Yurisprudensi Putusan MA No 42 K/Kr/1965 Layak Dijadikan Pedoman Kasus Prof Antara

Loading

Denpasar (Independensi.com) – Penerapan atas yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung No 42 K/Kr/1965 sejatinya sudah layak dan tepat apabila juga dipakai sebagai bahan pertimbangan majelis Hakim Pengadilan Tipikor Denpasar dalam memutus kasus dugaan korupsi dana Sumbangan Pengembangan Institusi (SPI) pada penerimaan mahasiswa Baru Jalur Mandiri Universitas Udayana (Unud).

Hal tersebut dikemukakan oleh salah satu penasehat hukum (PH) mantan rektor Unud, Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara, M.Eng. IPU, Agus Saputra, SH. MH. dalam komunikasi WhatsAppnya, Selasa (19/2/2024).

Menurut Agus, dugaan korupsi dana SPI pada penerimaan mahasiswa Baru Jalur Mandiri Unud memang tidaklah terbukti dalam fakta persidangan ini.

“Pertama, apakah ada faktor yang berdampak negara dirugikan? Sebab Tidak ada kerugian negara. Dua, apakah kepentingan umum tetap dapat dilayani?, dalam hal ini pelayanan (UNUD, red) tersebut berjalan dengan normal? Artinya sampai sekarang kampus UNUD masih berjalan dengan normal. Tidak ada gejolak, tidak ada mahasiswa yang dikeluarkan, bahkan administrasi UNUD tetap berjalan lancar,”. Ketiga apakah Terdakwa memperoleh keuntungan, dalam hal ini tidak satu senpun uang mengalir ke kantong atau rekening Terdakwa,” terang Agus.

Kasus dugaan korupsi dana SPI ini hampir sama nuansanya dengan kasus yang menimpa Pakar Hukum Pidana Universitas Padjajaran (Unpad) Romli Atmasasmita saat menerapkan Sisminbakum (Sistem Administrasi Badan Hukum) pada Dirjen AHU Kemenhumkam RI pada tahun 2010 silam.

Sejatinya, Yurisprudensi bisa diikuti sebagai pedoman dalam memutus perkara, namun statusnya tidak berlaku mengikat seperti doktrin preseden. Yurisprudensi tidak selalu terbentuk dari putusan-putusan Mahkamah Agung. Yurisprudensi bisa lahir dari putusan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding.

Pihaknya berharap, Kliennya tidak dituntut oleh sesuatu yang tidak pernah dilakukan bahkan difitnah secara keji dan dipaksa masuk bui sampai kehilangan jabatan dan dituntut hukuman selama 6 Tahun dan rencananya diputus pada Kamis 22 Februari 2024 mendatang.

Tim PH yakin nantinya putusan hakim hendaknya menjadi suatu putusan yang dilandasi atas pikiran yang objektif, jernih dan melihat ke depan.

“Jika melihat fakta-fakta persidangan, semestinya Terdakwa harus bebas dari segala dakwaan, kami sangat mendorong hati nurani Majelis Hakim untuk itu,” pungkas Agus. (hd)