Abrasi Pantai Kusamba Musnahkan Ratusan Rumah Justru Dijadikan Objek Wisata

Loading

Klungkung (Independensi.com) – Ombak ganas terus melahap garis pantai Mongalan di Desa Kusamba, Klungkung, Bali dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya melenyapkan puluhan rumah, tetapi juga dan mengikis warisan budaya tradisi pembuatan garam tradisional yang telah berlangsung turun-temurun. Namun ambruknya rumah-rumah diterjang ombak justru kerap dijadikan tontonan objek wisata setiap sore bahkan saat weekend.

“Kami sudah seperti anak tiri. Setiap kali ada abrasi, pemerintah hanya datang, mencatat, lalu pergi. Tidak ada solusi nyata,” kata Brewok (72) seorang petani garam paruh baya yang rumahnya kini tinggal puing.

Dirinya saat ini terpaksa menumpang hidup di garasi tetangga. Pemerintah sempat menawarkan relokasi, tetapi lokasinya jauh dari pantai. “Saya petani garam. Kalau jauh dari laut, bagaimana bisa bekerja? Pemerintah seolah tidak paham kebutuhan kami,” katanya dengan nada getir.

Sejak 2023, abrasi di Kusamba sudah menjadi perhatian media. Beberapa laporan, menyoroti lambannya penanganan pemerintah. Kala itu, Dinas PUPR Klungkung berjanji akan membangun pemecah ombak (breakwater) dan merehabilitasi pantai. Namun, hingga Mei 2025, yang terlihat hanya tumpukan geobag kantong pasir yang kini sudah hilang tergerus ombak.

“Geobag itu hanya tempelan. Setelah dipasang, tidak ada evaluasi. Sekarang sudah jebol, dan abrasi makin parah,” keluhnya.

Sementara itu, laju abrasi kian cepat, dalam setahun terakhir, garis pantai Mongalan telah mundur hingga 15 meter. Jika tidak segera ditangani, seluruh permukiman dan lahan garam bisa hilang dalam 5 tahun mendatang.

Kusamba bukan sekadar desa nelayan. Ini adalah pusat budaya pembuatan garam tradisional Bali, warisan leluhur yang terkenal di manca negara, tapi kini terancam punah. “Jika abrasi terus dibiarkan, apa yang akan kami wariskan ke anak cucu? Pemerintah harus ingat, ini bukan hanya soal tanah, tapi juga sejarah,” tegas seorang sesepuh desa.

Warga meminta solusi permanen bukan sekadar bantuan sembako atau geobag yang bersifat sementara. Mereka mendesak pembangunan pemecah ombak, rehabilitasi mangrove, dan program perlindungan pantai yang berkelanjutan.

“Kami seperti dilupakan. Padahal, setiap malam kami tidur dengan ketakutan, kapan ombak berikutnya datang,” ujar Ni Ketut Seringkik (62) sambil memandang laut yang semakin mendekat.

Ini bukan sekadar bencana alam ini bukti kegagalan negara melindungi rakyatnya. Jika pemerintah terus abai, bukan hanya tanah yang hilang, tetapi juga kepercayaan warga pada pemimpin mereka.

“Kami sudah berteriak, tapi apakah ada yang mendengar?” bahkan sudah melapor berkali-kali, tapi jawabannya selalu: masih proses,” tambahnya.

Pada 2024, dalam kampanye Pilkada, Bupati Klungkung sempat berjanji akan mengalokasikan dana darurat untuk penanganan abrasi. Namun, hingga kini, warga belum melihat realisasinya.

Menindak lanjuti hal ini, Wakil Bupati Klungkung, Tjokorda Gde Surya Putra, saat dikonfirmasi awak media, hanya menjawab singkat: matur suksma (terima kasih-red) melalui pesan WA.

Semoga hal ini segera mendapat perhatian serius dan tindakan nyata dari pihak berwenang sebab terlihat Pemerintah abaikan terhadap bencana alam di pantai Mongalan Klungkung Bali ini atau memang sengaja luput dari perencanaan anggaran?. (hd)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *