JAKARTA (Independensi.com) – Direktur Eksekutif Persatuan Perusahaan Air minum Seluruh Indonesia (PERPAMSI) Dr.Subektimengatakan Indonesia menduduki peringkat paling rendah di ASEAN dalam capaian layanan air perpipaan, karena berdasarkan data BPS hanya sebesar 19,76 persen di bawah negara tetangga Kamboja sebesar 25 persen.
“Saya jadi ikut malu Indonesia paling rendah di tingkat ASEAN dalam capaian layanan air perpipaan, sedangkan Singapura telah mencapai 100 persen,” ujar Dr.Subekti kepada wartawan di Jakarta, Rabu siang (18/9/2024).
Dalam jumpa pers bertemakan ” Ironi Kebijakan Sektor Air Minum dan Sanitasi” yang dihadiri oleh jajaran pengurus PERPAMSI antara lain: Andi Wijaya Adani, Wakabid Standarisasi dan Sertifikasi Produk SPAM PERPAMSI, Arief Wisnu Cahyono ,Wakil Ketua Umum PERPAMSI, Rino Indira Agustiawan Sekretaris Umum PERPAMSI, dan Agus Subali Bendahara PERPAMSI.
“Sementara untuk akses sanitasi hingga tahun 2022 lalu baru mencapai 10,16 persen dari target 15 persen di tahun 2024 yang menempatkan Indonesia pada posisi terendah di negara ASEAN,” tambah Subekti.
Menurutnya air minum (air bersih) merupakan kebutuhan dasar yang sangat vital bagi kehidupan manusia.Akses yang mudah terhadap air minum yang layak menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi kesehatan, kesejahteraan, dan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
“Sayangnya hingga kini masih banyak.masyarakat Indonesia yang belum menikmati akses air minum perpipaan yang layak dan aman,” jelas Subekti.
Untuk mengatasi masalah ini pada Januari 2024 pemerintah telah meluncurkan program percepatan sambungan air minum perpipaan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No.1 tahun 2024 tentang percepatan penyediaan air minum dan layanan pengelolaan air limbah domestik.
“Melalui Inpres ini Presiden RI menginstruksikan program percepatan akses air minum perkotaan sebanyak 3 juta sambungan rumah atau SR,” lanjut Subekti.
Inpres percepatan penyediaan air minum yang menyasar masyarakat perkotaan diarahkan untuk memanfaatkan kapasitas produksi sistem penyediaan air minum (SPAM) yang belum terpakai atau idle capacity di daerah sebesar total 25.500 liter per detik.
Awalnya program ini menjadi kabar baik di tengah seretnya pertumbuhan akses air minum perpipaan bagi masyarakat.Terlebih bila mengacu pada isu dan permasalahan sektor air minum yang masih berkutat pada cakupan pelayanan yang rendah,namun di sisi lain masih tersedia idle capacity yang masih tinggi.
Tentu menjadi paradoks ketika pemerintah menerbitkan regulasi yang berpotensi mengancam pemenuhan hak rakyat atas air melalui akses air minum perpipaan. Hal inilah yang dirasakan BUMD AM ketika pemerintah menerbitkan PP Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko.
Dalam lampiran II.8.B39 menyebutkan, perpanjangan Surat Izin Pengambilan dan Pemanfaatan Air (SIPPA) yang menjadi Izin Berusaha dan Persetujuan Penggunaan SDA, khususnya sumber mata air, volumenya berkurang menjadi hanya 20 persen dibandingkan izin sebelumnya yang 100 persen.
Padahal, dari kapasitas terpasang sebesar 223.430 liter per detik atau sebanyak 16 juta pelanggan di seluruh Indonesia, menurut Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2022, sebanyak 12,87 persen atau 28.755 liter per detik sumber airnya adalah mata air yang menjangkau sekitar 2 juta pelanggan.
Fakta di lapangan, dari sekitar 136 BUMD AM tahun 2019 yang sumber airnya dari mata air, hampir semuanya terpaksa melanggar ketentuan PP 5/2021. Hal ini dilakukan karena jauh sebelum berlakunya PP 5/2021, mereka sudah memanfaatkan kapasitas tersebut. Apabila kapasitas yang dimanfaatkan dari sumber mata air dikurangi menjadi 20 persen, tentunya akan timbul permasalahan sosial dan menghambat upaya pemerintah dalam memenuhi hak rakyat atas air.
Dengan adanya PP 5/2021, tiba-tiba SPAM Umbulan harus berubah dan harus turun kemampuannya untuk menyediakan air menjadi hanya 800 lpd. Perlakuan seperti itu tentunya membuat investor akan ragu berinvestasi karena tidak adanya kepastian hukum. Lalu, ada dampak hukum terhadap BUMD AM terkait penerapan PP 5/2021 dan menjadi preseden yang berdampak negatif karena akan bisa mengarah ke kriminalisasi. Malah, terkait dengan ancaman dari sisi penegakan hukum, sejumlah direksi BUMD AM disinyalir sudah dimintai keterangan oleh APH terkait persoalan ini.
Belum lagi ketentuan mengenai pembatasan pemanfaatan mata air maksimal 20 persen diterapkan tanpa adanya peralihan tentang masa transisi. Hal ini menyebabkan penurunan secara signifikan kapasitas produksi BUMD AM tanpa adanya batas waktu untuk mencari dan mengurus perizinan sumber air alternatif/pengganti yang tidak mudah untuk mencari alternatif kekurangannya.(was)