JAKARTA (Independensi.com) – Suasana haru dan semangat kebersamaan begitu terasa dalam acara bertajuk “Pesta Pora Reforma Agraria” yang digelar di Kampung Kebun Sayur. Acara ini menjadi momentum penting bagi aliansi perjuangan warga yang selama ini berjuang mempertahankan hak atas tanah di tengah desakan urbanisasi dan ancaman penggusuran di wilayah perkotaan.
Acara dimulai dengan sambutan penuh haru dari Ketua Ranting, yang menyampaikan ucapan terima kasih mendalam kepada seluruh panitia, masyarakat, dan para tokoh yang telah terlibat dalam perjuangan. “Tanpa adanya dukungan dari panitia dan masyarakat, perjuangan ini tidak akan berarti apa-apa,” ucap Refan selaku Ketua Ranting.
Dalam sambutannya, ia juga mengutarakan harapan besar agar tanah di Kebun Sayur benar-benar menjadi milik warga. Ia mengutip doa, “Mudah-mudahan tanah yang ada di Kebun Sayur menjadi tanah milik kita semua.” Sambutan tersebut diiringi seruan takbir dan semangat solidaritas.
Beberapa tokoh dan organisasi hadir memberikan dukungan nyata. Di antaranya, Penasehat Aliansi Perjuangan Warga Kebun Sayur, Bapak Sulaiman, Haji Tengger, serta kawan-kawan dari Pohon Mahasiswa Nasional dan Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI). Turut hadir pula Serikat Pengacara Hukum Progresif (SPHP), perwakilan PKP Pasar Kemis, serta Aliansi Reforma Agraria (Abstrak).
Ketua aliansi dalam pidatonya menyoroti bagaimana perjuangan warga Kebun Sayur dulunya sangat terpisah-pisah, namun kini berhasil bersatu. “Kita dulu 20 kali terpecah, tapi sekarang kita bersatu. Kita semua satu, baik dari Kampung Pulo maupun Kampung Sayur,” tegasnya. Ia juga menyampaikan bahwa perjuangan ini melampaui identitas suku, agama, dan keyakinan. “Kita semua sama-sama takut ditindas. Kita semua manusia yang berhak hidup layak.”
Acara diskusi yang digelar mengambil tema besar: “Apakah Reforma Agraria Mampu Diwujudkan di Perkotaan?” Tema ini relevan dengan kondisi banyak kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, di mana penggusuran atas nama pembangunan terus berlangsung dan menyingkirkan masyarakat kecil dari tempat tinggal mereka.
Dalam sesi diskusi, hadir empat pembicara kompeten. Yang pertama adalah Gun Hari dari DPP Politik PKS yang memaparkan sejarah perjuangan warga Kebun Sayur menghadapi penggusuran dan mafia tanah. Selanjutnya, Bung Roberto Manurung dari SPHP membahas aspek hukum perjuangan ini. Lalu, Dr. Restu Ranaw, seorang dosen dari Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila, menyoroti pentingnya komunikasi publik dan media dalam memperkuat gerakan warga. Terakhir, Bung Saiful Wathoni, Sekjen dari sebuah organisasi agraria, memberikan perspektif strategis dalam konteks kebijakan nasional.
Para pembicara menyoroti bahwa reforma agraria bukan hanya soal tanah, tapi soal sistem yang lebih besar: tata ruang, kebijakan negara, hingga kesenjangan sosial yang makin melebar. “Kalau pemerintah serius menyediakan lahan yang layak bagi rakyat, tidak akan ada lagi penggusuran dan peminggiran,” ujar salah satu pembicara.
Kampung Kebun Sayur kini menjadi simbol perlawanan damai masyarakat kota terhadap ketidakadilan tata ruang dan mafia tanah. Melalui acara ini, warga tidak hanya merayakan keberanian mereka, tapi juga menguatkan tekad untuk terus bersuara hingga reforma agraria benar-benar berpihak pada rakyat kecil, termasuk di jantung kota.