Pariwisata Berkualitas, Bali Jangan Dijual Murah dan Tak Terima Wisatawan Abal-abal

Loading

Badung (Independensi.com) – Pengurus Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Kabupaten Badung menggelar Diskusi Nasional dengan mengambil topik “Pariwisata Berkualitas (Quality Tourism)” di Ruang Kerta Gosana Pusat, Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung, Selasa, 20 Mei 2025.

Diskusi Pariwisata dibuka secara resmi oleh Bupati Badung, I Wayan Adi Arnawa, SH., yang diwakili Sekretaris Daerah (Sekda) Badung, Ida Bagus Surya Suamba ditandai pemukulan gong.

Pada kesempatan tersebut, Ketua Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Badung I Nyoman Sarmawa memberikan “Sertificate of Appreciation” buat Bupati Badung yang diterima Sekda Surya Suamba dan juga para Narasumber.

Dalam sambutannya, Sekda Badung Surya Suamba menyatakan, bahwa Pariwisata Berkualitas memberikan manfaat ekonomi, sosial maupun lingkungan bagi masyarakat setempat.

Ditegaskan pula, bahwa Pariwisata Berkualitas harus menghormati nilai-nilai budaya, tradisi dan kearifan lokal dengan memberdayakan sumber daya lokal serta berperilaku tertib.

Melalui kegiatan Diskusi Nasional diharapkan dapat menjadi media untuk berdialog dan berdiskusi dalam mencari solusi dari berbagai permasalahan yang timbul seiring pesatnya industri pariwisata dan nantinya memberikan manfaat maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Mengingat, sektor pariwisata telah menjadi sektor andalan dan tulang punggung perekonomian Kabupaten Badung yang berkontribusi besar terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Badung.

Bahkan, sektor pariwisata memiliki peranan penting dan strategis sebagai salah satu sumber penerimaan devisa yang dapat mendorong pertumbuhan ekonomi daerah.

“Atas nama pribadi dan Pemerintah Kabupaten Badung, kami menyambut baik dan mengapresiasi penyelenggaraan kegiatan yang memiliki makna sangat penting, strategis dalam upaya mewujudkan Pariwisata Berkualitas di Kabupaten Badung,” kata Sekda Surya Suamba.

Menariknya, Diskusi Pariwisata ini dipandu oleh I Gusti Ngurah Dibia yang juga sebagai Sekretaris SMSI Provinsi Bali dengan menghadirkan empat Narasumber berkompeten, diantaranya Deputi Bidang Produk Pariwisata dan Penyelenggara Kegiatan Kementerian Pariwisata RI Drs. Vinsensius Jemadu, MBA., Ketua PHRI Provinsi Bali, Prof. Tjok. Oka Artha Ardana Sukawati, President Commissioner Kura-Kura Bali, yang juga Pengamat Pariwisata Nasional, Tantowi Yahya serta Pengamat Kebijakan Publik Prof.Dr. I Nengah Dasi Astawa, M.Si.

Dalam paparannya, Deputi Bidang Produk Pariwisata dan Penyelenggara Kegiatan Kementerian Pariwisata RI Drs. Vinsensius Jemadu, MBA., menyampaikan, bahwa Bali sangat luar biasa dilihat dari perspektif pariwisata dalam jumlah kunjungan wisatawan mancanegara (wisman), karena Bali sebagai satu-satunya Provinsi dari 38 Provinsi di Indonesia yang memberikan kontribusi pemasukan dari sektor pariwisata.

Secara Nasional, Indonesia mempunyai tiga pintu masuk yang besar buat pariwisata mancanegara, yang pertama disebutkan Bali berkontribusi 45 persen disusul Jakarta sekitar 30 persen dan Kepri Banten Bintan berkisar 5-8 persen. “Jadi, Bali ini kontributor paling besar secara Nasional,” kata Vinsensius Jemadu.

Oleh karena itu, kebijakan dan regulasi terkait pariwisata Bali harus betul-betul ditangani dengan baik dibarengi dengan pengawasan yang perlu diperketat lagi.

Mengingat, akhir-akhir ini, banyak permasalahan pariwisata yang terjadi. Tak hanya masalah infrastruktur dan traffic macet lalu lintas, tapi juga bisa dilihat perilaku (behavior) turis mancanegara yang berada di Bali.

“Jadi, Bali ini perlu diawasi ketat, sehingga budaya Bali yang sakral beserta interaksi masyarakatnya sudah luar biasa dari sisi budaya itu jangan sampai rusak. Inilah yang harus kita jaga,” terangnya.

Hal tersebut dikarenakan payung (umbrella) dari pariwisata Bali sebenarnya budaya (culture) yang harus dijaga dengan baik. Jika berbicara Pariwisata Berkualitas, tentunya market dari luar berupa turis-turis datang ke Bali juga semestinya berkualitas, yang memahami budaya lokal dan menjaga lingkungan berkonsep sustainable.

“Itu tidak boleh sembarangan turis datang ke Bali. Jangan wisatawan yang abal-abal dan ecek-ecek, tapi berkualitas. Bali juga tidak boleh dijual murah, harus betul-betul berkelas bukan murahan, tapi masih terjangkau,” kata Vinsensius Jemadu.

Meski demikian, secara kasat mata, Bali dipenuhi wisatawan sesuai data statistik airlines, tapi justru okupansi hotel menurun drastis. Disinyalir, bahwa banyaknya wisatawan yang menginap diluar hotel yang terdaftar di Bali.

“Nah, kita lihat mungkin saja mereka tinggal di villa, rumah kos atau penginapan yang notabene tidak terdaftar secara legal. Itu harus dilihat proses perizinan dan juga harus dicek kembali KBLI atau Klasifikasi Baku Layanan Usaha,” tegasnya.

Hal senada juga dikatakan Ketua PHRI Provinsi Bali, Prof. Tjok. Oka Artha Ardana Sukawati, yang menyoroti parameter Pariwisata Berkualitas meliputi aksesibilitas mudah, informasi transparan dilengkapi digitalisasi disertai dengan fasilitas lengkap, nyaman serta layanan berkesan ramah hingga meninggalkan kenangan positif, sehingga timbul keinginan kembali loyalitas terhadap destinasi wisata.

Selain itu, juga diperhatikan faktor-faktor dasar yang tersirat, seperti keselamatan, keamanan, kenyamanan, kebersihan, komunikasi dan fasilitas layanan publik.

Untuk itu, banyak negara mengalihkan fokus dari kuantitas jumlah wisatawan ke kualitas nilai tambah, seperti durasi tinggal, pengeluaran per wisatawan hingga dampak budaya.

“Ciri Pariwisata Berkualitas itu sangat mudah dijangkau, nyaman ditinggali dan dikunjungi kembali. Bukan sekedar datang dan pergi, tetapi membekas, berkesan dan berkelanjutan,” urainya.

Namun, dari perspektif berbeda diungkapkan Pengamat Kebijakan Publik Prof.Dr. I Nengah Dasi Astawa, M.Si., yang menyebutkan bukan wisatawan berkantong tebal membuat Pariwisata Berkualitas dan Berkelanjutan. Dalam arti jika wisatawan kaya raya hanya tinggal di hotel berbintang tinggi, tapi berperilaku tidak sejalan dengan peradaban Bali.

“Tentu, hal itu tidak menjamin pariwisata memberi manfaat kepada masyarakat lokal, karena pemilik hotel besar hampir semua milik bukan pengusaha lokal, itu dominan chain hotel,” tegasnya.

Prof. Dasi Astawa juga menyoroti Pariwisata Inklusif berbasis kerakyatan, sustainability dan berkualitas.

Disebutkan, Pariwisata Inklusif umur pariwisata Bali akan terus tumbuh dan berkembang selama rakyat Bali masih menjadi pewaris dan pemilik Pulau Bali.

Pasalnya, Pariwisata Inklusif menjadi fundamental ekonomi kerakyatan, karena rakyat Bali turut berperan dan terlibat secara langsung maupun tidak langsung pada sektor pariwisata.

Menurutnya, kehadiran Pariwisata Inklusif oleh pelaku pariwisata dengan modal besar, seperti pemilik hotel besar akan meneteskan kesejahteraan (trickle down effect) kepada rakyat aerta multiplayer effect, jika memenuhi kewajiban, seperti membayar pajak dan menyerap tenaga kerja lokal.

“Jika lebih banyak tenaga bukan lokal, apalagi asing tentu keberadaannya tidak maksimal memberi kontribusi kepada Bali,” paparnya.

Prof. Dasi Astawa yang juga Direktur Politeknik El Bajo Commodus di Labuan Bajo NTT menambahkan, bahwa eksistensi budaya, tradisi dan upacara maupun upakara menjadi pemicu dan pendorong pariwisata Bali terus berkelanjutan secara natural dan sejalan dengan dinamika rakyat Bali secara totalitas.

Bagi rakyat Bali beraktivitas budaya, tradisi dan upacara maupun upakara tiada henti sebagai bagian dari melaksanakan karma berbasis dharma dengan tulus ikhlas tanpa merasa beban berdasar ngayah lan lascarya.

“Ngayah lan lascarya merupakan embrio dari Bali selalu aman dan nyaman untuk dikunjungi oleh wisatawan domestik maupun mancanegara dan itu akibat ekologi Bali secara sekala dan niskala damai dan harmonis,” ungkapnya.

Sementara itu, Pengamat Pariwisata Nasional, yang juga President Commissioner Kura-Kura Bali, Tantowi Yahya menyebutkan Bali memiliki kekhususan, terutama pendapatan (income) bersumber dari sektor pariwisata.

“Karena disini tidak ada lagi sumber pemasukan, selain pariwisata. Di Bali itu tidak ada industri dan tidak ada Sumber Daya Alam (SDA), tidak ada minyak serta tidak ada tambang. Bali hanya mengandalkan pariwisata,” kata Tantowi Yahya.

Mengingat, pariwisata sebagai sumber pemasukan daerah dan juga sumber kehidupan masyarakatnya, lanjutnya pengaturan khusus diserahkan kepada Provinsi itu sendiri, yakni Bali dan hanya bidang-bidang tertentu yang masih dikerjakan oleh Pemerintah Pusat.

Sementara itu, Tantowi Yahya menyebutkan bidang ekonomi, hukum, imigrasi, perpajakan dan transportasi serta beberapa bidang lagi itu diserahkan kepada Provinsi untuk diatur secara khusus.

“Karena mereka membutuhkan perangkat itu dalam rangka untuk mengembangkan industri pariwisata pada level yang tertinggi, bermanfaat bagi Pemerintah dalam konteks pemasukan pajak dan juga bermanfaat bagi masyarakat dalam konteks pemasukan sebagai penopang kehidupan mereka,” terangnya.

Patut diketahui, bahwa dalam sistem pengelolaan daerah dikenal sebutan Daerah Biasa dan Daerah Istimewa (DI). Dicontohkan, terdapat DKI Jakarta sebagai ibukota dan juga Daerah Istimewa (DI) Yogyakarta, Daerah Istimewa (DI) Aceh serta Daerah Istimewa (DI) Papua.

Dikatakan Daerah Istimewa (DI), karena diperlukan pengaturan khusus yang tidak semuanya tergantung pada Pusat, sehingga Bali disebut layak dijadikan Daerah Istimewa (DI) Pariwisata.

Terkait dengan pariwisata berkualitas dan berkelanjutan tidak terlepas dari tiga komponen, yaitu struktur hukum, substansi hukum dan kultur hukum, yang tergantung pada politik hukum. Apalagi, sektor hukum atau regulasi menjadi pondasi dari semua kegiatan berbangsa dan bernegara.

“Bagaimana cara mengimplementasikan, sehingga regulasi yang dibuat, yang mana melalui politik hukum itu biar bisa mendukung apa yang menjadi acuan kita sebagai pariwisata berkelanjutan,” tambahnya.

Jika berupaya kegiatan pariwisata dilakukan secara berkelanjutan dan berkesinambungan, maka harus dihadirkan hukum pada sektor pariwisata.

“Ada dua permasalahan hukum, yakni bikin hukum dan memberlakukan hukum. Nah, di DPR itu dimana saya pernah disana, kerjaan kita itu memproduksi hukum. Namun, membuat hukum itu hadir, dilaksanakan dan dijaga, itulah tugas Pemerintah,” urainya.

Diakui, tidak ada masalah dalam hal membuat Undang-Undang atau regulasi, lantaran punya banyak ahli. Namun, permasalahan bukan terletak pada produk hukum, tapi pelaksanaan hukum itu sendiri yang mulai dipermainkan, ketika terjadi improvisasi untuk kepentingan tertentu.

Jika hukum dijalankan secara konsekuen dikatakan tidak ada masalah, karena hukum itu produksi bersama rakyat melalui wakilnya di DPR dengan Pemerintah.

“Jadi, namanya hukum itu produk bersama bukan buatan Pemerintah dan juga bukan buatan DPR. Itu terjadi konsensus. Kita tidak masalah tentang itu, mau inisiasi dari Pemerintah atau DPR, hukum itu lancar kita buat,” tandasnya.

Menyikapi Diskusi Pariwisata, Tantowi Yahya menyatakan Diskusi Pariwisata yang dibahas semuanya daging, lantaran perspektif empat Narasumber berbeda-beda, tapi malah bersatu menuju satu tujuan, yakni Pariwisata Berkualitas, yang perlu dukungan hukum dan juga Pemerintah, baik Pusat dan stakeholder pemangku kepentingan.

“Meski demikian, dimulai dari angle masing-masing Narasumber, kita sepakat tadi, bahwa Bali itu sudah harus menuju Pariwisata Berkualitas,” pungkasnya. (hd)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *