Denpasar (Independensi.com) – Dianggap akan menimbulkan wabah yang menakutkan dan ganggu pariwisata, rencana pelepasan 200 juta telur nyamuk yang terinfeksi bakteri Wolbachia di Denpasar, Bali, yang dijadwalkan 13 November 2023 menimbulkan banyak penolakan.
Pusat Koordinasi Hindu Indonesia (Puskor Hindunesia) bahkan menolak tegas implementasi Metode Wolbachia di Bali yang akan melepaskan sekitar 200 juta telur nyamuk Wolbachia dengan alasan menekan penyebaran nyamuk Aedes Aegypti penyebab demam berdarah dengue (DBD).
“Saya dengar dua hari lalu berita di media yang menyebutkan akan disebarkan dua ratus juta nyamuk Wolbachia di Denpasar dan Singaraja. Ini bikin cemas dan sangat mengkhawatirkan. Apalagi keresahan itu juga dirasakan oleh komunitas ‘Save Bali from The Mosquitos’ merupakan group lokal dan nasional, dan ‘Bali Solidarity’ merupakan group relawan orang asing yang concern dan antusias melakukan penolakan terhadap program Wolbachia karena di balik itu telah berdampak (buruk) di Srilanka dan Colombia,” ungkap Humas Puskor Hindunesia I Dewa Putu Sudarsana didampingi Juru Bicara Gladiator Bangsa Prof Richard Claproth di Denpasar, Senin (6/11/2023).
Adanya kegagalan metode Wolbachia di beberapa negara itulah yang memotivasi dirinya untuk bergabung dalam program yang terdiri dari para expert (pakar, ahli).
“Di sana kami mengenal Profesor Richard, Profesor Suryadarma, ada Profesor Yuda. Nah di sini kami mengetahui informasi akurat tentang rekayasa genetika,” sebut Sudarsana.
Di sisi lain pihaknya menjelaskan Puskor Hindunesia mendahulukan kearifan lokal dengan membangkitkan local genius di tatanan daerah masing-masing.
“Nah Bali memiliki hal itu melalui upacara secara niskala (alam spiritual), melabuh gentuh, nangluk merana (tolak bala). Dan, guru wisesa (pemerintah) kita punya 3 M, menguras, menutup, dan mengubur dalam menekan penyebaran nyamuk DBD yang sudah kita lakoni. Ini sebuah motivasi, diberikan tanggung jawab kepada orang Bali, yang tinggal di Bali, bagaimana menjaga alam Bali secara simultan. Di satu sisi sekarang pemerintah diberikan nyamuk Wolbachia yang katanya untuk menghindari kita dari DBD. Ini kan irrasional alias tidak masuk akal,” tuturnya.
Seharusnya menurut Sudarsana manusia yang menjaga alam, bukan sebaliknya. Nyamuk dari hasil rekayasa genetika, ini malah disuruh menjaga Bali.
“Ini kan punya dampak. Kemarin kita sudah suarakan penolakan di acara ‘car free day’. Apalagi program Wolbachia ini dari Yayasan (Save the Children) dari Australia. Yang menyangkut nyawa orang banyak harus mengikuti regulasi yang ada di Indonesia. Negara ini berdasarkan hukum. Kami tegas menolak program Wolbachia karena belum ada kajian scientific dan jurnal yang menyatakan hasil yang positif dan dampak jangka panjangnya,” tandas Sudarsana.
Kekhawatiran yang sama juga dilontarkan Prof Richard sekaligus menolak tegas Metode Wolbachia karena Yayasan Save the Children telah melakukan pembohongan publik.
“Tadi kami mengikuti seminar, yang digelar Yayasan Save the Children, dan di dalam surat itu seolah-olah disponsori oleh Pemprov Bali. Yang diundang ada 38 institusi pemerintah. Mulai dari Departemen Kesehatan, Kapolda Bali, Pangdam, Kejaksaan Tinggi, tapi tidak ada satupun pejabat yang datang hanya perwakilannya saja. Dalam seminar tadi mereka (yayasan) menyatakan program ini tidak dibiayai pemerintah, APBN, maupun APBD. Menarik kan? Jadi yang membiayai siapa, yang membiayai adalah Gillespie Family Foundation yang berafiliasi dengan World Mosquito Program, ini program swasta. Total pendanaan untuk seluruh Indonesia sekitar $40 billion, (sekitar Rp400 triliun),” ungkap Prof Richard.
Pihak Yayasan Save the Children menurut Prof Richard telah melakukan pembohongan publik. Mereka menyatakan sudah didukung pemerintah dan sudah melakukan sosialisasi, tapi ia yakini tak seluruhnya benar. Untuk itu ia akan melaporkan hal ini ke kantor polisi.
“Kalau itu bukan program nasional, mengapa seolah-olah ini sudah direstui oleh pemerintah. Menurut saya pemerintah di Bali kena ‘prank’ dan diperalat. Mereka juga mengatakan sudah melakukan sosialisasi ke rumah-rumah penduduk. Saya akan melaporkan ini ke polisi, mereka (Yayasan Save the Children) menyebarkan berita bohong,” tandasnya.
Salah satu upaya penolakan adalah munculnya petisi seperti yang dilakukan oleh Gladiator Bangsa. Mereka mengundang masyarakat yang peduli terhadap masalah kesehatan dan lingkungan di Bali maupun di seluruh dunia untuk menambahkan suara pada petisi tersebut.
Ada beberapa alasan yang dikemukakan. Penyebaran jutaan nyamuk tersebut dinilai berdampak besar terhadap pariwisata. Strategi Program Nyamuk Dunia (World Mosquito Program) untuk terus menerus mengembangkan bakteri Wolbachia ke dalam tubuh nyamuk menyebabkan penduduk Bali dan wisatawan harus siap menerima tambahan ratusan juta gigitan nyamuk. Nyamuk harus mendapatkan pakan darah sebelum dapat menghasilkan telur. Setiap nyamuk betina akan memproduksi 100 telur, tiga kali selama masa hidup dewasanya.
Mereka juga mempertanyakan siapa yang bertanggung jawab atas pelepasan nyamuk di Bali tersebut. Apakah Program Nyamuk Dunia (World Mosquito Program), para peneliti, penyandang dana, produsen telur nyamuk, dan perguruan tinggi yang melakukan penelitian akan bertanggung jawab jika terjadi kesalahan atau program ini memberikan dampak negatif. Belum lagi penyakit dan kerusakan yang ditimbulkan hampir tidak mungkin dilacak.
Selama ini, Demam Berdarah Dengue (DBD) masih menjadi masalah kesehatan yang serius di Indonesia. Data Kemenkes mencatat 131.265 kasus DBD di Indonesia pada tahun 2022, dimana 40%-nya terjadi pada anak usia 0 – 14 tahun. Jumlah kematian sebanyak 1.135 kasus. Di Bali, Dinas Kesehatan Kota Denpasar mencatat 1.305 kasus DBD sejak bulan Januari – September 2023. Angka ini sudah melebihi data tahun 2022 .
“Angka kasus ini bukan hanya sekedar jumlah, tetapi ada hak kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak yang dipertaruhkan. Metode Wolbachia ini menjadi inovasi baru untuk mencegah kasus DBD terus bertambah. Anak dan masyarakat harus dilindungi dari DBD,” beber Erwin Simangunsong/Chief of Partnership, Strategy Program and Operation – Save the Children Indonesia
Metode Wolbachia dikatakan merupakan terobosan dari organisasi World Mosquito Program (WMP) yang telah diimplementasikan di 14 negara sejak tahun 2011, termasuk Indonesia. Wolbachia adalah bakteri alami yang terdapat di 50% serangga yang ada di bumi dan dinyatakan aman untuk manusia, hewan dan lingkungan. Wolbachia mampu menghambat replikasi virus dengue di dalam tubuh nyamuk Aedes aegypti sehingga tidak menularkan penyakit dengue, Zika dan chikungunya. Di Indonesia Wolbachia WMP pertama kali dilakukan di Yogyakarta. Hasilnya metode Wolbachia ini terbukti berhasil menurunkan 77% kasus DBD dan 86% rawat inap di rumah sakit. (hd)