JAKARTA Independensi.com) – Jaksa Agung Burhanuddin mengakui keluarnya regulasi penghentian penuntutan melalui Restoratif Justice atau Keadilan Restoratif karena kegelisahan dirinya melihat paradigma penegakan hukum.
Masalahnya, tutur Jaksa Agung, tidak dapat kita pungkiri sistem hukum di Indonesia lebih mengedepankan aspek kepastian hukum, dimana penegakan hukum khususnya hukum pidana lebih dominan dipergunakan melalui sudut pandang punitif.
“Hukum dirasa hampa tanpa memberikan manfaat, khususnya kepada para pendamba keadilan dari kaum lemah. Sehinggga hukum menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat lemah,” ucapnya saat menjadi pembicara kunci dalam Webinar bertema “Mengangkat Marwah Kejaksaan Membangun Adhyaksa yang Modern”, Rabu (15/12).
Dia menyebutkan dengan alasan tersebut muncul pemikirannya untuk bagaimana mengubah paradigma penegakan hukum dalam menghadirkan tujuan hukum secara tepat dalam menyeimbangkan nilai dan norma baik yang tersurat maupun tersirat.
Oleh karena itu, tutur Jaksa Agung, jawabannya adalah Kejaksaan selaku penuntut umum yang bertindak sebagai pengendali perkara sesuai asas dominus litis telah membuat regulasi penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
“Tujuannya untuk pemulihan kembali pada keadaan semula dan memberikan keseimbangan, perlindungan serta kepentingan korban,” katanya dalam Webinar yang diselenggarakan Forum Wartawan Kejaksaan (Forwaka)
Dia menyebutkan konsep pemulihan juga bertujuan memberikan keadilan dan kedamaian yang sempat pudar antara korban, pelaku, maupun masyarakat. “Karena pada dasarnya keadilan dan perdamaian tidak bisa dipisahkan satu sama lain.”
Dikatakannya dalam menjaga marwah, Kejaksaan juga sangat berkomitmen dalam penegakan hukum khususnya pemberantasan korupsi dengan klasifikasi big fish atau kelas kakap.
Antara lain, kata Jaksa Agung, dengan menerapkan hukuman mati kepada terdakwa kasus korupsi dengan tujuan untuk menimbulkan efek jera sekaligus sebagai upaya preventif agar masyarakat tidak coba-coba melakukan perbuatan korupsi.
“Tapi selain itu Kejaksaan juga berkomitmen untuk mengembalikan kerugian negara yang timbul dari tindakan koruptif para pelaku,” tegas mantan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan ini.
Dia menyebutkan dalam menjaga dan meningkatkan marwah Kejaksaan juga harus didukung dan ditunjang profesionalitas dan integritas para Jaksa. Apalagi sejak awal diberi mandat oleh Presiden untuk bagaimana memulihkan marwah Kejaksaan.
“Sehingga di berbagai kesempatan saya telah menegaskan dan mengajak kepada setiap insan Adhyaksa untuk selalu mengedepankan integritas dan profesionalitas dalam menjalankan tugas, fungsi dan wewenang,” ujar.
Jaksa Agung pun sangat bersyukur dengan adanya Undang-Undang Kejaksaan yang baru sebagai revisi dari Undang-Undang lama Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
“Semoga perubahan undang-undang mampu memulihkan, menjaga marwah institusi Kejaksaan serta menciptakan penguatan kelembagaan yang lebih baik, untuk mendorong Kejaksaan sebagai institusi penegak hukum yang terdepan dan menjadi role model dalam penegakan hukum yang berkeadilan dan humanis,” ujarnya.
Webinar juga menghadirkan sejumlah nara sumber. Antara lain Jaksa Senior manta Kajati Babel Ranu Mihardja, Wakil Ketua MPR RI Asrul Sani, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, Praktisi Hukum Petrus Salestinus, dan Pakar Hukum Pidana dari Universitas Al-Azhar Indonesia Prof Dr. Suparji Ahmad.(muj)