JAKARTA (Independensi.com) – Perekonomian Indonesia saat ini mulai membaik dan akan terus membaik seiring dengan peningkatan konsumsi domestik.
Namun guna menjaganya, perlu sinergi semua pihak terutama dalam menjaga dan meningkatkan konsumsi domestik yang menjadi pemacu utama.
Direktur Group Riset Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Herman Saherudin dalam diskusi LPS-Forwada di Jakarta, Kamis, (9/3). mengungkapkan, dari lima faktor pendorong pertumbuhan ekonomi, komponen yang paling besar prosentasinya adalah konsumsi domestik.
Upaya menjaga pertumbuhan ekonomi nasional di tahun penuh tantangan ini adalah dengan meningkatkan konsumsi masyarakat. “Artinya, kita bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi jika konsumsinya cukup,” ujar Herman.
Herman mengatakan, saat ini konsumsi masyarakat pasca PPKM sudah pulih. Jal tersebut secara kasat mata bisa dilihat dari keseharian masyarakat dimana saat ini pendemi bisa dikatakan sudah jadi endemi, meski belum ada pengumuman resmi WHO.
“Aktivitas ekonomi sudah pulih, mall, bioskop, traveling, artinya konsumsi masyarakat telah pulih. Simpanan masyarakat perseorangan growthnya sudah mulai ternomalisasi, dimana porsi konsumsi dan porsi simpanan/tabungan masyaakat itu balance,” jelas Herman.
Dia menyebut selain konsumsi domestik yang menyumbang 50 persen dari pertumbuhan ekonomi harus didukung oleh dunia usaha. Dunia usaha harus didorong untuk meningkatkan investasi mereka.
Mengutip pernyataan Ketua LPS Purbaya Yudhi Sadewa, struktur perekonomian Indonesia memungkinkan Indonesia menyelamatkan dirinya sendiri.
Karenanya, bagi dunia usaha, jika memang struktur fundamental perekonomian Indonesia kuat, maka seharusnya dunia usaha tidak perlu ragu-ragu lagi untuk terus mendorong investasinya kedepan.
“Karena, pada saat orang sudah mulai konsumsi, uangnya kan masuk di dunia usaha. Nah, jika mereka kemudian investasi lagi misalnya dalam bentuk hp baru, iphone baru kan meningkatkan lapangan kerja, maka konsumsi akan meningkat lagi, ini multiplayer-nya meningkat, ini yang perlu kita dorong,” jelasnya.
Hanya saja, dunia usaha saat ini masih bersikap hati-hati terkait dengan kondisi global.
Herman menjelaskan, meski tidak separah yang diperkirakan, perekonomian global dengan berbagai masalah seperti perang Rusia-Ukraina tetap harus diwaspadai.
“Jadi artinya melihat perkembangan kuartal satu ini meskipun belum akhir maret belum selesai, kita lihat sepertinya dampak resiko global itu memang perlu kita waspadai namun tidak separah yang diperkirakan sebelumnya,” ujar Herman.
Sementara pengamat ekonomi dari Segara Reseach Institute, Piter Abdullah mengatakan bahwa masyarakat Indonesia termasuk didalamnya dunia usaha tidak perlu khawatir akan ancaman resesi. “Kita nggak perlu khawatir di tahun 2023 ini, artinya, tidak akan ada resesi ditahun 2023,” ujar Piter.
Ia mennyebut bahwa proyeksi pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan tumbuh 4,8%, sementara dirinya pribadi memperkirakan 4,75% sampai 5,25%. Artinya, kata Piter tahun 2023 ini perekonomian Indonesia akan tumbuh baik, karena ekonomi Indonesia tidak tergantung kepada global.
“Global boleh saja resesi, tapi Indonesia tidak akan resesi. kenapa? arena pertumbuhan kita lebih ditentukan oleh domestic demand,” tegasnya.
Herman menambahkan, Indonesia bisa masuk resesi jika domestik demand-nya terpengaruh, seperti saat Indonesia mengalami pandemi. Dimana pergerakan masyarakat terhenri akibat kebijakan PPKM. (hpr)