MEDAN (IndependensI.com) – Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi perlu membenahi sistem penilaian karya ilmiah para dosen agar tepat untuk dikategorikan dalam indeks “schopus” atau jurnal berstandar internasional.
Muhammad Ridwan, salah seorang akademisi di Medan, Minggu (10/7/2017), mengatakan, hampir semua dosen di Tanah Air memiliki niat untuk membuat jurnal berstandar internasional.
Selain dapat mempengaruhi golongan dan kepangkatan, keberhasilan membuat jurnal berstandar internasional tersebut juga membuat peluang seorang dosen menjadi guru besar (profesor).
Namun dengan kondisi saat ini, banyak dosen yang enggan membuat karya ilmiah yang didaftarkan guna mendapatkan indeks schopus karena kendala dalam penilaian di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Hal itu disebabkan pejabat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi yang menangani penilaian indeks schopus itu sering tidak satu pemahaman, bahkan kurang memiliki kompetensi.
“Banyak yang tidak paham tentang jurnal internasional, bahkan mereka belum pernah menerbitkan jurnal internasional yang tidak terindeks schopus,” katanya.
Ia menjelaskan, dari diskusi dengan sejumlah dosen selama ini, proses penilaian karya ilmiah di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi sangat membingungkan.
Meski sering dilaksanakan seminar tentang jurnal internasional, tetapi keterangan dan syarat yang dijelaskan pejabat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi selalu berbeda-beda.
“Lain orangnya, lain lagi pemahamannya meski mereka sama-sama dari Dikti,” kata dosen yang mengajar UIN Sumut, Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), dan Sekolah Tinggi Jamaiyah Mahmudiyah di Tanjung Pura, Kabupaten Langkat itu.
Ketidakseragaman aturan dan pemahaman di Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi itu sangat merugikan kalangan akademisi yang membuat karya ilmiah.
Kandidat doktor di Program Linguistik USU itu mencontohkan pengalaman sejumlah dosen yang karya ilmiahnya sering tidak tercatat dalam indeks schopus karena tidak meratanya pemahaman pejabat Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Kalau pun karya ilmiahnya sudah tercatat dan sudah diterbitkan, namun sering ditolak dan dinyatakan melewati periode untuk dikategorikan sebagai jurnal internasional.
“Tentu saja itu merugikan para dosen. Untuk menyiapkan jurnal itu menghabiskan waktu dan pikiran. Lain lagi pengirimannya yang menghabiskan anggaran Rp10 juta hingga Rp20 juta,” ujar Muhammad Ridwan.