Jelang Pilkada, Hoaks Politik Serang Effendi Edo Mulai Bermunculan

Loading

Oleh: Sutan Aji Nugraha**

Penulis adalah Pengamat Politik di Kota Cirebon

CIREBON (IndependensI.com) – Sjahrir dalam dua suratnya dari penjara Cipinang dan pembuangan di Boven Digoel mengutip sajak penyair Jerman, Friedrich Schiller: und setzt ihr nicht das Leben ein, nie wird euch das Leben gewonnen sein. Terjemahannya: hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan. Sjahrir mengutipnya dari luar kepala, menunjukkan betapa pentingnya kalimat ini baginya.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), politik adalah proses pembentukan dan pembagian kekuasaan dalam masyarakat yang melibatkan pembuatan keputusan secara konstitusional maupun non-konstitusional. Konsep ini mungkin sulit dipahami remaja karena dianggap membosankan.

Sedangkan hoaks, menurut KBBI, adalah informasi bohong. Pelaku penyebaran hoaks sering mengumpulkan berita yang kemudian disebar di berbagai milis.

Hoaks pertama kali dikenal di Inggris abad ke-18 dengan diterbitkannya buku “A Glossary: Or, Collection of Words, Phrases, Names and Allusions to Customs” oleh Robert Nares tahun 1822. Nares menulis bahwa hoaks berasal dari kata “hocus” dalam “hocus pocus”, mantra yang digunakan para penyihir dan kemudian oleh pesulap dalam trik mereka.

Nares juga menyatakan bahwa mantra tersebut adalah asal dari kata hoaks, yang merupakan kabar bohong untuk melucu. Seiring waktu, hoaks berkembang dari lelucon menjadi candaan serius. Di Indonesia, istilah hoaks sudah dikenal sejak zaman kolonial sebagai “surat kaleng”, surat anonim yang sering berisi informasi penting atau berita bohong.

Di Cirebon, hoaks politik seperti “Effendi Edo masih sebagai PNS saat mendaftar pilkada”, “Effendi Edo masih memiliki hutang dari Pilkada 2018”, hingga “Effendi Edo dan Heri Hermawan tidak akan diberi rekomendasi oleh Partai Golkar” telah tersebar. Hoaks politik ini menunjukkan rendahnya budaya literasi di Cirebon, apalagi jika disebarkan oleh birokrat.

Hak Asasi Manusia (HAM) dan hak warga negara adalah dua hal yang berbeda. HAM melekat pada setiap manusia dan harus dilindungi negara, sedangkan hak warga negara, khususnya Aparatur Sipil Negara (ASN), harus diperjuangkan dalam administrasi birokrasi seperti rotasi, mutasi, dan promosi.

Seorang birokrat Kota Cirebon menyatakan bahwa Effendi Edo berkomitmen menjalankan birokrasi sesuai undang-undang dan peraturan. Effendi Edo adalah bagian dari sistem birokrasi yang pernah memimpin.

Kita perlu membedakan antara pemimpin dan penguasa. Pemimpin mewakili rakyatnya dan melindungi HAM serta hak warga negara, sementara penguasa lebih mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok.

Banyak kepala daerah dari kalangan birokrat, seperti Effendi Edo, berhasil memimpin karena memiliki kemampuan dan pengalaman dalam kepemimpinan serta pengelolaan anggaran kesejahteraan. Menolak ini adalah langkah naif.

Jika sajak Schiller diparafrasekan, maka bagi Sjahrir politik adalah mempertaruhkan hidup untuk memenangkan hidup itu sendiri.

Tulisan-tulisan Sutan Sjahrir menunjukkan bahwa politik bukan hanya soal merebut dan membagi kekuasaan seperti formula Bung Karno, atau seperti perdagangan yang membeli dan menjual dengan mahal. Politik memiliki makna yang lebih dalam.

Dalam buku “Bunga Rampai Seorang Ideolog” jilid kedua, fenomena politik dianalisis dengan kutipan dari Begawan Ekonomi Sumitro Djojohadikusumo: “Smile in the face of adversity, be contemptuous of danger, undaunted in defeat and magnanimous in victory” (Tersenyum dalam menghadapi kesulitan, meremehkan bahaya, tak gentar dalam kekalahan, dan murah hati dalam kemenangan). Lawan Hoaks dan Salam Persatuan Kesatuan. ()