu harus berangkat dari niat tulus dan penuh tanggungjawab dari kedua belah pihak (suami dan istri).

“Kesadaran masyarakat, tentang hukum perkawinan sejauh ini masih terbilang rendah. Terutama jika diukur kesiapan mental bagi para pasangan suami-istri. Karena itu, peran orang tua hingga lingkungan sekitar teramat penting. Untuk memberikan pemahaman, bahwa pernikahan merupakan hal yang sangat sakral,” tegasnya.

“Selama ini PA pun terus melakukan berbagai upaya untuk menekan kasus percarian tersebut. Terlebih, permohonan cerai hingga sebelum mendapat putusan, harus melalui berbagai tahapan. “Baik mediasi maupun menyediakan lembaga konseling sebagai upaya mendamaikan masing-masing pihak,” tandasnya.

“Apa yang dilakukan oleh PA selama ini, perlu dukungan dari orang-orang dekat pasutri agar berjalan efektif. Baik itu, pihak keluarga, tokoh agama, dan masyarakat sekitarnya. Karena lembaga PA merupakan benteng terakhir. Keputusan terakhir bergantung kepada masing-masing pihak,” pungkasnya. (Mor)