Oleh: Bachrul Hakim
Bagian 1 dari 3 tulisan
Garuda adalah nama yang biasa kita pakai untuk menyebut nama maskapai penerbangan nasional kita, PT GARUDA Indonesia.
Walau berstatus sebagai BUMN, yang berarti milik Negara, bagi masyarakat umum Garuda adalah milik mereka.
Berbeda dengan BUMN-BUMN yang lain, nama Garuda mendapat tempat yang khusus di hati masyarakat.
Garuda dicintai oleh rakyat Indonesia karena ia lahir di tengah euforia bangkitnya Negara Indonesia yang berdaulat, pasca Proklamasi tahun 1945.
Dengan mulai berkiprahnya Negara kita di kancah dunia, Garuda pun mengikutinya dengan kepak sayapnya memasuki ruang angkasa internasional, sebagai Pembawa Bendera Negara Indonesia, atau yang biasa disebut dengan istilah Flag Carrier.
Kalau Indonesia sebagai Negara bisa hadir di forum internasional, setara dengan Negara-Negara lain, maka Garuda-pun mampu bersaing dengan maskapai-maskapai negara lain, di bidang usaha yang sama. Hal inilah yang membuat Garuda tidak saja dicintai tapi juga membanggakan.
Namun dengan berjalannya waktu, keadaan pun berubah. Secara emosional, masyarakat awam tetap mencintai Garuda. Akan tetapi akal sehat mereka bertanya-tanya apa gerangan yang masih bisa dibanggakan dari Garuda, dalam kondisinya yang seperti sekarang ini?
Kita semua tahu bahwa Garuda adalah maskapai penerbangan niaga yang tertua di negeri ini. Sampai dengan tahun 2000-an, Garuda masih berjaya sebagai maskapai domestik nomor satu. Apakah sampai saat ini Garuda masih menduduki posisi tersebut?
Menurut data-data yang dapat kami himpun dari berbagai sumber, sudah lebih dari satu dasawarsa Garuda tidak lagi menjadi airline nomor wahid di Negeri ini. Dalam hal jumlah pesawat yang di-operasikan, jumlah penumpang yang diangkut setiap tahun, maupun pangsa pasar yang diraih di pasar domestik, Garuda sudah tidak lagi menduduki tingkat paling atas.
Kita ingat bahwa pada tahun 2000 itu, Pemerintah telah melonggarkan syarat-syarat untuk mendirikan airline di Indonesia, yang sebelumnya sangat ketat. Hal ini disambut hangat oleh pihak swasta dan hasilnya adalah bahwa langit nusantara langsung berubah menjadi hingar bingar dengan kehadiran airline-airline baru.
Perubahan-perubahan ini langsung berdampak pada iklim persaingan usaha, baik diantara sesama airline baru, maupun antara airline baru dengan airline lama. Hal ini pulalah yang akhirnya malah men-degradasi posisi Garuda, dari yang sebelumnya selalu di kelas atas, turun menjadi airline kelas menengah.
Yang lebih tragis, dalam hal jumlah penumpang yang diangkut dalam setahun dan raihan pangsa pasar dalam negeri, Garuda menduduki ranking yang jauh dibawah maskapai Citilink, anak Perusahaannya sendiri.
Dalam hal kinerja usaha di dalam negeri, Garuda meraih ranking nomor 5, dengan jumlah penumpang yang diangkut per tahun sebesar 6,3 juta orang, atau pangsa pasar sebesar 10%. Sementara maskapai Citilink berada di urutan nomor 2, dengan jumlah pax per tahun yang terangkut sebanyak 11,2 juta orang, atau pangsa pasar domestik sebesar 23%. Inipun dengan catatan tambahan bahwa Citilink hanya memiliki 62 buah pesawat terbang, sementara Garuda beroperasi dengan 87 buah pesawat.
Lalu, pertanyaan yang timbul adalah, apa yang salah dengan Garuda? Yang jelas kondisi Garuda sekarang memang tidak dalam keadaan baik-baik saja. Untuk mengetahui permasalahan apa-apa saja yang kini sedang dihadapi oleh Garuda, kita akan lanjutkan pembahasan tentang hal ini secara lebih rinci dalam lanjutan artikel berikutnya. (*)
Jakarta, 12 November 2024
Penulis adalah Pengamat Kebijakan Publik, tinggal di Jakarta.
Yth : Bp.BACHRUL HAKIM
Terima kasih atas artikel yg telah Bapak Tulis…
Saya pernah menjadi bagian dari GA sejak tahun 1977 hingga tahun 2001, sebagai awak kabin.
Meski ketika masih bekerja di GApun saya juga merasakan seperti yg telah Bapak Tulis…
Tapi kini setelah menjadi pensiunan, bila membaca artikel tersebut jadi bertambah prihatin dan sedih…
Salam hormat,
Maya Rochayati