JAKARTA (Independensi.com) – Langit tampak muram pagi itu. Kabar kepergian Marsekal Pertama TNI Fajar Adriyanto tersiar cepat, menembus batas jarak dan waktu. Duka menyelimuti keluarga besar TNI Angkatan Udara, sahabat-sahabatnya, hingga mereka yang pernah mengenal sosok penerbang legendaris ini.

Fajar bukan sekadar prajurit udara. Ia adalah pemimpin yang membumi, sosok yang menyalakan semangat di sekitarnya tanpa banyak kata. Dedikasinya pada negeri ini begitu nyata, mengalir dalam setiap detik hidupnya.
“Beliau adalah figur yang tidak pelit ilmu. Selalu terbuka berbagi informasi dan wawasan, terutama soal strategi pertahanan udara,” ungkap pengamat pertahanan Septiawan, MSi (Han), melalui sambungan telefon. Suaranya bergetar, seakan menahan rasa kehilangan yang sulit diungkapkan.
Di mata para sahabat, Fajar adalah pemimpin yang tidak sekadar memberi perintah, tetapi juga hadir sebagai inspirator. Ia memimpin dengan keteladanan, menyapa siapa pun dengan senyum yang tulus. Tegas ketika dibutuhkan, namun selalu manusiawi di setiap sisi hidupnya.
Sebagai mantan Kepala Dinas Penerangan TNI AU (Kadispensau), Fajar membawa warna baru bagi dunia penerangan militer. Inovasinya menghadirkan Airmen AU, yang menjembatani komunikasi TNI AU dengan masyarakat melalui radio dan media sosial. Di tangannya, wajah TNI AU menjadi lebih dekat, transparan, dan membumi.
Fajar juga membina Asosiasi Pilot Drone Indonesia (APDI) dan terlibat dalam lahirnya film patriotik Srigala Langit, yang bercerita tentang heroisme prajurit udara, membangkitkan rasa cinta Tanah Air bagi yang menontonnya.
Keberanian Fajar tak hanya terdengar dalam cerita. Insiden Bawean, 3 Juli 2003, menjadi saksi keteguhannya. Saat itu, Kapten Fajar menerbangkan F-16 Falcon 1 bersama Kapten Ian, menghadapi dua jet tempur F-18 Hornet milik militer Amerika Serikat yang melanggar kedaulatan udara Indonesia.
Ketegangan memuncak ketika Falcon 1 berada dalam posisi terancam. Falcon 2, yang diawaki Kapten Tonny dan Kapten Satriyo, segera mengambil posisi sebagai support fighter. Dalam situasi genting, Fajar dan tim tetap tenang, menjaga profesionalisme, hingga berhasil menghalau pelanggaran tanpa insiden. Momen ini dikenang sebagai simbol keberanian TNI AU dan nama Fajar terpatri dalam sejarah sebagai sosok penerbang yang tidak gentar menjaga langit nusantara.
Lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) tahun 1992 ini telah menorehkan ribuan jam terbang bersama F-16 Fighting Falcon. Ia pernah menjabat sebagai Kapus Potdirga hingga Kadispensau, mengabdi dalam posisi-posisi strategis demi kedaulatan Dirgantara Indonesia.
Namun tak seorang pun menduga, hari itu menjadi pengabdian terakhirnya. Saat tengah melakukan olahraga dirgantara, pesawat microlight PK-S216 yang ia terbangkan jatuh di kawasan Ciampea, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, sekitar pukul 09.00 WIB, Minggu (3/8/3025).
“Selamat jalan, Bangda. Jasamu untuk TNI AU dan bangsa ini tak akan pernah kami lupakan,” ucap Septiawan. Marsma Fajar Adriyanto telah berpulang, namun jejaknya tak pernah hilang. Seperti garis putih yang membelah birunya langit, kisahnya akan selalu menjadi pengingat tentang keberanian, ketulusan dan cinta tanpa batas pada Tanah Air.
Marsma TNI Fajar “Red Wolf” Adriyanto (20 Juni 1970 – 3 Agustus 2025)
Jabatan militer
- Kasi Base Ops Dinas Operasi Lanud Iswahyudi
- Komanda Skadron 3 Lanud Iswahyudi (2007 – 2010)
- Pabandyaops Sops Kohanudnas (2010)
- Asops Kosekhanudnas II (2012)
- Kasubdis Penerangan Umum Dispenau
- Komandan Lanud Manuhua (8 Oktober 2017 – 20 Mei 2019)
- Kadispenau (6 Mei 2019 – 18 November 2020)
- Kadispotdirga (18 November 2020 – 16 Januari 2023)
- Aspotdirga Kaskoopsudnas (16 Januari 2023 – 6 Desember 2024)
- Kapoksahli Kodiklatau (6 Desember 2024 – sekarang) – wikipedia.