JAKARTA (Independensi.com) – Dewan Pimpinan Pusat Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (DPP GMNI) turut mencermati draft Rancangan Undang-undang (RUU) Masyarakat Hukum Adat yang sedang dibahas di Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia (DPR-RI).
Seperti diketahui, delapan fraksi di DPR-RI telah sepakat terkait harmonisasi draf Rancangan Undang-Undang Masyarakat Hukum Adat dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, pada Jumat 4 September 2020.
DPP GMNI pun mengkritisi draft RUU Masyarakat Hukum Adat karena memuat hal berbahaya bagi keberadaan masyarakat adat, yakni pengaturan tentang evaluasi masyarakat adat.
Ketua Umum DPP GMNI Imanuel Cahyadi menyatakan, pengaturan soal evaluasi masyarakat adat membahayakan eksistensi masyarakat adat. Sebab, pasal-pasal evaluasi ini dapat menjadi “pintu gerbang” bagi penghapusan status masyarakat adat berikut dengan hak-haknya.
“DPR tampaknya perlu banyak membuka referensi mengenai masyarakat adat. Harus diingat, bahwa masyarakat adat punya asal-usul, sudah ada sebelum negara ini ada. Jadi masyarakat adat itu tidak dibentuk oleh negara,” tegas Imanuel, dalam keterangan resminya, Minggu (13/09/2020).
Terkait definisi masyarakat adat, Imanuel pun menjelaskan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) memberi julukan ‘indigenous peoples’ bagi masyarakat adat, yang secara harfiah berarti “masyarakat asli”.
Lalu, sambung Imanuel, ada juga definisi yang dikemukakan oleh Jose Martinez Cobo, seorang pejuang hak masyarakat adat yang bekerja untuk Komisi Pencegahan Diskriminasi dan Perlindungan Kaum Minoritas.
Menurut Martinez Cobo, masyarakat adat atau indigenous peoples merupakan kelompok masyarakat atau suku bangsa yang mempunyai kesinambungan sejarah antara masa sebelum kolonial atau penjajahan, dengan masa sesudahnya yang berkembang di wilayah mereka serta memiliki perbedaan dengan kelompok masyarakat lain atau mainstream.
Maka, masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang sudah eksis dalam berbagai periode masa. Termasuk pada masa penjajahan, atau sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) terbentuk.
“Maka pasal-pasal evaluasi sangat tidak tepat karena seakan tidak meyakini eksistensi masyarakat adat selama ini. Bahkan, pasal itu bisa menghapus status masyarakat adat berikut dengan hak-haknya. Ini sangat berbahaya, karena UUD 1945 saja sangat mengakui eksistensi masyarakat adat,” ujar Nuel.
Karena itu, GMNI mendesak DPR untuk mencabut pengaturan mengenai evaluasi tersebut. Sebab, hal itu menjadikan RUU Masyarakat Adat tidak mampu memutus mata rantai penindasan terhadap masyarakat adat selama puluhan tahun.
Imanuel mengingatkan, berbagai peristiwa penindasan terhadap masyarakat adat tidak berhenti sampai kini. Konflik agraria yang menerpa masyarakat adat Besipae dan Laman Kinipan, serta kemelut yang sempat menimpa masyarakat Sunda Wiwitan Kuningan adalah sedikit dari banyak contoh jenis penindasan terhadap masyarakat adat di negeri ini.
“Kami mohon pada DPR, agar menghapus pengaturan soal evaluasi itu. RUU ini harus menjadi pembebas bagi masyarakat adat, bukan sebaliknya,” tegas Imanuel. (His)