Oleh: Bachtiar Sitanggang
Di TENGAH perdebatan perlu tidaknya Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disebut Menteri Koordinator Maritim dan Investasi (Menko Marinvest) si Ompung Luhut Binsar Panjaitan, sebagai “drama kampungan”, berita heboh menggemparkan muncul.
KPK memang diidolakan masyarakat dengan operasi senyapnya yang digandrungi masyarakat sebagai tontonan dramatis menggelandang tersangka dengan jaket oranye dan gari di tangan serta dipertontonkan ke publik.
Menurut Menko Marinvest, OTT itu drama kampungan, dan tidak ada lagi OTT kalau sistem pengadaan barang dan jasa sudah digitalisasi, dan KPK tugasnya tidak hanya penindakan tetapi juga pencegahan.
Dengan adanya digitalisasi tidak ada lagi tatap muka sudah via on-line. Buktinya belakangan ini yang ada hanyalah jual jabatan oleh kepala daerah.
Lontaran Luhut Panjaitan tersebut ditafsirkan sebagai tidak konsistennya Pemerintah memberantas korupsi karena menganggap OTT drama kampungan.
Pada hal kalau disimak keseluruhan ide dan contoh yang dikemukakannya dengan digitalisasi ruang gerak koruptor akan semakin sempit dan diharapkan tidak ada lagi OTT.
Luhut memberi contoh di beberapa instansi seperti Pelabuhan yang sudah digitalisasi, tidak ada lagi tatap muka dan semua berjalan lancar.
Mengikuti pemberitaan media, apa yang dilakukan Kepala Badan SAR Nasional (Kabasarnas) Marsekal Madya Henri Alfiandi dalam pengadaan barang Pendeteksi Korban Reruntuhan memang masih tatap muka dengan para calon kontraktor dan memberi syarat “dana Komando’ (dako) sebesar 10 % dari jumlah kontrak Rp. 9,997.104.000,–
KPK kali ini memang tidak tanggung-tanggung menyasar seorang perwira TNI-AU Marsekal Madya (bintang tiga), mantan
Kepala Badan SAR Nasional (Basarnas) dengan dugaan korupsi sampai Rp. 88, 3 milyar selama menjabat dari 4 Februari 2021 sampai 17 Juli 2023.
Dalam pengadaan pendeteksi korban reruntuhan pagu anggarannya Rp.9,9 M, sang pejabat dapat 10 % dan terkena lima orang, bagaimana dengan dugaan suap atau gratifikasi sebesar Rp. 88,3 miliar?
Berapa orang yang terlibat dan menikmati dengan kode “dana komando” tersebut?
Apakah hasil OTT “drama kampungan” ini bisa diungkap KPK bersama Puspom Mabes TNI atau mungkin hanya sekedar yang terkena OTT saja?
Jumlah dugaan suap sebesar Rp. 88,3 M selama 2021-2023 tersebut dalam pengadaan barang-barang apa saja?
Kalau 10 % dari pagu anggaran pengadaan barang, artinya harga barangnya mencapai Rp. 883 miliar.
Dengan kata lain, 10 5 dari jumlah atau kualitas barang itu tidak sesuai dengan standar atau ukuran perencanaan.
Pada hal barang-barang itu adalah untuk penyelamatan nyawa manusia, kiranya pihak Basarnas dan pengganti Henri Alfiandi perlu menelitinya apakah layak dipakai atau tidak.
Panglima TNI Laksamana Yudo Margono akan memberikan perhatian khusus dalam kasus ini, dengan memberikan peluang untuk mengusutnya sesuai hukum yang berlaku agar tidak menimbulkan kecurigaan hukum seolah tajam ke lawan tumpul ke kawan.
Terlepas apakah OTT itu drama kampungan tetap dinanti-nantikan masyarakat selain menyangkut orang-orang besar tokoh masyarakat yang hindup mewah, pangkat tinggi tapi serakah, tontonan menarik.
Apalagi di tahun politik ini, masyarakat jenuh menonton politisi dan relawan yang sibuk dengan argumentasi yang tidak menyejahterakan rakyat, mulai dari terbitnya mata hari sampai terbenam, “sengketa politik” tidak terbenam-terbenam.
Hiruk pikuk politik memang wajar tetapi jangan sampai mengganggu gendang-gendang telinga.
Pemberantasan korupsi dan penegakan hukum juga jangan ditarik-tarik ke ranah politik dengan tudingan kriminalisasi.
KPK juga harus terbuka atas kasus-kasus yang dicurigai masyarakat, sehingga KPK tidak dituding sebagai alat politik atau tajam ke orang kecil tumpul ke orang besar.
Perlu diingat UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam pertimbangan huruf b menyebutkan: “bahwa lembaga pemerintah yang menangani perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi:”….perlu membentuk UU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi:
Dengan kata lain bahwa KPK dibutuhkan termasuk OTT sebagai upaya penindakan itu diperlukan selama pejabat pengambil kebijakan, institusi pengawasan, penyidikan dan penuntutan belum berfungsi efektif dan efisien.
Kalau sudah rampung sistem digitalisasi, pengambil kebijakan tidak lagi bermain proyek dan menjual jabatan, institusi pengawasan berfungsi baik, penyidik dan penuntut umum sudah menerapkan peraturan perundang-undangan dengan baik dan benar, mungkin keberadaan KPK juga bisa saja dievaluasi.
Selama apa yang diidam-idamkan Menko Marinves Jenderal Luhut Binsar Panjaitan belum rampung, drama kampungan OTT itu suatu terapi walau tidak mengenakkan bagi pejabat publik.
Tetapi jangan lupa ada syaratnya, untuk menyapu agar bersih seyogyanya dengan sapu bersih.
Demikian juga KPK hendaknya secara konsekuen dan kontinyu membenahi dirinya agar berwibawa sebagai penegak hukum dan keadilan di mata publik.***
Bachtiar Sitanggang
(Penulis adalah wartawan senior dan advokat)