Karangasem (Independensi.com) – Sarana bekal terakhir buat para Pitara yang disucikan menjadi Dewa Pitara menuju alam keabadian dipersembahkan dalam bentuk Ngeliwet.
Intinya, Ngeliwet itu berarti memasak untuk memberikan bekal berharga kepada para Pitara yang akan menuju alam nirwana.
Seperti layaknya di dunia nyata, Ngeliwet itu diartikan persembahan makanan terakhir bagi para Pitara, yang akan naik tingkat menjadi Dewa Pitara.
Demikian disampaikan Pengelingsir, Pengerajeg Karya Baligia Utama 2025, sekaligus Manggala Puri Agung Karangasem, Anak Agung Bagus Parta Wijaya didampingi Prawartaka Karya, Anak Agung Made Kosalia, disela-sela upacara Ngeliwet, Selasa, 22 Juli 2025 tepat pukul 00.00 WITA.
Menariknya, sarana Ngeliwet berbahan utama berupa beras yang nanti dijadikan bubur didalamnya mengandung makna spiritual.
“Saat itu, beras dibersihkan dan ditumbuk, masing-masing sebanyak 11 kali,” kata Parta Wijaya.
Menurutnya, pada waktu mengaduk beras itu bersarana benang dan uang kepeng bolong. Benang mengandung makna melindungi areal disekitar Piyadnyan, agar tidak ada gangguan. Sementara, uang kepeng bolong bermakna kemakmuran.
“Jadi, didalam pengadukan ini ditambah simbol benang dan uang kepeng bolong untuk menjaga keselamatan dan menjaga dari gangguan-gangguan dari hal-hal yang tidak diinginkan,” paparnya.
Didalam bubur itu, lanjutnya tercampur sarana empehan lembu putih, yang sebelumnya ikut serta dalam upacara Mepurwa Daksina.
“Empehan itu artinya air susu yang diambil dari lembu putih itu dicampur didalamnya, begitu pula ada daging warak, salah satunya itu diaduk didalam gendar itu bàgian dari bahan-bahan sakral untuk bekal para Pitara menuju ke alam keabadian,” urainya.
Setelah proses Ngeliwet, sarana bubur dipersembahkan kehadapan Ida Sulinggih selaku Pemuput Karya dilakukan persembahyangan, yang kemudian dibagi-bagikan ke setiap Puspa yang berstana di Bale Piyadnyan.
“104 Puspa itu diberikan jatah sesuai porsinya masing-masing, tapi itu diberikan mantra Ida Pendeta (Sulinggih) untuk diberikan bekal menuju ke alam keabadian,” kata Parta Wijaya.
Setelah itu, dilakukan prosesi Ngeseng Puspa dengan rangkaian upacara diawali dengan menurunkan Puspa dari Bale Piyadnyan, yang ditempatkan pada wadah berbahan tanah dengan pengadukan berbahan tebu, untuk melakukan proses pembakaran.
“Itu dibakar dan diaduk secara halus, ada proses pembakarannya, lalu dibungkus dengan kain kasa putih dibawa pada arak-arakan besok nanti bakal dilarung ke segara,” tambahnya.
Proses tahapan ini dikatakan berbeda dengan prosesi Ngereka, yang intinya hasil pembakaran tersebut dibentuk seperti badan manusia, meski berupa debu halus, lalu dibungkus kembali kedalam kain putih.
“Itu tidak ada tulang dan sebagainya, sehingga benar-benar debu dan abu saja isinya. Nah, itu yang nanti menjalani prosesi Nganyut ke Segara Ujung, Karangasem,” tandasnya.
Melalui semua rangkaian upacara ini, Parta Wijaya menyebutkan Karya Baligia Utama adalah penyucian badan halus, dalam arti peningkatan dari Pitara menjadi Dewa Pitara, yang selanjutnya ditempatkan di Merajan Puri masing-masing, yaitu Rong Tiga.
“Itu yang akan disembah oleh para Keluarga Besar atau Pretisentana, saat telah distanakan di Rong Tiga,” pungkasnya. (hd)