OLEH : I MADE SOMYA PUTRA, SH.MH.
Dewasa ini segala sesuatu tentang desa adat kemudian dituliskan pada aturan atau norma hukum yang bersifat mengikat dan memaksa. Segala sesuatu yang kemudian diatur secara tertulis, dikenal dengan teori HUKUM POSITIVISTIK, pembentukan aturan tertulis yang harus diikuti. Akibatnya posisi desa adat mulai mengalami paradigma yang berbeda sebagai subjek hukum dimana nama beberapa Desa Adat ternyata terpampang sebagai tergugat ataupun penggugat di beberapa pengadilan negeri yang ada di Bali. Situasi lain ternyata tidak sedikit juga Desa Adat sebagai pihak dalam wicara atau persengketaan entah di internal Desa adatnya sendiri antar desa adat maupun desa adat melawan Majelis Desa Adat.
Dalam telaah hukum beberapa persoalan hingga akhirnya melibatkan desa adat dahulu desa pakraman ternyata lahir dari pemenuhan syarat-syarat yang tercantum di peraturan perundang-undangan khususnya dalam desa adat desa adat sendiri berusaha untuk menyesuaikan diri dalam mengurus rumah tangganya terhadap beberapa peraturan perundangan yang akhirnya justru menyebabkan konflik serta menjadi pihak yang bersengketa.
Ketika adanya Perda Nomor 3 tahun 2001 tentang desa pakraman sebagaimana diubah dengan Perda Nomor 3 Tahun 2003 adanya desa adat harus memenuhi beberapa syarat yaitu adanya Kahyangan Tiga, Wilayah dan kepengurusan jika tidak memenuhi syarat tersebut belum bisa dicatatkan sebagai Desa Pakraman yang layak untuk dibantu oleh pemerintah. Bahkan sempat ada polemik bubarkan Desa Pakraman ketika tidak sesuai dengan Pemerintah.
Untuk memenuhi Perda Desa Pakraman dan syarat pemerintah pada saat itu, terjadi perebutan Pura Kahyangan Tiga, sebab bisa saja 1 (satu) Pura Dalem 2 (dua) Desa Adat.
Untuk memenuhi syarat wilayah, konflik yang terjadi adalah perebutan tapal batas yang dulunya dibatasi oleh pangkung tukad, parit namun perkembangannya terhapus.
Disini dapat dilihat, konflik itu terjadi karena adanya aturan hukum yang harus dipenuhi belum lagi adanya motivasi bantuan dana ke desa adat yang wajar dipikirkan pemerintah dalam menjaga pelestarian desa adat. Sehingga peran Majelis Desa Pakraman (MDP) kala itu menjadi penting yang dalam posisinya hanyalah penengah saja ketika terjadi konflik namun Keputusannya ditundukkan dengan Banten secara niskala.
Lembaga MDP ini tiba-tiba terhapuskan ketika lahir Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, yang kemudian tergantikan dengan Majelis Desa Adat (MDA). Dalam perda Desa Adat Di Bali, Desa Adat diatur sedemikian rupa, dari kedudukan dan status, Tugas Dan Wewenang, Awig-Awig, Perarem dan peraturan lainnya, tata pemerintahan, lembaga adat, padruwen dan utsaha, keuangannya, tata hubungan dan pembangunan, pembinaan dan pengawasan, serta pemberdayaan dan pelestariannya. Lalu ada sebuah lembaga dibentuk dalam perda ini yaitu Majelis Desa Adat (MDA).
Mulailah Desa Pakraman diubah namanya menjadi Desa Adat, dan Desa Adat melakukan pembenahan segala lini untuk memenuhi Perda tersebut. Membuat Sabha dan Kertha Desa, Pasukan Krama Istri dan lainnya. Sehingga hubungannya dengan Pemerintah adalah harapan diakui lalu mendapat dana hibah atau bantuan kepada Desa Adat.
Konflik Karena Aturan Tertulis
Dalam perkembangannya, MDA sebagai Pasikian (Perkumpulan) Desa Adat dan sebagai mitra kerja pemerintah sebagaimana Pasal 72 Ayat 2 Perda 4 Tahun 2019 Tentang Desa Adat Di Bali, ternyata mengeluarkan himbauan tidak tentang pembenahan hukum adat saja tetapi juga melakukan himbauan mengikat termasuk kepada ranah yadnya, seperti sipeng ketika covid 19 terjadi, bahkan mengintruksikan pecalang melakukan penyemprotan disinfektan. Perkembangannya juga dirasakan MDA mengkondisikan desa adat membatasi demontrasi, terlibat dalam pro dan kontra sampradaya, dan akhirnya menguras energi masyarakat dalam pro dan kontra tersebut.
Aturan-aturan tertulis tersebut diikuti oleh Desa Adat sebagai bagian penghormatan kepada guru wisesa, dan tentu saja, Dana untuk Desa Adat.
Pengakuan Desa Adat Bukan Atasan/ Bawahan
Lalu, mulailah ada aturan tertulis dari MDA berupa Surat Edaran Majelis Desa Adat (MDA) Provinsi Bali, nomor: 006/SE/MDA-Prov Bali/VII/2020, tanggal 20 Juli 2020 perihal Edaran tentang Proses Ngadegang
Bandesa Adat atau Sebutan Lain dalam Tatanan Kehidupan Era Baru pada masa Pandemi Covid-19, dimana dalam BAB terakhirnya meninsyaratkan jika tidak sesuai dengan Surat Edaran tersebut akan tidak dicatatkan, yang pencatatannya berupa Surat Keputusan (SK) Pengukuhan dari MDA. Pemahamannya jika tidak dicatat oleh MDA maka Desa Adat itu tidak dikukuhkan, secara negara tidak diakui, dan tentu saja Tidak mendapatkan Dana Pemerintah.
Maka kembali Desa Adat berusaha menyesuaikan dengan aturan tertulis. Atas pemahaman aturan tertulis yang terbatas, ada desa tua yang dahulu memakai kubayan membentuk Bendesa, dan sama seperti penyesuaian dengan aturan tertulis ketika adanya perda desa Pakraman, konflik tentang pengadegan Bendesa terjadi, bahkan Desa Adat justru memohon kepada MDA untuk sebuah SK Pengukuhan. Disinilah polemik terjadi lagi, apakah Desa Adat adalah bawahan MDA?
Kapasitas dan Kewenangan Lembaga Majelis Desa Adat di Bali Dalam Perspektif Hukum
Polemik yang berkembang di masyarakat khususnya di Bali terkait posisi desa adat yang seolah menjadi bawahan Ratu MDA (Majelis Desa Adat). Adanya perdebafan baik pro dan kontra terkait kapasitas dan kewenangannya sudah sedemikian luas, haruslah dilihat peraturan perundang-undangannya.
Sejatinya pada Pasal 18 huruf B UUD 1945 telah diamandemen dan berubah menjadi Pasal 18B. Pasal ini menunjukkan bahwa negara Indonesia mengakui dan menghormati keberadaan masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya, serta satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau istimewa. Demikian pula halnya bila mengacu pada UU No 6 Tahun 2014 tentang Desa yaitu undang-undang yang mengatur tentang desa dan desa adat di Indonesia, Dimaknai Pernyataan “Desa adat diakui bukan disahkan pemerintah” menyinggung konsep pengakuan dan pengesahan dalam konteks hukum dan pemerintahan di Indonesia, terutama terkait dengan keberadaan dan pengelolaan desa adat.
Pengakuan Dalam konteks ini, pengakuan berarti pemerintah mengakui keberadaan dan hak-hak desa adat berdasarkan hukum dan peraturan yang berlaku. Pengakuan ini menunjukkan bahwa pemerintah menghormati dan mengakui keberadaan dan otonomi desa adat dalam mengelola wilayah dan sumber daya alamnya.
Sedangkan terkait dengan Pengesahan biasanya berarti proses formal di mana pemerintah memberikan status hukum atau legitimasi kepada suatu entitas atau peraturan. Dalam konteks desa adat, pengesahan mungkin berarti pengakuan formal yang lebih kuat dan mengikat secara hukum.
Kemudian terbitlah Perda Provinsi Bali Nomor 4 Tahun 2019 tentang Desa Adat di Bali yang menggantikan perda-perda sebelumnya.
Dalam Perda tersebut terkait kewenangan Majelis Desa Adat juga tidak ada penjelasan secara implisit maupun ‘letterlijk’ yang menjelaskan bahwa MDA dapat mengesahkan kepengurusan Prajurunya, jelas terkonfirmasi bahwa negara ini sesungguhnya tidaklah tidak memberikan kewenangan dalam hal ‘Mengesahkan’ namun hanyalah berupa ‘Diakui’ semata sepanjang tidak melanggar ketentuan dan Perundangan yang berlaku.
Desa adat di Indonesia merupakan komunitas adat yang memiliki hak ulayat atas tanah dan sumber daya alam di wilayahnya. Mereka memiliki sistem pemerintahan, hukum adat, dan budaya yang unik dan berbeda dari masyarakat lainnya.
Pemahaman terhadap peraturan perundang-undangan, seringkali beda tafsir padahal sudah dijelaskan secara limitatif, yang penerapannya yang menjadi berbeda.
MDA sepertinya memiliki pemahaman tersendiri atas perda tersebut, dan bahkan menyatakan sah dan tidaknya prajuru.
Tapi jelas dalam peraturan perundang-undangan, tidak ada kewenangan baik secara delegasi, retribusi atau mandat untuk mengesahkan atau mengukuhkan sebuah prajuru Desa adat.
Revisi aturan dan evaluasi penerapannya
Tentunya jika terjadi perbedaan tafsir harus dikembalikan kepada pembuat peraturan perundang-undangan nya dalam hal ini adalah DPRD Bali, dilakukan revisi jika ada norma kabur, konflik atau kosong.
Dengan adanya konflik-konflik yang terus berkembang, akibat penerapan hukum tertulis, hendaknya sudah mulai ada evaluasi penerapan hukumnya kasusnya terhadap penerapan yang dilakukan MDA, dengan cara mulat sarira serta kembali kepada semangat Pasikian desa adat. Jangan sampai pasikian menjadi biang konflik dan perpecahan, agar semangat pelestarian dan mengajukan Desa Adat dapat diwujudkan sesuai dengan cita-cita bersama.
Rahayu.