Oleh : Henry Sitanggang
Begitu anda bangun pagi maka anda menuju filsafat. Aku masih hidup Tuhan. Terima kasih
Secangkir kopi Sidikalang dan sebuah lampet atau goreng mungkin anda nikmati dan perlahan berpikir apa ya tujuan hidupku?
Jika itu anda tanyakan maka anda sedang berfilsafat. Tapi jika yang anda pikirkan siapa yang harus kubantai atau kutilep hari ini, dari mana uang besar utk beli villa atau menambah mobil utk anak dan gundik…saat itu anda telah keluar dari dunia filsafat hukum.
Sembari menikmati pisang goreng dan kopi pagi coba bayangkan ada seorang penguasa atau jenderal yang kuat yang mengeluarkan perintah kepada anak buahnya untuk membunuh seseorang ajudan.
Mereka yang anak buah itu mungkin sumbu pendek dan belum pernah belajar filsafat hukum. Mereka menuruti keinginan atasan.
Gagasan hukum sebagai perintah terletak di jantung positivisme hukum klasik seperti yang dianut oleh dua protagonis besarnya, Jeremy Bentham dan John Austin.
Positivisme hukum modern mengadopsi pendekatan yang jauh lebih canggih terhadap konsep hukum, tetapi, seperti pendahulu mereka yang terkemuka, mereka menyangkal hubungan yang diusulkan oleh hukum alam, yang diuraikan sekilas disini antara hukum dan moral.
Klaim ahli hukum alam bahwa hukum terdiri dari serangkaian proposisi yang diturunkan dari alam melalui proses penalaran ditentang keras oleh positivis hukum.
Thomas Agunia mengatakan hukum itu dari Tuhan.
Hitler dan Jenderal yang menyuruh dan atau barang kali ikut membantai Josua mungkin berpendapat:
Aku berkuasa. Kawan ku banyak. Uang ku juga banyak.
Aku kebal hukum. Pendapat ini tentu sesat.
Dalam tulisan singkat ini penulis ingin menjelaskan elemen-elemen penting dari teori hukum yang penting ini.
Positivisme
Istilah ‘positivisme’ berasal dari bahasa Latin positum, yang mengacu pada hukum seperti yang ditetapkan atau diajukan.
Secara garis besar, inti dari positivisme hukum adalah pandangan bahwa keabsahan suatu hukum dapat ditelusuri ke sumber yang dapat diverifikasi secara objektif.
Sederhananya, positivisme hukum, seperti positivisme ilmiah, menolak pandangan – yang dianut oleh para ahli hukum alam – bahwa hukum ada secara independen dari pemberlakuan manusia.
Seperti yang akan menjadi jelas dalam bagian artikel ini, positivisme hukum awal Bentham dan Austin menemukan asal usul hukum dalam perintah penguasa.
H. L. A. Hart melihat aturan pengakuan atau Rule of Recognition-lah yang membedakan hukum dari aturan sosial lainnya. Hukum itu ada karena ada Recognition sosial kata Hart.
Hans Kelsen mengidentifikasi norma dasar yang mengesahkan konstitusi. Hukum itu ada Grundnorm-nya kata Kelsen
Positivisme hukum juga sering mengklaim bahwa tidak ada hubungan yang diperlukan antara hukum dan moral, dan bahwa analisis konsep-konsep hukum layak dilakukan, dan berbeda dari (meskipun tidak memusuhi) penyelidikan sosiologis dan historis dan evaluasi kritis.
Positivisme Hukum
Faktor umum tertinggi di antara positivis hukum adalah bahwa hukum sebagaimana ditetapkan harus dipisahkan – untuk tujuan studi dan analisis – dari hukum sebagaimana mestinya secara moral.
Dengan kata lain, perbedaan yang jelas harus ditarik antara ‘seharusnya’ (yang diinginkan secara moral) dan ‘adalah’ (yang benar-benar ada). Tetapi tidak berarti bahwa seorang positivis hukum acuh tak acuh terhadap pertanyaan-pertanyaan moral.
Kebanyakan positivis hukum mengkritik hukum dan mengusulkan cara untuk mereformasinya. Ini biasanya melibatkan moral.
Tetapi kaum positivis memiliki pandangan yang sama bahwa metode yang paling efektif untuk menganalisis dan memahami hukum melibatkan penangguhan penilaian moral sampai apa yang ingin kita jelaskan.
Kaum positivis juga tidak perlu menganut proposisi, yang sering dianggap berasal dari mereka, bahwa hukum yang tidak adil atau tidak adil harus dipatuhi – hanya karena itu adalah hukum.
Memang, baik Austin maupun Bentham mengakui bahwa ketidaktaatan terhadap yang kejahatan adalah sah jika itu akan mendorong perubahan demi kebaikan.
Dalam kata-kata positivis hukum modern terkemuka H. L. A. Hart:
Bagi Hart, dan juga Bentham, ini adalah salah satu keutamaan utama positivisme hukum.
Hukum sebagai perintah:
Bentham dan Austin
Tulisan-tulisan luar biasa Jeremy Bentham (1748-1832) merupakan kontribusi besar bagi yurisprudensi positivis dan analisis sistematis hukum dan sistem hukum. Dia tidak hanya berusaha untuk mengekspos shibboleth zamannya dan membangun teori hukum, logika, politik, dan psikologi yang komprehensif, yang didasarkan pada prinsip utilitas, tapi dia menulis untuk reformasi hukum di hampir setiap mata pelajaran.
Kritiknya terhadap hukum umum dan dasar-dasar teoretisnya sangat keras. Tergerak oleh semangat Pencerahan, Bentham berusaha untuk menundukkan hukum umum pada cahaya akal yang dingin.
Dia berusaha untuk mengungkap hukum, untuk mengekspos, dalam gaya pemotongan khasnya, apa yang ada di balik topengnya.
Banding terhadap hukum kodrat tidak lebih dari ‘pendapat pribadi yang terselubung’ atau ‘pendapat belaka dari orang-orang yang dibentuk sendiri menjadi legislatif’.
Bagi saya (HS) dalam kasus kematian Josua ini bukan hanya hukum positive yang berlaku (vide pasal 55 jo 340 kuhp). Tetapi juga hukum moral dan hukum Tuhan ke 6: Jangan membunuh.
Kita yang cinta keadilan…harus menjernihkan hukum itu dari noda noda lain.
Ibarat kita di kampung, saat mencari air yang mungkin tidak jernih karena ada kotoran hewan (baca politicing dan pork barreling atau bagi bagi jagal) maka air itu pelan pelan kita saring. Kita endapkan.
Kemudian kita pikul ke rumah. Lalu dimasak oleh ibu kita( Ratu Keadilan) agar kita sekeluarga (baca: satu negara RI) tidak mencret keracunan karena kotoran hewan Sambornipi.
Para pemikir hukum dan kita semua di bumi ini..khususnya di bumi Indonesia ini ingin dihargai sebagai bangsa yang beradap. Bukan negeri mafia hukum.
Kita punya tujuan tertinggi:
Membawa bangsa ini ke peradaban dan kesejahteraan.
Maka segala semak duri dan kotoran hewan Sambornipi harus dibersihkan dan kita berani mengatakan Tidak pada Kebejatan Moral dan Rekayasa hukum.
Jika H.LA Harta mengatakan hukum.itu ada kandungan moralnya , saya juga sependapat. Dan bahwa hukum bukanf kekuasaan semena- mena.
Di atas segalanya ada fffDivine Law. Selamat menuju beradab. (*)
Penulis adalah Praktisi hukum di Jakarta
Email: hstglawfirm@gmail.com