Kejagung Tidak Bisa PK Uang Pengganti Kasus Bos PT Duta Palma

Loading

JAKARTA (Independensi.com) – Sejak Mahkamah Konstitusi (MK) mencabut kewenangan mengajukan Peninjauan Kembali (PK) membuat Kejaksaan Agung tidak bisa lagi mengajukan PK putusan Mahkamah Agung, termasuk dalam kasus korupsi dan TPPU bos PT Duta Palma Group Surya Darmadi alias Apeng.

“Masalahnya dalam kasus Duta Palma yang  merugikan perekonomian negara puluhan triliun, hanya dihukum Mahkamah Agung untuk membayar uang pengganti sebesar Rp2 triliun,” ungkap Kapuspenkum Kejaksaan Agung Ketut Sumedana ketika menerima audiensi Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (KOMS) di Kejaksaan Agung, Jakarta Rabu (07/11/2023).

Ketut pun menyebutkan putusan tersebut sangat merugikan korban yakni masyarakat dan pemerintah. “Apalagi setelah negara mewakili masyarakat yang menjadi korban terdampak tidak dapat mengajukan upaya hukum PK atas putusan tersebut.”

Dia mengatakan terhadap isu tersebut menarik untuk dikaji, sehingga KOMS yang mewakili korban terdampak kerusakan lingkungan bagaimana dapat mengajukan upaya hukum PK.

Meskipun demikian, tutur dia, Kejaksaan diberikan kewenangan yang lebih luas dalam melakukan penyidikan terkait Sumber Daya Alam yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup.

“Sehingga proses persidangan ke depan akan dilaksanakan secara simultan dan bersamaan,” ujar mantan Aspidsus Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah ini.

Sementara itu KOMS dipimpin Andi Muttaqien memberikan apresiasi kepada Kejaksaan Agung yang menjadi pelopor dan secara progresif melakukan tindakan terhadap tindak pidana korupsi di sektor perkebunan sawit seperti kasus PT Duta Palma Group.

Selain itu dia memaparkan anotasi legal putusan pengadilan tindak pidana korupsi pemberian fasilitas persetujuan ekspor CPO dan produk turunannya, yang telah merusak lingkungan dan kawasan hutan.

Sehingga, katanya, negara tidak hanya dirugikan akibat perbuatan pidana, tetapi juga berdampak pada kerusakan lingkungan dan hutan dengan nilai kerugian yang tidak terhingga.

Dalam audiensi itu dibicarakan juga isu moratorium pemberian perizinan pengelolaan lahan kelapa sawit di daerah-daerah agar dilakukan monitoring dan evaluasi. Selain perlu dilakukan perbaikan tata kelola pengelolaan organisasi kelapa sawit yang tidak berdampak bagi lingkungan hidup.

Isu lain dibahas yakni kajian terhadap restitusi tindak pidana korupsi di sektor  terkait kerusakan lingkungan hidup agar ke depan perlu dicantumkan hukuman tambahan terkait dengan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.

“Baik kepada masyarakat sekitar maupun kepada negara yang harus menanggung, sehingga perlu dikaji adanya hukuman restitusi bagi pelaku tindak pidana,” tutur Ketut.

Dia menambahkan kajian-kajian dan anotasi legal yang telah diberikan KOMS akan dijadikan masukan ke depannya yang merupakan bagian dari perbaikan dan evaluasi dalam penegakan hukum.

Adapun KOMS terdiri dari organisasi Satya Bumi, WALHI, Greenpeace Indonesia, Traction Energy Asia, Sawit Watch, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Trend Asia, AURIGA Nusantara, dan Indonesia for Global Justice.(muj)