Penurunan Partisipasi Generasi Muda Pada Pemilu, Menuju Kepunahan Demokrasi

Loading

Oleh : Siti Nur Aulia
(Tenaga Ahli Sekjen MPR RI)

Pada pertengahan April 2023, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengeluarkan
Keputusan KPU Nomor 316 tahun 2023 melalui Rapat Pleno yang dihadiri oleh para Komisioner KPU, Sekretaris Jenderal KPU, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), perwakilan Partai Politik (Parpol) peserta Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, K/L terkait, dan turut dihadiri oleh Anggota KPU Provinsi/ KIP Aceh serta operator Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) seluruh Indonesia. Dari total 205.853.518 orang yang terdaftar dalam Daftar Pemilih Sementara (DPS), sekitar 60% pemilih atau sekitar 110 juta orang, merupakan generasi muda dengan rentang usia 17-40 tahun.

Menurut Sensus Penduduk 2020 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik
(BPS), komposisi masyarakat Indonesia didominasi oleh generasi Z yang lahir pada kurun waktu tahun 1997-2012 atau sebanyak 75,49 juta jiwa, diikuti oleh generasi milenial yang lahir pada kurun waktu tahun 1981-1996 atau sebanyak 69,38 juta jiwa.Data empiris tersebut menunjukkan bahwa ungkapan tentang generasi muda penentu masa depan bangsa, bukan isapan jempol semata. Akumulasi suara generasi muda yang secara kuantitatif merupakan mayoritas, menjadikan partisipasi pemuda dalam Pemilu 2024 mendatang menjadi penentu pemegang tampuk kepemimpinan Indonesia selama lima tahun mendatang, termasuk penentu prioritas pembangunan dan fokus kinerja pemerintah pada tahun 2024-2029.

Sebagaimana yang dituturkan
oleh Anggota KPU August Mellaz pada web-seminar (webinar) berjudul Jadilah Pemilih Muda Cerdas, pada Pemilu 2024 mendatang “anak muda akan menjadi penentu yang tidak bisa diabaikan”. Dengan kata lain, generasi muda yang menjadi pemilih dalam Pemilu 2024 mempunyai andil besar dalam menentukan karakter kepemimpinan Indonesia di masa mendatang. Harapan akan masadepan bangsa yang lebih baik melalui terciptanya pemerintahan yang tangguh menghadapi tantangan zaman kedepan, semakin tertumpu kepada generasi muda, mengingat generasi muda dinilai mempunyai perhatian besar terhadap isu-isu global dan kontemporer, seperti lingkungan dan perkembangan teknologi. Berbeda dengan generasi-generasi sebelumnya, generasi Z mempunyai kemampuan untuk memanfaatkan teknologi dalam berbagai bidang kehidupan. Karena lebih memahami dan mengikuti perkembangan teknologi, generasi Z mempunyai akses informasi yang luas dan terkoneksi secara global. Komposisi dominasi generasi muda, juga diisi oleh generasi milenial, yang dianggap sebagai motor penggerak masyarakat, sehingga mempunyai pemahaman yang mumpuni tentang kondisi aktual rakyat Indonesia. Secara Bersama-sama, kolaborasi antar kedua generasi ini dianggap memiliki pemahaman yang lebih tajam atas ancaman, hambatan, tantangan, dan gangguan yang mungkin terjadi di masa mendatang.

Dalam kaitannya dengan Pemilu 2024 mendatang, kedua generasi ini dipercaya akan memberikan suaranya pada pemimpin yang mampu menunjukkan perhatiannya dalam isu-isu serupa. Peran serta aktif generasi muda, pada gilirannya menjadi sangat penting dan dapat dielaborasi dalam berbagai bentuk tindakan, antara lain sebagai pendukung dari para kandidat yang berkontestasi; menjadi peserta pemilu melalui pencalonan untuk mengisi posisi legislatif ataupun eksekutif; mengambil peran sebagai penyelenggara pada berbagai tingkatan yang memungkinkan seperti pada Petugas Pemutakhiran Data Pemilih (Pantarlih), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS), Panitia Pemungutan Suara (PPS), Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN), Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara Luar Negeri (KPPLN), Panitia Pemutakhiran Data Luar Negeri (Pantarlih LN), Petugas Ketertiban Tempat Pemungutan Suara; Bawaslu; dan KPU.

Selain itu, generasi muda dapat secara aktif melaporkan dugaan penyimpangan dan pelanggaran setiap tahapan pemilu kepada Bawaslu, dengan menyertakan bukti￾bukti yang menguatkan. Secara kelembagaan, generasi muda yang tergabung dalam suatu organisasi kepemudaan pada berbagai tingkatan, dapat juga menjadi Pemantau Pemilu. Pemantau Pemilu kemudian dapat melakukan pamantauan, setelah sebelumnya mendapatkan pembekalan dari Bawaslu setempat, sehingga kinerja
Bawaslu setempat dapat dioptimalkan sekaligus pelaporan yang dilakukan oleh para pemantau dapat lebih terstruktur dan dipertanggung-jawabkan Segala tindakan yang mungkin dilakukan oleh generasi muda ini, merupakan elemen-elemen yang penting untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia.

Karena demokrasi yang semakin baik akan mengantarkan Indonesia semakin dekat pada cita-cita perjuangan bangsa yakni keadilan sosial. Jika tidak dilakukan, akan banyak anasir-anasir yang berusaha mengoyak demokrasi, melakukan kecurangan-kecurangan terstruktur, menyandera rasa keadilan masyarakat, hingga pada gilirannya membuat perhelatan pemilu sebagai pesta demokrasi, gagal menghasilkan
kepemimpinan yang dicintai rakyat sekaligus disegani dunia. Kepemimpinan yang platform-nya tidak sesuai dengan jati diri bangsa, kepemimpinan yang keropos dan akan menghantarkan negara pada kemunduran.

Selanjutnya, meski terdengar sederhana, menggunakan hak suara dan tidak menjadi golongan putih (golput) nyatanya juga menjadi barometer bagaimana konsolidasi demokrasi terus terjadi pada suatu negara. Beberapa negara terbukti mengalami kemerosotan demokrasi, bahkan tidak dapat mengembangkan demokrasi karena minimnya partisipasi generasi muda dalam Pemilu. Di Rusia, partisipasi pemilih dengan rentang usia 18—29 tahun hanya sebesar 20%. Hal ini menyebabkan total partisipasi rakyat dalam demokratisasi melalui Pemilu di Rusia hanya mencapai 68% pada tahun 1999. Bahkan, tingkat partisipasi ini menurun dan hanya mencapai 47% pada tahun 2016.

Hal yang sama juga terjadi di Afrika Selatan. Pada tahun 2019, generasi muda yang menggunakan hak pilihnya mengalami penurunan signifikan walaupun pemikiran-pemikirannya di bidang politik tetap dibagikan melalui jejaring sosial sepanjang proses penyelenggaraan Pemilu. Rendahnya jumlah pemilih dari generasi
muda mengancam demokrasi yang dimulai sejak tahun 1994. Sejumlah pakar politik di Afrika Selatan menolak potensi ini. Menurut mereka, generasi muda tidak bersikap apatis terhadap perpolitikan dan sistem demokrasi, tetapi hanya belum memahami peranannya dalam politik dan pemerintahan karena menganggap kondisi di Afrika Selatan masih belum sesuai dengan harapan.

Indonesia dapat mengalami kondisi yang lebih buruk dibandingkan Afrika
Selatan dan Rusia. Kondisi bonus demografi yang berlanjut sampai tahun 2040 menunjukkan bahwa dominasi generasi muda dalam populasi Indonesia merupakan penentu keberlanjutan demokrasi hingga dua dekade mendatang. Jika tingkat partisipasi generasi muda Indonesia dalam Pemilu 2024 terutama dalam penggunaan hak suara rendah, sistem demokrasi yang disuarakan dalam reformasi akan terdegradasi dan pemerintahan yang terbentuk tidak akan mampu mewadahi kebutuhan dan kepentingan generasi muda selama lima tahun mendatang. Alhasil, dalam Pemilu berikutnya, generasi muda semakin tidak percaya terhadap kinerja pemerintah, sehingga tingkat partisipasi politik generasi muda akan semakin menurun. Bukan mustahil, Indonesia akan kehilangan sistem demokrasinya sebelum menyentuh usia 100 tahun pada tahun 2045.