Oleh: Bachtiar Sitanggang
TUJUH PULUH SATU tahun yang lalu di STTF Jakarta (sekarang), 25 Mei 1950, dalam satu konferensi Anggaran Dasar Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) disetujui oleh peserta.
Tanggal tersebut ditetapkan sebagai hari berdirinya Dewan Gereja-gereja Di Indonesia (DGI) dalam naskah “Manifes Pembentoekan DGI”: dengan versi asli:
“Kami anggota-anggota Konferensi Pembentoekan Dewan Geredja-geredja di Indonesia, mengoemoemkan dengan ini, bahwa sekarang Dewan geredja-geredja di Indonesia telah diperdirikan, sebagai tempat permoesjawaratan dan oesaha bersama dari Geredja-geredja di Indonesia, seperti termaktoeb dalam Anggaran Dasar Dewan geredja-geredja di Indonesia, yang soedah ditetapkan oleh Sidang pada tanggal 25 Mei 1950. Kami pertjaja, bahwa dewan Geredja-geredja di Indonesia adalah karoenia Allah bagi kami di Indonesia sebagai soeatoe tanda keesaan Kristen jang benar menoedjoe pada pembentoekan satoe Geredja di Indonesia menoeroet amanat Jesoes Kristoes, Toehan dan Kepala Geredja, kepada oematNja, oentoek kemoeliaan nama Toehan dalam doenia ini”.
Demikianlah DGI sebagai wadah berhimpun Gereja-Gereja di Indonesia dengan 30 anggota (waktu itu) dan sekarang berjumlah 91 gereja, namun tetap menunjukkan semangat kebersamaan, menyatu dalam gerakan oikumene walaupun memiliki keragaman latar belakang teologis, denominasi, suku, ras, tradisi budaya dan tradisi gerejawi.
Keberagaman tidak lagi menjadi perbedaan yang memisahkan, melainkan diterima sebagai harta yang berharga dalam memperkaya kehidupan gereja-gereja sebagai Tubuh Kristus.
Seiring dengan perkembangannya, “Dewan Gereja-Gereja di Indonesia” menjadi “Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia” (PGI) hasil Sidang Raya X di Ambon tahun 1984 dengan pertimbangan: “bahwa persekutuan lebih bersifat gerejawi dibanding dengan perkataan dewan, sebab dewan lebih mengesankan kepelbagaian dalam kebersamaan antara gereja-gereja anggota, sedangkan persekutuan lebih menunjukkan keterikatan lahir-batin antara gereja-gereja dalam proses menuju keesaan”.
Dengan usia 71 tahun kehadiran PGI sebagai garam dan terang bagi Indonesia dan menjadi esa dalam persekutuan, kesaksian dan pelayanan.
Akan tetapi, sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi canggih, tantangan bagi PGI tidak semakin mendatar, bahkan semakin meninggi/menukik apalagi di era Covid-19 ini.
Di era kebebasan yang tidak terbendung serta intoleransi yang semakin memprihatinkan, PGI dan PGI Wilayah dituntut untuk mampu merasakan denyut jantung jemaat Kristiani tidak hanya di pinggir perkotaan, tetapi juga jeritan hati mereka yang berada di pulau-pulau terdepan dan terpencil serta yang di pedalaman dan daerah pegunungan.
Di era reformasi ini, agaknya PGI tidak bisa lagi hanya termangu dengan perpolitikan yang sering tak terduga dari kalangan elite bangsa ini yang kadang tidak pantas untuk dipedomani, tetapi sudah waktunya mengalihkan permasalahan ke daerah atau kawasan bekas pertambangan dan penebangan kayu dan perambahan hutan yang marak sejak Orde Baru.
Sebab keserakahan dengan perusakan lingkungan di masa lalu mengakibatkan bencana saat ini.
Akibat rusaknya kawasan pegunungan di Jawa Barat, setiap saat Jakarta dan Bandung dapat menanggung banjir dan tanah longsor, begitu juga di daerah-daerah lain.
Sebagai garam dan terang bagi masyarakat, bangsa dan negara Indonesia, PGI dituntut untuk tetap berseru dengan suara Nabiah serta menyerukan masalah kemanusiaan dengan suara pastoral.
Seberapa jauhkah PGI dapat mengingatkan agar jemaatnya tidak menjadi bandar dan pengedar narkoba dan pelaku-pelaku pemalsuan seperti obat dan makanan?
Seberapa jauhkah PGI mampu mengingatkan warganya agar tidak berperilaku koruptif, tidak terlibat perdagangan orang dan atau pelaku kejahatan lainnya?
PGI dan PGI Wilayah serta gereja-gereja pada umumnya harus berperan positif – aktif dalam menjaga keutuhan NKRI, Pancasila, UUD 1945 dan BhinnekaTunggal Ika.
Sebagai garam harus bereaksi dan sebagai terang harus menelusuri lorong-lorong gelap, tidak hanya bagaikan pelita di atas meja.
PGI sudah waktunya mampu bersuara sesuai dengan hati nurani rakyat di dalam kasih Kristus serta berani mengatakan ya di atas ya dan tidak di atas tidak, dan bahkan harus mampu seperti Nabi Natan yang menegur Raja Daud yang bertindak tidak seturut Firman Allah, karena memperistri Betsyeba, istri Uria.
PGI dan PGI Wilayah dan gereja-gereja anggotanya dan Kristen di Indonesia sebagai bagian yang tak terpisahkan dari tanah tumpah darah Indonesia, harus tampil di garis depan untuk meringankan beban Negara dan Pemerintah.
Untuk itu kita berharap PGI, PGI Wilayah Papua dan Papua Barat serta seluruh orang Kristen untuk berupaya dan berdoa agar Roh Kudus campur tangan dalam menyelesaikan penderitaan rakyat di Pegunungan Papua dan Sulawesi Tengah serta daerah-daerah lain, di mana masyarakat yang menderita akibat berbagai masalah seperti bencana alam dan non-alam serta permasalahan lainnya.
Selamat Hari Ulang Tahun ke-71 buat Keluarga Besar PGI.
Penulis adalah wartawan senior, pemerhati hukum dan masalah sosial, tinggal di Jakarta.