JAKARTA (Independensi)-Pendiri Saiful Mujani Research Consulting atau SMRC, Saiful Mujani menegaskan bahwa kalau kita bicara tentang pluralisme agama dan kesetaraan agama di hadapan hukum, maka tidak boleh sebuah ajaran agama tertentu dijadikan produk hukum yang wajib ditaati oleh warga dari berbagai agama.
Hal itu disampaikan Saiful Mujani dalam program Bedah Politik episode “Ketuhanan Maha Esa Hanya Menurut Islam?” yang disiarkan di kanal Youtube SMRC TV, belum lama ini.
Misalnya, sambung Saiful, pengaturan tentang alkohol. Dalam Islam memang diharamkan, tapi belum tentu di dalam agama yang lain juga diharamkan. Karena itu, agama tidak boleh masuk ke dalam wilayah hukum nasional.
“Biarkan saja umat Islam, bukan negara, untuk mengatur sendiri, apakah itu MUI atau Ormas lain seperti Muhammadiyah dan NU, yang berkewajiban memberikan sosialisasi, penerangan, atau mungkin sanksi sosial terhadap warga Islam yang melanggar ajaran-ajaran Islam tersebut. Jangan minta negara ikut campur dalam soal ini,” terang penulis buku Muslim Demokrat tersebut.
Contoh lain adalah tentang sertifikat halal untuk produk tertentu. Saiful mempertanyakan mengapa negara ikut campur dalam produk sertifikasi halal yang hanya ditujukan pada kalangan warga tertentu, Islam.
“Kok bisa negara membuat kebijakan publik, tapi tidak cukup publik?” ujarnya.
Saiful melanjutkan, ada juga pandangan yang menyebut bahwa karena umat Islam mayoritas di satu wilayah, maka yang harus diberlakukan adalah hukum yang berdasar pada ajaran Islam. Ini dianggap sesuai dengan sila pertama Pancasila.
Saiful menyatakan bahwa pandangan itu justru bertentangan dengan semangat lahirnya sila pertama Pancasila tersebut.
Saiful menilai bahwa Pancasila, termasuk sila pertama, adalah hasil kompromi antara kelompok yang ingin menegakkan pluralisme keagamaan di Indonesia, di satu sisi, dan yang ingin menerapkan syariat Islam yang muncul dalam bentuk Piagam Jakarta, di sisi yang lain.
” Kalau dikatakan bahwa karena penduduk mayoritas itu beragama Islam, maka yang harus diikuti adalah norma-norma Islam, maka itu sebenarnya adalah aspirasi dari Piagam Jakarta, kewajiban menjalankan syariat Islam bagi para penganutnya,” ujar Saiful
Menurut Saiful, justru bagian itu yang dikeluarkan setelah Indonesia berdiri. Tanggal 18 Agustus 1945, ada aspirasi agar sila pertama Pancasila tidak mendiskriminasi pemeluk agama yang lain, maka dikeluarkanlah tujuh kata dalam Piagam Jakarta tersebut.
“Dicoretnya tujuh kata dalam sila pertama tidak membuat semangat itu mati, melainkan tetap hidup,” pungkasnya. (Hiski Darmayana)