Yogen Sogen. (ist)

Tragedi Kanjuruhan dan Runtuhnya Gerakan Restorasi

Loading

Oleh: Yogen Sogen*

JAKARTA (Independensi.com) – Ramlan Surbakti pernah menegaskan, kekuasaan merupakan kemampuan mempengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang mempengaruhi. Pernyataan Ramlan tersebut merupakan penggalian atas fenomena politik dengan segala konsekuensinya yang terjadi di tubuh bangsa Indonesia juga secara global.

Ini salah satu jalan mutlak yang wajib ditempuh dalam perang merebut kekuasaan dan  pada tataran partai politik, merebutkan kekuasaan adalah konsekuensi logis dari tujuan dan keberadaan sebuah partai politik.

Seperti yang diungkap oleh Edmun Burke, bahwa partai politik adalah kumpulan orang yang bersatu untuk memperjuangkan kepentingan nasional melalui usaha bersama berdasarkan pada prinsip-prinsip tertentu yang mereka sepakati.

Hari ini, Senin (3 Oktober 2022), partai Nasional Demokrat (disingkat NasDem atau Nasdem) yang dipimpin Surya Paloh dengan hasil kesepakatan dan dalam prinsip yang tidak manusiawi mendeklarasikan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan sebagai calon presiden (Capres) 2024 saat bangsa dirundung duka tragedi Kanjuruhan.

NasDem dan Anies Kehilangan Kemanusiaan

Etika menjadi relevan saat ini dan akan selalu relevan karena kehidupan manusia terus menerus ditandai oleh pertarungan (konflik) antar kekuatan baik (good) dan kekuatan jahat (evil) yang tak pernah henti-hentinya.

Menurut Soeseno, (l988:l3), etika mendasarkan diri pada rasio untuk menentukan kualitas moral kebajikan maka disebut juga sistem filsafat yang mempertanyakan praksis manusia berkenaan dengan tanggung jawab dan kewajibannya.

Sikap dan prinsip NasDem yang mendeklarasikan Anies Capres 2024 di saat bangsa Indonesia sedang berduka meratapi ratusan nyawa yang hilang di tragedi Kanjuruhan pada Sabtu (1/10) malam menggambarkan secara tegas bahwa NasDem dan Anis menolak simpati terhadap nyawa anak bangsa.

Wajah NasDem dan Anies samasekali luntur dari kemanusiaan dan solidaritas sesama warga bangsa.  Pernyataan Edmun Burke, bahwa partai politik bertujuan memperjuangkan kepentingan nasional tampak suram. Kehendak elit oligarki lagi-lagi bersukacita memproklamirkan imajinasi kekuasaan saat para ibu meratapi tubuh anaknya yang kaku di pintu rumah atau seorang anak yang secara tiba-tiba menjadi yatim piatu atas peristiwa satu Oktober dua ribu dua puluh dua yang begitu perih dengan air mata yang belum mengering.

Lantas apakah NasDem dan Anies merasa kehilangan?. Dalam teori klasik Aristoteles menjelaskan, politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Secara tersirat, Aristoteles mau menarik setiap pribadi yang bergabung di partai politik baik di tataran para elit maupun struktural untuk memiliki kewajiban dalam memperjuangkan  bonum commune.

Butuh Restorasi Etis Bukan Restorasi Oligarki

Memperjuangkan  bonum commune adalah gambaran realitas politik saat ini. Setiap partai berlomba-lomba mendulang suara dari pengabdian atas kebaikan dan menciptakan kebersamaan. Maka, untuk menilai sikap batin maupun perbuatan lahir dibutuhkan suatu alat, yakni ukuran moral. Manakah yang dapat kita pakai dalam menilai kebaikan manusia itu? Sejauh manakah ukuran itu patut dipercaya? Sampai kapankah ukuran itu dapat dipakai?

Term etika (filsafat moral) dapat dipakai dalam arti nilai-nilai dan norma-norma moral yang menjadi dasar seseorang atau suatu kelompok dalam mengaturtingkah lakunya. Etika memberikan dasar moral kepada politik dan berpolitik adalah cerminan pemaknaan atas etika tersebut.

NasDem yang selama ini tumbuh dalam spirit Restorasi untuk memulihkan, mengembalikan, serta memajukan fungsi pemerintahan Indonesia kepada cita-cita Proklamasi 1945, yaitu melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia seharusnya tidak menghilangkan kemanusiaan dari langkah politiknya sebagaimana yang terkandung dalam spirit restorasi NasDem.

Sebab, menghilangkan etika dari kehidupan politik berimplikasi pada praktek politik yang bersifat Machavellistis, yaitu politik sebagai alat untuk melakukan segala sesuatu, baik atau buruk tanpa mengindahkan kesusilaan, norma dan berlaku seakan bernuansa positivistik (bebas nilai).

Anak-anak bangsa dapat memaknai sendiri, sejauh mana NasDem dan Anies memiliki moral politik dalam memperjuangkan kebaikan bersama yang dimaknai Nasdem sebagai restorasi. Dari tragedi Kanjuruhan, kita perlu merefleksikan tentang apa yang dilakukan oleh NasDem dan Anis hari ini dengan mendeklarasikan keangkuhan daripada kesadaran etis.

Ungkapan Gus Dur sepertinya menjadi telaga renungan bagi NasDem dan Anies juga dengan kemanusiaan yang telah redup, bahwa “yang yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan”.

*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Pemerintahan dan Penulis Buku Di Jakarta Tuhan Diburu dan Dibunuh.