BALINALE 2024 Dukung Pertumbuhan Ekonomi dan Kebudayaan Bali

Loading

Denpasar (Independensi.com) – Kesuksesan film Eat, Pray and Love yang dibintangi aktris Julia Roberts yang menggema keseluruh dunia memberikan dampak citra yang sangat besar dari sisi perekonomian dan kepariwisataan Bali. Film yang kurang lebih bercerita mengemas aktivitas budaya di Kabupaten Ubud tersebut, terbukti hari ini Ubud malah bertambah menjadi pusat aktivitas Yoga di seluruh dunia yang juga berdampak pada penyerapan ribuan tenaga kerja di kawasan tersebut. Maka sejatinya event Bali Internasional Film Festival (BALINALE) dampak dan effort-nya sejatinya diaplikasikan terhadap penyerapan dan pemberdayaan sektor ekonomi kreatif yang tetap mengusung konsep kearifan lokal.

Hal tersebut dikemukakan oleh Praktisi kepariwisataan nasional yang juga Wakil Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Bali Bidang Pariwisata dan Investasi Agus Maha Usadha disela-sela diskusi dan Seminar interaktif yang digelar Bali Film Forum (BFC) dengan tema “BALINALE, Dampak dan Implikasinya Terhadap Kemajuan Perekonomian dan Kepariwisataan Bali” di Sanur Intercontinental Hotel Denpasar, Minggu (2/6/2024).

Diskusi dan Seminar tersebut dimoderatori oleh Tantowi Yahya, Ketua Yayasan Upaya Indonesia Damai – Kura Kura Bali dan dihadiri oleh Agus Maha Usadha – VP Tourism and Investment, Kamar Dagang Indonesia (KADIN) Bali, Ahmad Mahendra, Direktur – Film, Musik and Media Baru, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi dan M. Amin Abdullah Direktur – Musik, Film and Animasi, Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Direktur Program Keterlibatan Internasional di Australian Film Institute (AFI AACTA) Sam Buckland, Sutradara Film, Reza Servia – Produser, Starvision Plus, Felix Tsang – Manajer Penjualan & Akuisisi di Golden Scene Co Ltd, Direktur di Golden Scene Cinema dan Blacklight Artist Management, Sakti Parantean – Managing Director -Fremantle Indonesia, Robert Ronny – CEO of Paragon Pictures, Stanley Kwan – Sutradara dan Produser, Sasha Chuk.

“Namun tidaklah elok jika membandingkan BALINALE dengan Festival Film Cannes di Prancis sebab festival tersebut sudah berlangsung cukup lama. “Sejatinya Balinale harus memiliki ciri khas tersendiri jika mengacu pada nilai competiveness dan keindahan alam Bali yang memukau dunia bahkan juga memiliki talenta insan-insan praktisi perfilman dan sinematografi yang cukup mumpuni,” tambahnya.

Pihaknya berharap semoga dengan beralihnya masa kepemerintahan baru di Bali atau siapapun yang terpilih memimpin nantinya terkait bagaimana kita mengelola event BALINALE menjadi sebuah ‘additional Investment’ untuk menggerakkan sektor ekonomi dan pariwisata Bali.

“Kedepan, justru menjadi tantangannya adalah bahwa pihaknya tidak membiarkan insan film baik lokal maupun dunia nantinya malah ‘kehilangan paradise’ nya seperti dialami sewaktu penggarapan film ‘Eat Pray Eat’ yang malah pengambilan lokasi shootingnya di Australia karena kendala teknis pada saat itu,” tambah Agus yang juga Ketua Nawacita Pariwisata Indonesia (NCPI) ini.

Festival ini didirikan pada 2007 oleh Bali Film Center (BFC), yang menyediakan layanan profesional dan dukungan produksi film dan televisi di Indonesia. Dan juga dikenal secara internasional karena keragaman program dan kekuatan program film dalam mendorong pertumbuhan budaya dan nilai-nilai komersial di Indonesia. BALINALE berlangsung di Bali dari 1-7 Juni 2024.

Diskusi dan seminar yang digelar Bali Film Forum tersebut juga membicarakan tentang industri perfilman yang beragam dalam satu panel bersama pembicara terkemuka, termasuk perwakilan pemerintah sebagai pengambil kebijakan, para investor dan para filantropis yang ingin berinvestasi di industri tersebut, juga menggali beragam potensi industri perfilman, mengkaji dampak ekonominya, tren terkini di industri perfilman Asia, seluk-beluk akuisisi dan distribusi konten asli. (hd)