JAKARTA (IndependensI.com) – Pernyataan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj dalam memberikan sambutan di Hari Kelahiran atau Harlah Nahdlatul Ulama (NU) ke-98, pada Minggu (28/2/2021) yang menyatakan penutupan media dan akun wahabi ini sebenarnya cukup beralasan. Karena pernyataan tersebut sudah memiliki dasar yang cukup kuat, karena memang saat ini banyak media-media suka menebar fitnah dan hoax itu yang meruntuhkan sendi-sendi beragama.
Hal tersebut dikatakan Instruktur Pendidikan Kader Penggerak Nahdatul Ulama (PKPNU) Nasional Dr Adnan Anwar, MA, yang mengatakan bahwa media-media seperti itu dapat mengancam persatuan dan persaudaraan umat Islam maupun umat agama yang lainnya. Karena jika media-media itu dibiarkan berkembang dan tidak ditutup dapat merusak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan Ideologi Pancasila.
“Konten-konten itu menurut saya sudah mengarah kepada ‘membakar rumput di padang ilalang’. Yang mana ancaman ini menggunakan strategi propaganda dan ghaswatul fikr atau perang pemikiran,” ujar Adnan Anwar di Jakarta, Jumat (5/3/2021).
Selain itu, pria yang juga Tokoh Pemuda NU itu berpendapat bahwa apabila upaya persuasif, pembinaan dan dialog dianggap menemui jalan buntu, harusnya pemerintah harus lebih tegas. Pelarangan harus dijalankan dan jangan takut untuk melakukan tindakan penutupan.
“Karena media dakwah kelompok-kelompok wahabi ini bukannya memahami perbedaan yang ada di Indonesia ini sebagai Rahmat, namun perbedaan sebagai jalan pengukuhan kebenaran kelompoknya untuk mengeksklude kelompok lain dari Islam,” jelasnya.
Hal ini menurutnya diawali dari membidahkan kelompok lain lalu kemudian yang berbeda ini dicap kafir dan dianggap sudah keluar dari ajaran Islam. Padahal perbedaan yang ada ini sudah ada sejak jaman sahabat rosul 1.400 tahun yang lalu. Oleh karena itu, menurutnya ini berbahaya kalau masyarakat tidak paham lalu termakan propaganda yang disebar oleh kelompok itu.
“Bangsa kita bisa terpecah kalau pemerintah masih membiarkan dan masyarakat termakan isu hoaks yang disebarkan kelompok itu. Jadi pemerintah jangan ragu dan masyarakat sendiri pasti mendukung kalau media-media yang dibuat kelompok-kelompok ini diberangus,” tegas Adnan.
Oleh sebab itu, Mantan Wakil Sekretaris Jenderal (Wasekjen) PBNU ini menyarankan agar jangan sampai dikasih ruang sedikit pun. Karena pertaruhannya adalah masa depan bangsa dan negara Indonesia. Ia berujar, Kalau bibit-bibit virus media atau akun-akun seperti ini dibiarkan, tentunya akan sangat membahayakan masa depan negara Indonesia.
“Proporsi konten positif jumlahnya harus lebih banyak, minimal 80 persen. Kontennya tentunya juga yang bersumber dari keberhasilan program pemerintah yang sudah dijalankan dan inovasi program masyarakat itu juga harus didengungkan,” ungkap salah satu pendiri situs NU Online itu.
Menurutnya, jangan sampai kita malah kalah dari kelompok mereka yang gencar sekali melakukan propagada dengan konten hoax-nya. Maka menurut Adnan, untuk mengatasi hal tersebut tokoh-tokoh moderat juga harus sering tampil untuk bicara memberikan pencerahan dan pemahaman yang benar.
“Ini yang kadang menjadi kelemahan kita, mereka-mereka yang moderat dan tokoh pemuda atau tokoh masyarakat ini seperti banyak diam,” ujar pria yang juga Direktur Panata Dipantara yang bergerak dalam bidang kajian Kontra Narasi dan Idiologi dari paham Radikal Terorisme ini
Lebih lanjut, pria yang pernah menjadi peneliti di Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) ini juga berpendapat bahwa generasi milenial sebagai generasi penerus perlu bimbingan, pendampingan dan arahan yang sistematis agar mereka bisa berpikir positif dan inovatif. Dan tidak lupa menurut Adnan penguatan paham kebangsaan dan keagamaan yang moderat juga perlu diintensifkan.
“Karena generasi milenial ini harus memperkuat jati diri ke Indonesiaan, bahwa Indonesia ini memiliki peradaban yang sangat maju. Sehingga ada kebanggaan nasional terhadap negara kita dan terhadap bangsa kita ini,” tutur pria yang saat ini ditugaskan untuk mengembangkan organisasi NU di kawasan Timur Tengah itu.
Apalagi menurutnya, sebagai negara besar, Indonesia juga punya sejarah yang besar dimana kita memiliki toleransi yang sangat besar dan bisa mengelola perbedaan serta bisa mengelola berbagai macam tantangan yang ada. Maka ia berpendapat bahwa hal dapat disebut sebagai kebanggaan nasional juga. Sehingga para generasi muda tidak usah lagi punya imajinasi liar seperti misalnya ingin mnedirikan negara Islam.
“Karena hal itu sudah terbukti gagal di banyak negara. Dan agak sulit untuk membuktikan bahwa negara Islam yang dipaksakan itu akan menghasilkan kesejahteran. Beri pemahaman dan contoh bagaimana negara yang hancur seperti di Timur Tengah itu telah gagal dalam mengelola generasi mudanya karena negaranya terus berkonflik,” kata pria yang pernah menempuh pendidikan Master bidang Hubungan Internasional di Jerman.
Oleh karenanya, Adnan meminta agar sumber-sumber sejarah yang otentik seperti karya-karya ulama, tokoh nasional ataupun tokoh bangsa ketika mereka mensosialisasikan berdirinya negara Indonesia ini harus di reproduksi ulang. Dengan disosilisasikan dalam bentuk yang baru diharapkan hal ini bisa menyentuh generasi milienial. Tetapi kontennya adalah tentang nasionalisme Indonesia, nasionalisme Islam, tentang Pancasila, tentang NKRI.
“Mungkin harus dikemas dalam bentuk baru, karena generasi milineal ini menyukai bentuk-bentuk yang lebih aktual atau lebih moden. Ini supaya anak-anak milenial itu tidak punya keinginan mengakses konten-konten radikal yang mana mereka itu tidak tahu kalau bisa terpengaruh paham radikal itu,” ujarnya mengakhiri.