Pesawat Garuda

Apa Yang Salah dengan PT Garuda Indonesia? (bagian 3-habis)

Loading

Oleh: Bachrul Hakim

Dari analisis yang sudah kita bahas sejak awal dari artikel ini, sampailah kita pada kesimpulan yang cukup mengagetkan, bahwa sampai dengan saat ini PT Garuda Indonesia masih menjalankan Program Kerja yang lama.

Bachrul Hakim

Program Kerja lama, yang dulu disusun sebagai bagian dari Visi dan Strategi lama, yang mestinya sudah tidak dipakai lagi karena Visi dan Strategi tersebut sudah gagal total berantakan sejak akhir 2013 yang lalu. Atau sekitar duabelas tahun yang lampau.

Masih segar dalam ingatan kita bahwa pada tahun 2009, Garuda membuat Visi untuk menjadikan Garuda sebagai Airline Indonesia yang ber-kelas Dunia. Strategi yang dipakai untuk mencapai Visi tersebut adalah dengan membangun armada pesawat terbang yang mewah, mahal, dari berbagai merek dan tipe, dalam jumlah yang banyak.

Untuk itu, Garuda menambah jumlah pesawatnya dari 61 buah menjadi 116 pesawat. Merek dan tipe pesawat yang dipesan waktu itu adalah, Boeing B737-800NG, B737 Max-8, B777-300ER, Airbus A320 (untuk Citilink), A330-200, A330-300, A330-900, ATR72-600 dan Bombardier CRJ-1000. Bayangkan, untuk beroperasi di 2 (dua) jenis rute yaitu rute jarak pendek/menengah dan rute jarak jauh, Garuda memakai 9 (sembilan) jenis pesawat.

Pada tahun 1998 Garuda membeli pesawat mahal, Airbus A330-300 seharga USD 214 juta/buah, padahal harga di pasaran cuma USD 130 juta/pesawat. Pada tahun 2009 Garuda juga me-lease pesawat mahal Boeing B777-300ER seharga USD 1.6 juta/bulan walaupun harga di pasar cuma USD 880 ribu/bulan.

Pesawat paling bergengsi di dunia saat itu, Boeing B777-300ER khusus dipesan untuk sebuah produk prestisius, untuk menerbangi rute Jakarta-London non-stop pulang-pergi. Produk mewah ini sengaja di-design sesuai target pasar yang disasar yaitu konsumen kelas atas.

Akan tetapi bak kata pepatah: untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Pesawat-pesawat mahal yang dipesan dalam jumlah besar ini mulai berdatangan diawal 2013. Sebagian langsung beroperasi tapi kosong tanpa penumpang, sebagian lagi menunggu di hanggar tidak tahu mau kemana terbang? Sedangkan sisanya masih menunggu jadwal delivery yang harus sudah selesai pada 2014.

Drama berakhir pada tahun itu juga dengan kerugian sebesar USD 372 juta, dan sejak itu pula kita tidak mendengar lagi status dari Visi dan Strategi 2009-2014 ini. Tapi anehnya, semua program-program lainnya berjalan terus.

Pesawat-pesawat mahal, berbadan besar dan kecil, jarak dekat dan jarak jauh tetap beroperasi, tanpa pola yang jelas, seperti biasa-biasa saja.

Menurut pendapat saya, keadaan seperti ini tidak bisa dibiarkan terus. Apalagi tidak ada yang susah untuk mengkoreksi kondisi Garuda ini. Orang Barat bilang: “It doesn’t take a rocket science to do it”.

Kegagalan-kegagalan di masa lampau adalah pelajaran mahal yang bisa diambil hikmahnya. Kuncinya adalah ikuti saja kodrat bisnis transportasi yaitu: 1. “Ship Follow the Trade”, dimana tak ada “trade”, jangan operasikan “ship” di sana, 2. “The Right Planes on the Right Routes”, jangan pakai pesawat badan-besar di rute tidak padat dan jangan terbangi rute pendek dengan pesawat jarak jauh.

Akhirul kalam, mengingat bahwa secara legal, status keuangan Garuda adalah Negative Equity, dimana nilai Hutangnya jauh melebihi nilai Asetnya, maka Visi, Strategi dan program-program yang baru harus segera dibuat.

Lebih cepat lebih baik. Harap diingat: “wrong decision is better than no decision”. Seandainya orang tahu bahwa sejak 2013, program-program kerja Garuda berjalan tanpa visi baru dan strategi baru yang jelas, apa kata dunia?

Jakarta, 17 Februari 2025

Bachrul Hakim
Pengamat kebijakan Publik tinggal di Jakarta

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *